Rabu, 09 Desember 2015

Kisah Rabi'ah Al Adawiyah - Versi Kitab Tadzkiratul Auliya

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada Neraka, bakarlah aku di dalam Neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan Syurga, campakkanlah aku dari dalam Syurga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepada ku....” Doa Rabi'ah Al- Adawiyah

RABI’AH, LAHIR DAN MASA KANAK-KANAK-NYA


Jika seseorang bertanya :”Mengapa engkau mensejajarkan Rabi’ah dengan kaum lelaki?”, maka jawabanku adalah bahwa Nabi sendiri pernah berkata : “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa kamu” dan yang menjadi masalah bukanlah bentuk, tetapi niat seperti yang dikatakan Nabi,“Manusia-manusia akan dimuliakan sesuai dengan niat di dalam hati mereka.” Selanjutnya, apabila kita boleh menerima dua pertiga ajaran agama dari “Aisyah”, maka sudah tentu kita boleh pula menerima petunjuk-petunjuk agama dari pelayan pribadinya itu. Apabila seorang perempuan berubah menjadi “seorang laki-laki” pada jalan Allah, maka ia adalah sejajar dengan kaum laki-laki dan kita tidak dapat menyebutnya sebagai seorang perempuan lagi.
Pada malam  Rabi’ah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat  miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk pemoles pusar puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabi’ah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi’ah.
“Pergilah kepada tetangga kita si anu dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu” isterinya berkata kepadanya.
Tetapi si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangga tersebut lalu kembali lagi ke rumahnya.
“Mereka tidak mau membukakan pintu,” ia melaporkannya kepada isterinya sesampainya di rumah.
Isterinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi.
Nabi membujuknya : “Janganlah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang  di antara kaum ku.” Kemudian nabi meneruskan : “Besok, pergilah engkau menghadap ‘Isa as-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata berikut ini :
“Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal.”
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang telah dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada Gubernur melalui pengurus rumah tangga istana.
”Berikanlah dua ribu dinar kepada orang-orang miskin,” Gubernur memberikan perintah setelah membaca surat tersebut, “Sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku. Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si Syaikh (ayah Rabi’ah) dan katakan kepadanya : “Aku harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun, tidaklah pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang  menghadapku. Lebih baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku memohon kepadamu, apa pun yang engkau butuhkan katakanlah kepadaku.”
Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang di rasa perlu.
Ketika Rabi’ah beranjak besar, sedang ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kota Bashrah, dan ia terpisah dari kakak-kakak perempuannya. Suatu hari ketika Rabi’ah keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera menangkapnya kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli dirinya menyuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.
Pada suatu hari ketika ia bejalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah melarikan diri, tiba-tiba ia terjatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir.
Rabi’ah menangis sambil mengantuk-atukan kepalanya ke tanah : “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.”
“Rabi’ah, janganlah engkau berduka,” sebuah suara berkata kepadanya. “Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga malaikat-malaikat iri kepadamu.”
Rabi’ah kembali ke rumah tuannya. Di siang hari ia terus berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedangkan di malam hari ia berdoa kepada Allah sambil terus berdiri sepanjang malam.
Pada suatu malam tuannya terjaga dari tidur, dan lewat jendela terlihat olehnya Rabi’ah sedang bersujud dan berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat memenuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. Jika aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu.” Demikianlah kata-kata yang diucapkan Rabi’ah di dalam doanya itu.
Dengan mata kepalanya sendiri si majikan menyaksikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepada Rabi’ah sedang cahayanya menerangi seluruh rumah. Menyaksikan peristiwa ini, ia merasa takut. Ia lalu beranjak ke kamar tidurnya dan duduk merenung hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah, bersikap lembut kepadanya kemudian membebaskannya.
“Izinkanlah aku pergi,” Rabi’ah berkata.
Tuannya memberikan ijin. Rabi’ah lalu meninggalkan rumah tuannya menuju padang pasir mengadakan perjalanan menuju sebuah pertapaan di mana ia untuk beberapa lama lmembaktikan diri kepada Allah. Kemudian ia berniat hendak menunaikan ibadah Haji. Maka berangkatlah ia menempuh padang pasir kembali. Barang-barang miliknya dibuntalnya di atas punggung keledai. Tetapi begitu sampai di tengah-tengah padang pasir, keledai itu mati.
“Biarlah kami yang membawa barang-barangmu,” lelaki-lelaki di dalam rombongan itu menawarkan jasa mereka.
“Tidak! Teruskanlah berjalan kalian,” jawab Rabi’ah. “Bukan tujuanku untuk menjadi beban kalian.”
Rombongan itu meneruskan perjalanan dan meninggalkan Rabi’ah seorang diri.
“Ya Allah,” Rabi’ah berseru sambil menengadahkan kepala. “Demikiankah caranya raja-raja memperlakukan seorang wanita yang tak berdaya di tempat yang masih asing baginya? Engkau telah memanggilku ke rumah-Mu, tetapi di tengah perjalanan Engkau membunuh keledaiku dan meninggalkan ku sebatang kara di tengah-tengah padang pasir ini.
Beum lagi Rabi’ah selesai dengan kata-katanya ini, tanpa diduga keledai itu bergerak berdiri. Rabi’ah meletakkan barang-barangnya ke atas punggung binatang itu dan melanjutkan perjalanannya. (Tokoh yang meriwayatkan kisah ini mengatakan bahwa tidak berapa lama setelah peristiwa itu, ia melihat keledai kecil tersebut sedang  dijual orang di pasar).
Beberapa hari lamanya Rabi’ah meneruskan perjalanannya menempuh padang pasir, sebelum ia berhenti, ia berseru kepada Allah : Ya Allah, aku sudah letih. Ke arah manakah yang harus ku tuju? Aku ini hanyalah segumpal tanah sedang rumah Mu terbuat dari batu. Ya Allah, aku memohon kepadamu, tunjukanlah diri-Mu.
Allah berkata ke dalam hati sanubari Rabi’ah : “Rabi’ah, engkau sedang berada di atas sumber kehidupan delapan belas ribu dunia. Tidakkah engkau ingat betapa Musa telah memohon untuk melihat wajah-Ku dan gunung-gunug terpecah-pecah menjadi empat puluh keping. Karena itu merasa cukuplah engkau dengan namaKu saja!.”

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI RABI’AH


Pada suatu malam ketika Rabi’ah sedang shalat di sebuah pertapaan, ia merasa sangat letih sehingga ia jatuh tertidur. Sedemikian nyanyak tidurnya sehingga ketika matanya berdarah tertusuk alang-alang dari tikar yang ditidurinya, ia sama sekali tidak menyadarinya.
Seorang maling masuk menyelinap ke dalam pertapaan itu dan mengambil cadar Rabi’ah. Ketika hendak menyingkir dari tempat itu didapatinya bahwa jalan keluar telah tertutup, Dilepaskannya cadar itu dan ditinggalkannya tempat itu dan ternyata jalan ke luar telah terbuka kembali. Cadar Rabi’ah diambilnya lagi, tetapi jalan keluar tertutup kembali. Sekali lagi dilepaskanya cadar itu. Tujuh kali perbuatan seperti itu diulanginya. Kemudian terdengarlah olehnya sebuah suara dari pojok pertapaan itu.
“Hai manusia, tiada gunanya engkau mencoba-coba. “Sudah bertahun-tahun Rabi’ah mengabdi kepda Kami. Syaithan sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling memiliki keberanian hendak mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia jahanam! Tiada guna engkau mencoba-coba lagi. Jika seorang sahabat sedang tertidur, maka sang Sahabat bangun dan berjaga-jaga.”
ooooOOOOoooo
Dua orang pemuka agama datang mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar. “Mudah-mudahan Rabi’ah akan menyuguhkan makanan kepada kita.” Mereka berkata. “Makanan yang disuguhkan Rabi’ah pasti diperolehnya secara halal.”
Ketika mereka duduk, di depan mereka telah terhampar serbet dan di atasnya ada dua potong roti. Melihat hal ini mereka sangat gembira. Tetapi saat itu pula seorang pengemis datang dan Rabi’ah memberikan kedua potong roti itu kepadanya. Kedua pemuka agama itu sangat kecewa, namun mereka tidak berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian masuklah seorang pelayan wanita membawakan beberapa buah roti yang masih panas.
“Majikanku teleh menyuruhku untuk mengantarkan roti-roti ini kepadamu,” si pelayan menjelaskan.
Rabi’ah menghitung roti-roti tersebut. Semua berjumlah delapan belas buah.
“Mungin sekali roti-roti ini bukan untuk ku,” Rabi’ah berkata.
Si pelayan berusaha meyakinkan Rabi’ah namun percuma saja. Akhirnya roti-roti itu dibawanya kembali. Sebenarnya yang telah terjadi adalah bahwa pelayanan itu telah mengambil dua potong untuk dirinya sendiri. Kepada nyonya majikannya ia meminta dua potong roti lagi kemudian kembali ke tempat Rabi’ah. Roti-roti itu dihitung oleh Rabi’ah, ternyata semuanya ada dua puluh buah dan setelah itu barulah ia menerimanya.
“Roti-roti ini memang telah dikirimkan majikanmu untukku?” kata Rabi’ah.
Kemudian Rabi’ah menyuguhkan roti-roti tersebut kepada kedua tamunya tadi. Keduanya makan namun masih dalam keadaan terheran-heran.
“Apakah rahasia di balik semua ini?” mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami ingin memakan rotimu sendiri tetapi engkau memberikannya kepada seorang pengemis. Kemudian engkau mengatakan kepada si pelayan tadi bahwa ke delapan belas roti itu bukanlah dimaksudkan untukmu. Tetapi kemudian keetika semuanya berjumlah dua puluh buah barulah engkau mau menerimanya.”
Rabi’ah menjawab : “Sewaktu kalian datang, aku tahu bahwa kalian sedang lapar. Aku berkata kepada diriku sendiri, betapa aku tega untuk menyuguhkan dua potong roti kepada dua orang pemuka yang terhormat? Itulah sebabnya mengapa ketika si pengemis tadi datang, aku segera memberikan dua potong roti itu kepadanya dan berkata kepada Allah Yang Maha Besar, “Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan memberikan ganjaran sepuluh kali lipat dan janji-Mu itu kupegang teguh. Kini telah ku sedehkankan dua potong roti utuk menyenangkan hati-Mu, semoga Engkau berkenan untuk memberikan dua puluh potong sebagai imbalannya. Ketika ke delapan belas roti itu di antarkan kepadaku, tahulah aku bahwa sebagian darinya telah dicuri atau roti-roti itu bukan untuk disampaikan kepada ku.”
ooooOOOOoooo
Pada suatu hari pelayan wanita Rabi’ah hendak memasak sop bawang karena telah beberapa lamanya mereka tidak memasak makanan. Ternyata mereka tidak mempunyai bawang. Si pelayan berkata kepada Rabi’ah : “Aku hendak meminta bawang kepada tetangga sebelah.”
“Tetapi Rabi’ah mencegah : Telah empat puluh tahun aku berjanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatu pun kecuali kepada-Nya. Lupakanlah bawang itu.”
Segera setelah Rabi’ah berkata demikian, seekor burung meluncur dari angkasa, membawa bawang yang telah terkupas di paruhnya, lalu menjatuhkannya ke dalam belanga.
Menyaksikan peristiwa itu Rabi’ah berkata : “Aku takut jika semua ini adalah semacam tipu muslihat.”
Rabi’ah tidak mau menyentuh sup bawang tersebut. Hanya roti sajalah yang dimakannya.
ooooOOOOoooo
Pada suatu hari Rabi’ah berjalan ke atas gunung. Segera ia dikerumuni oleh kawanan rusa, kambing hutan, ibeks (sebangsa kambing hutan yang bertanduk panjang) dan keledai-keledai liar. Binatang-binatang itu menatap Rabi’ah dan hendak menghampirinya. Tanpa disangka-sangka Hasan al-Basri datang pula ke tempat itu. Begitu melihat Rabi’ah segera ia datang menghampirinya. Tapi setelah melihat kedatangan Hasan, binatang-binatang tadi lari ketakutan dan meninggalkan Rabi’ah. Hal ini membuat Hasan kecewa.
“Mengapakah binatang-binatang itu menghindari diriku sedang mereka begitu jinak terhadapmu?”, Hasan bertanya kepada Rabi’ah.
“Apakah yang telah engkau makan pada hari ini?”, Rabi’ah balik bertanya.
“Sup bawang.”
“Engkau telah memakan lemak binatang-binatang itu. Tidak mengherankan jika mereka lari ketakutan melihatmu.
ooooOOOOoooo
Di hari lain, ketika Rabi’ah lewat di depan rumah Hasan. Saat itu Hasan termenung di jendela. Ia sedang menangis dan air matanya menetes jatuh mengenai pakaian Rabi’ah. Mula-mula Rabi’ah mengira hujan turun, tetapi setelah ia menengadah ke atas dan melihat Hasan, sadarlah ia bahwa yang jatuh menetes itu adalah air mata Hasan.
“Guru, menangis adalah pertanda dari kelesuan spiritual,” ia berkata kepada Hasan. “Tahanlah air matamu. Jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudera sehingga engkau tidak dapat mencari dirimu sendiri kecuali pada seorang Raja Yang Maha Perkasa.”
Teguran itu tidak enak di dengar Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di belakang hari ia bertemu dengan Rabi’ah di tepi sebuah danau. Hasan menghamparkan sajadahnya di atas air dan berkata kepada Rabi’ah,
“Rabi’ah, marilah kita melakukan shalat sunnat dua raka’at di atas air!.”
Rabi’ah menjawab : “Hasan, jika engkau mempertontonkan kesaktian-kesaktian mu di tempat ramai ini, maka kesaktian-kesaktian itu haruslah yang tak dimiliki oleh orang-orang lain.”
Sesudah berkata Rabi’ah melemparkan sajadahnya ke udara, kemudian ia melompat ke atasnya dan berseru kepada Hasan: “Naiklah kemari Hasan, agar orang-orang dapat menyaksikan kita.”
Hasan yang belum mencapai kepandaian seperti itu tidak dapat berkata apa-apa. Kemudian Rabi’ah mencoba menghiburnya dan berkata : “Hasan, yang engkau lakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor ikan dan yang ku lakukan tadi dapat pula dilakukan oleh seekor lalat. Yang terpenting bukanlah keahlian-keahlian seperti itu. Kita harus mengabdikan diri kepada Hal-hal Yang Terpenting itu.”
ooooOOOOoooo
Pada suatu malam Hasan beserta dua tiga orang sahabatnya berkunjung ke rumah Rabi’ah. Tetapi rumah itu gelap, tiada berlampu. Mereka senang sekali seandainya pada saat itu ada lampu. Maka Rabi’ah meniup jari  tangannya. Sepanjang malam itu hingga fajar, jari tangan Rabi’ah memancarkan cahaya terang benderang bagaikan lentera dan mereka duduk di dalam benderangnya.
Jika ada seseorang yang bertanya : “bagaimana hal seperti itu bisa terjadai?”, maka jawabanku adalah : “Persoalannya adalah sama dengan tangan Musa.” Jika ia kemudian menyangkal : ‘Tetapi musa adalah seorang Nabi!”, maka jawabanku : “Barangsiapa yang mengikuti jejak Nabi akan mendapatkan sepercik kenabian, seperti yang penah dikatakan Nabi Muhammad saw. Sendiri, “ Barang siapa yang menolak harta benda yang tidak diperoleh secara halal, walaupun harganya satu sen, sesungguhnya ia telah mencapai suatu tingkat kenabian.” Nabi Muhammad saw. Juga pernah berkata : “Sebuah mimpi yang benar adalah seperempat puluh dari kenabian.”
ooooOOOOoooo
Pada suatu ketika Rabi’ah mengirimkan sepotong lilin, sebuah jarum dan sehelai rambut kepada Hasan, dengan pesan :
“Hendaklah engkau seperti sepotong lilin, senantiasa menerangi dunia walaupun dirinya sendiri terbakar. Hendaklah engkau seperti sebuah jarum, senantiasa berbakti walaupun tidak memiliki apa-apa. Apabila kedua hal itu telah engkau lakukan, maka bagimu seribu tahun hanyalah seperti sehelai rambut ini.”
“Apakah engkau menghendaki agar kita menikah?” tanya Hasan kepada Rabi’ah.
“Tali pernikahan hanyalah untuk orang-orang yang memiliki keakuan. Di sini keakuan telah sirna, telah menjadi tiada dan hanya ada melalui Dia. Aku adalah milik-Nya. Aku hidup di bawah naungan-Nya. Engkau harus melamar diriku kepda-Nya, bukan langsung kepada diriku sendiri.”
“Bagaimanakah engkau telah menemukan rahasia ini, Rabi’ah?”, tanya Hasan.
“Aku lepaskan segala sesuatu yang telah ku peroleh kepada-Nya.” jawab Rabi’ah.
“Bagaimana engkau telah dapat mengenal-Nya?”
“Hasan, engkau lebih suka bertanya, tetapi aku lebih suka menghayati,” jawab Rabi’ah.
oooo0000oooo
Suatu hari Rabi’ah bertemu dengan seseorang yang kepalanya dibalut.
“Mengapa engkau membalut kepalamu?”, tanya Rabi’ah.
“Karena aku merasa pusing,” jawab lelaki itu.
“Berapakah umurmu?”, Rabi’ah bertanya lagi.
“Tiga puluh tahun.” Jawabnya.
“Apakah engkau banyak menderita sakit dan merasa susah di dalam hidupmu?”
“Tidak,” jawabnya lagi.
“Selama tiga puluh tahun engkau menikmati hidup yang sehat, engkau tidak pernah mengenakan selubung kesyukuran, tetapi baru malam ini saja kepalamu terasa pusing, engkau telah mengenakan selubung keluh kesah,” kata Rabi’ah.
ooooOOOOoooo
Suatu ketika Rabi’ah menyerahkan uang empat dirham kepada seorang lelaki.
“Belikanlah kepadaku sebuah selimut,” kata Rabi’ah,” karena aku tidak mempunyai pakaian lagi.”
Lelaku itu pun pergi, tetapi tidak lama kemudian ia kembali dan bertanya kepada Rabi’ah : “Selimut berwarna apakah yang harus ku beli?”
“Apa perduliku dengan warna?” Rabi’ah berkata. “Kembalikan uang itu kepadaku kembali.”
Diambilnya keempat buah dirham perak itu dan dilemparkannya ke sungai Tigris.
ooooOOOOoooo
Suatu hari di musim semi Rabi’ah memasuki tempat tinggalnya, kemudian melongok ke luar karena pelayannya berseru :
“Ibu, keluarlah dan saksikanlah apa yang telah dilakukan oleh Sang Pencipta.”
“Lebih baik engkaulah yang masuk ke mari,” Rabi’ah menjawab, “dan saksikanlah Sang Pencipta itu sendiri. Aku sedemikian asyik menatap Sang Pencipta sehingga apakah perduliku lagi terhadap ciptaan-ciptaan-Nya?”
ooooOOOOoooo
Beberapa orang datang mengunjungi Rabi’ah dan menyaksikan betapa ia sedang memotong sekerat daging dengan giginya.
“Apakah engkau tidak mempunyai pisau untuk memotong daging itu?” mereka bertanya.
“Aku tak pernah menyimpan pisau di dalam rumah ini karena takut terluka,” jawab Rabi’ah.
ooooOOOOoooo
Rabi’ah berpuasa seminggu penuh. Selama berpuasa itu ia tidak makan dan tidak tidur. Setiap malam ia tekun melaksanakan Shalat dan berdoa. Lapar yang dirasakannya sudah tidak tertahankan lagi. Seorang tamu masuk ke rumah Rabi’ah membawa semangkuk makanan. Rabi’ah menerima makanan itu. Kemudian ia pergi mengambil lampu. Ketika ia kembali ternyata seekor kucing telah menumpahkan isi mangkuk itu.
“Akan ku ambilkan kendi air dan aku akan berbuka puasa,” Rabi’ah berkata.
Ketika ia kembali dengan sekendi air ternyata lampu telah padam. Ia hendak meminum air kendi itu di dalam kegelapan, tetapi kendi itu terlepas dari tangannya dan jatuh, pecah berantakan. Rabi’ah meratap dan megeluh sedemikian menyayat hati seolah-olah sebagian rumahnya telah dimakan api.
Rabi’ah menangis : “Ya Allah, apakah yang telah Engkau perbuat terhadap hamba-Mu yang tak berdaya ini?”
“Berhati-hatilah Rabi’ah,” sebuah seruan terdengar di telinganya, “Janganlah engkau sampai mengharapkan bahwa Aku akan menganugerahkan semua kenikmatan dunia kepadamu sehingga pengabdianmu kepada-Ku terhapus dari dalam hatimu. Pengabdian kepada-Ku dan kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan di dalam satu hati. Rabi’ah, engkau menginginkan suatu hal sedang Aku menginginkan hal yang lain. Hasrat Ku dan hasratmu tidak dapat dipadukan di dalam sati hati.”
Setelah mendengar celaan ini, Rabi’ah mengisahkan, “Ku lepaskan hatiku dari dunia dan ku buang segala hasrat dari dalam hatiku, sehingga selama tiga puluh tahun yang terakhir ini, apabila melakukan shalat, maka aku menganggap sebagai shalat ku yang terakhir.”
ooooOOOOoooo
Beberapa orang mengunjungi Rabi’ah untuk mengujinya. Mereka ingin memergoki Rabi’ah mengucapkan kata-kata yang tidak dipikirkan nya terlebih dahulu.
“Segala macam kebajikan telah dibagi-bagikan kepada kepala kaum lelaki,” mereka berkata. “Mahkota kenabian telah ditaruh di kepala kaum lelaki. Sabuk kebangsawanan telah diikatkan di pinggang kaum lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah diangkat Allah menjadi Nabi.”
“Semua itu memang benar,” jawab Rabi’ah. “Tetapi egoisme, memuja diri sendiri dan ucapan “Bukankah aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi?” tidak pernah terbersit di dalam dada perempuan. Dan tak ada seorang perempuan pun yang banci. Semua ini adalah bagian kamu lelaki.”
ooooOOOOoooo
Ketika Rabi’ah menderita sakit yang gawat. Kepadanya ditanyakan apakah penyebab penyakitnya itu.
“Aku telah menatap surga,” jawab Rabi’ah, “dan Allah telah menghukum diriku.”
Kemudian Hasan al Bashri datang untuk mengunjungi Rabi’ah.
“Aku mendapatkan salah seorang di antara pemuka-pemuka kota Bashrah berdiri di pintu pertapaan Rabi’ah. Ia hendak memberikan sekantong emas kepada Rabi’ah dan ia menangis,” Hasan mengisahkan. “Aku bertanya kepadanya : “Mengapakah engkau menangis?” “Aku menangis karena wanita suci zaman ini,” jawabnya. “Karena jika berkah kehadirannya tidak ada lagi, celakah ummat manusia. Aku telah membawakan uang sekedar untuk biaya perawatannya,” ia melanjutkan, “tetapi aku kuatir kalau-kalau Rabi’ah tidak mau menerimanya. Bujuklah Rabi’ah agar ia mau menerima uang ini.”
Maka masuklah Hasan ke dalam pertapaan Rabi’ah dan membujuknya untuk mau menerima uang itu. Rabi’ah menatap Hasan dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujjah-Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahi orang-orang yang mencintai-Nya? Sejak aku mengenal-Nya, aku telah berpaling dari manusia cptaan-Nya. Aku tidak tahu apakah kekayaan seseorang itu halal atau tidak, maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya? Pernah aku menjahit pakaian yang robek dengan diterangi lampu dunia. Beberapa saat hatiku lengah tetapi akhirnya aku pun sadar. Pakaian itu ku robek kembali pada bagian-bagian yang telah ku jahit itu dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepadanya agar ia tidak membuat hatiku lengah lagi.”
ooooOOOOoooo
Abdul Wahid Amir mengisahkan bahwa ia bersama Shofyan ats-Tsauri mengunjungi Rabi’ah ketika sakit, tetapi karena menyeganinya mereka tidak berani menegurnya atau menyapa Rabi’ah.
“Engkaulah yang berkata,” kataku kepada Shofyan.
“Jika engkau berdoa,” Shofyan berkata kepada Rabi’ah, “Niscaya penderitaanmu ini akan hlang.”
Rabi’ah menjawab : “Tidak tahukah engkau siapa yang menghendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?”
“Ya”, Shofyan membenarkan.
“Betapa mungkin, engkau mengetahui hal ini, menyuruhku untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya? Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?”
“Apakah yang engkau inginkan Rabi’ah?”, Shofyan bertanya pula.
Shofyan... engkau adalah serang yang terpelajar! Tetapi mengapa engkau bertanya,” Apakah yang engkau inginkan? Demi kebesaran Allah,” Rabi’ah berkata tandas,” telah dua belas tahun lamanya aku menginginkan buah korma segar. Engkau tentu tahu bahwa di kota Bashrah buah korma sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan segala sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menjadi hamba-Nya yang sejati. Tetapi lain lagi persoalannya jika Tuhan sendiri memberikannya.”
Shofyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi’ah : “Karena aku tak dapat berbicara mengenai dirimu, maka engkaulah yang berbicara mengenai diriku.”
“Engkau adalah  manusia yang baik kecuali dalam satu hal : Engkau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan hadits-hadits.” Yang terakhir ini dikatakan Rabi’ah dengan masud bahwa membacakan hadits-hadits tersebut adalah suatu perbuatan yang mulia.
Shofyan sangat tergugah hatinya berseru : “Ya Allah, kasihilah aku.”
Tetapi Rabi’ah mencela : “Tidak malukan engkau mengharapkan kasih Allah sedangkan engkau sendiri tidak mengasihi-Nya?”
ooooOOOOoooo
Malik bin Dinar berkisah sebagai berikut : Aku mengunjungi Rabi’ah. Kusaksikan dia menggunakan gayung pecah untuk minum dan bersuci, sebuah tikar dan sebuah batu bata yang kadang-kadang dipergunakannya sebagai bantal. Menyaksikan semua itu hatiku menjadi sedih.
“Aku mempunyai teman-teman yang kaya,” aku berkata kepada Rabi’ah. “Jika engkau menghendaki sesuatu akan ku mintakan kepada mereka.”
“Malik, engkau telah melakukan kesalahan yang besar,” jawab Rabi’ah. “Bukankah yang menafkahi aku dan yang menafkahi mereka adalah satu?”
“Ya,” jawabku.
“Apakah yang menafkahi orang-orang miskin itu lupa kepada orang-orang miskin karena kemiskinan mereka? Dan apakah Dia ingat kepada orang-orang kaya karena kekayaan mereka?”, tanya Rabi’ah.
“Tidak,” jawabku.
“Jadi, Rabi’ah meneruskan, “Karena Dia mengetahui keadaanku, bagaimanakah aku harus mengingatkan-Nya? Beginilah yang dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti yang dikehendaki-Nya.”
ooooOOOOoooo
Pada suatu hari, Hasan al Bashri, Malik bin Dinar dan Syaqiq al-Balkhi mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring dalam keadaan sakit.
“Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak tabah menanggung cambukan Allah,” kata Hasan memulai pembicaraan.
“Kata-katamu itu berbau egoisme,” Rabi’ah membalas.
Kemudian giliran Syaqiq untuk mencoba : “Seorang wanita tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak bersyukur karena cambukan Allah.”
“Ada yang lebih baik daripada itu,” jawab Rabi’ah.
Malik bin Dinar maju : “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak merasa bahagia ketika menerima cambukan Allah.”
“Masih ada yang lebih baik daripada itu,” Rabi’ah mengulangi jawabannya.
“Jika demikian, katakanlah kepada kami,” mereka mendesak Rabi’ah.
Maka berkatalah Rabi’ah : “Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya, jika ia tidak lupa kepada cambukan Allah, ketika ia merenungkan-Nya.”
ooooOOOOoooo
Seorang cendekia terkemuka di kota Bashrah mengunjungi Rabi’ah yang sedang terbaring sakit. Sambil duduk di sisi tempat tidur Rabi’ah ia mencaci maki dunia.
Rabi’ah berkata kepadanya : “Sesungguhnya engkau sangat mencintai dunia ini. Jika engkau tidak mencintai dunia tentu engkau tidak akan menyebut-nyebutnya berulangkali seperti ini. Seorang pembelilah yang senantiasa mencela barang-barang yang hendak dibelinya. Jika engkau tidak merasa berkepentingan dengan dunia ini, tentulah engkau tidak akan memuji-muji atau memburuk-burukannya. Engkau menyebut-nyebut dunia ini seperti kata sebuah peribahasa, “barangsiapa mencintai sesuatu hal, maka ia sering menyebut-nyebutnya.”
ooooOOOOoooo
Ketika tiba saatnya Rabi’ah herus meninggalkan dunia fana ini, orang-orang yang menungguinya meninggalkan kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar. Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata : “Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan berbahagia.”
Beberapa saat kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar Rabi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang.
Setelah Rabi’ah meninggal dunia, ada yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi. Kepadanya ditanyakan.
“Bagaimana engkau menghadapi Munkar dan Nakir?”
Rabi’ah menjawab : “Kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya : “Siapakah Tuhanmu? Aku menjawab : Pergilah kepada Tuhanmu dan katakan kepada-Nya : Dia antara beribu-ribu makhluk yang ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya memiliki engkau di dunia yang luas, tidak pernah lupa kepada-Mu, tetapi mengapakah Engkau mengirim utusan sekedar menanyakan “siapa Tuhanmu” kepada ku?”

DOA-DOA RABI’AH


“Ya Allah, apa pun yang Engkau karuniakan kepada ku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa pun yang akan Engkau karuniakan kepada ku di akhirat nanti, berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagi- ku.”
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan Surga, campakkanlah aku dari dalam Surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepada ku.”
“Ya Allah, semua jerih dan semua hasrat ku di antara kesenangan-kesenangan dunia ini adalah untuk mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, ialah untuk berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku, seperti yang telah ku katakan. Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki.”


Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar.

Tags: Riwayat Rabi'ah al adawiyah, kisah robiah al adawiyah, perjalanan sufi rabiah, kisah cinta rabiah al adawiyah, riwayat singkat rabiah al adawiyah, kisah sufi rabiah al adawiyah, kisah rabiah

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More