Ketika Abul Qasim al-Junaid sedang berkhotbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis.
“Orang ini cukup sehat,” Abul Qasim al-Junaid berkata di dalam hati. “Ia dapat mencari nafkah. Tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?.”
Malam itu Abul Qasim al-Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup.
“Makanlah!.” Sebuah suara memerintah Abul Qasim al-Junaid.
Ketika Abul Qasim al-Junaid mengangkat tutup itu, terlihatlah olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring.
“Aku tidak mau memakan daging manusia.” Abul Qasim al-Junaid menolak.
“Tetapi bukankah itu yang engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?.”
“Abul Qasim al-Junaid segera menyadari bahwa ia bersalah karena telah berbuat fitnah di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum.
“Aku tersentak dalam keadaan takut,” Abul Qasim al-Junaid mengisahkan. “Aku segera bersuci dan melakukan shalat sunnat dua raka’at. Setelah itu aku pergi ke luar mencari si pengemis. Kudapatkan ia sedang berada di tepi sungai Tigris. Ia sedang memungut sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihatlah olehnya aku yang sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku:
“Abul Qasim al-Junaid, sudahkah engkau bertaubat karena telah berprasangka buruk terhadapku?
”Sudah,” jawab ku,
“Jika demikian pergilah dari sini. Dia-lah Yang menerima taubat hamba-hamba-Nya. Dan jagalah pikiranmu.”
Rupanya beliau tidak menyangka bahwa orang itu adalah seorang Waliyullah. Cerita ini mengajarkan kita bahwa kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang lain.
0 comments:
Posting Komentar