Kali ini KisahTeladan.web.id akan membawakan kisah seorang Wali Allah, Habib Al- Azami, yang dikutip dari Kitab Tadzkirotul Auliya (Warisan Para Auliya) Karya Fariduddin Attar. Beliau (Habib) awal mulanya adalah seorang berkebangsaan Persia yang berprofesi sebagai lintah darat. Kisah pertobatannya sungguh mengharukan dan mengiris hati siapa saja yang membacanya dengan hati yang terbuka. Ini membuktikan bahwa sebesar apapun dosa seorang hamba, Keampunan Tuhan jauh melebihinya. Allah sangat mencintai hamba-Nya yang bertaubat, tidak memandang apapun profesi sebelumnya. Mari kita simak bersama-sama kisahnya....
KISAH HABIB SI ORANG PARSI
Semula Habib adalah
seorang yang kaya raya dan suka membanggakan uang. Ia tinggal di kota Bashrah,
dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang-piutangnya. Jika tidak
memperoleh angsuran dari langganannya, maka ia akan menuntut uang ganti rugi
dengan dalih alas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti
inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari-hari.
Pada suatu hari Habib
pergi ke rumah seorang yang berhutang kepadanya. Namun yang hendak ditemuinya
sedang tak ada di rumah. Maka Habib meminta ganti rugi kepada isteri orang
tersebut.
“Suamiku tak ada di
rumah,” isteri orang yang berhutang itu berkata kepadanya, “aku tak mempunyai
sesuatu pun untuk diberikan kepadamu tetapi kami ada menyembelih seekor domba
dan lehernya masih tersisa, jika engkau suka akan kuberikan kepada mu.”
“Bolehlah!” si lintah
darat menjawab. Ia berpikir bahwa setidaknya ia dapat mengambil leher domba
tersebut dan membawanya pulang. “Masaklah!.”
“Aku tak mempunyai roti
dan minyak,” si wanita menjawab.
“Baiklah,” si lintah
darat menjawab, “aku akan mengambil minyak dan roti, tapi untuk semua itu
engkau harus membayar ganti rugi pula.” Lalu ia pun pergi untuk mengambil
minyak dan roti.
Kemudian si wanita
segera memasaknya di dalam belanga. Setelah masak dan hendak dituangkan ke
dalam mangkuk, seorang pengemis datang mengetuk pintu.
“Jika yang kammi miliki
kami berikan kepadamu,” Habib mendamprat si pengemis, “engkau tidak akan
menjadi kaya, tetapi kami sendiri akan menjadi miskin.”
Si pengemis yang kecewa
memohon kepda si wanita agar ia sudi memberikan sekedar makanan kepadanya. Si
wanita segera membuka tutup belanga, ternyata semua isinya telah berubah
menjadi darah hitam. Melihat ini, wajhnya menjadi pusat pasi. Segera ia
mendapatkan Habib dan menarik lengannya untuk memperlihatkan isi belanga itu
kepadanya.
“Saksikanlah apa yang
telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada si
pengemis!.” Si wanita menangis. “Apakah yang akan terjadi atas diri kita di
atas dunia ini? Apa pula di akhirat nanti.”
Melhat kejadian ini dada
Habib terbakar oleh api penyesalan. Penyesalan yang tidak akan pernah mereda
seumur hidupnya.
Wahai wanita! Aku
menyesalkan segala perbuatan yang telah ku lakukan.
Keesokan harinnya Habib
berangkat pula untuk menemui orang-orang yang berhutang kepadanya. Kebetulan
sekali hari itu adalah hari jum’at dan anak-anak bermain di jalanan. Ketika
melihat Habib, mereka berteriak-teriak : “Lihat, Habib lintah darat sedang
menuju ke sini, ayo kita lari, kalau tidak niscaya debu-edbu tubuhnya akan
menempel di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia!”
Seruan-seruan ini sangat
melukai hati Habib. Kemudian ia pergi ke gedung pertemuan dan di sana
terdengarlah olehnya ucapan-ucapan itu bagaikan menusuk-nusuk jantungnya
sehingga akhirnya ia jatuh terkulai.
Habib bertaubat kepada
Allah dari segala perbuatan yang telah dilakukannya, setelah menyadari apa
sebenarnya yang terjadi, Hasan al-Bashri datang ...
( ...... maaf ada bagian yang terlewat sedikit karena ada kerusakan tulisan, di lain waktu akan kami lengkapi)
"...Di waktu yang sudah-sudah engkaulah
yang menghindar dariku, tetapi sejak saat ini akulah yang harus menghindar
darimu.”
Habib meneruskan
perjalanannya, anak-anak masih juga bermain-main di jalan. Melihat Habib,
mereka segera berteriak “Lihat Habib yang telah bertaubat sedang menuju ke mari.
Ayolah kita lari! Jika tidak, niscaya debu-debu di tubuh kita akan menempel di
tubuhnya sedangkan kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah.”
“Ya Allah ya Tuhan ku!,”
seru Habib. “Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, dan Engkau telah
menabuh genderang-genderang di dalam hati manusia untuk diriku dan telah
mengumandangkan namaku di dalam keharuman.”
Kemudian Habib membuat
sebuah pengumuman yang berbunyi : “Kepada siapa saja yang menginginkan harta
benda milik Habib, datanglah dan ambillah!.”
Orang-orang datang
berbondong-bondong, Habib memberikan segala harta kekayaannya kepada mereka dan
akhirnya ia tak mempunyai sesuatu pun juga. Namun masih ada seseorang yang
datang untuk meminta, kepada orang ini Habib memberikan cadar isterinya
sendiri. Kemudian datang pula seorang lagi dan kepadanya Habib memberikan
pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhnya terbuka. Dan ia lalu pergi
menyepi ke sebuah pertapaan di pinggir sungai Euphrat, dan di sana ia
membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di
bawah bimbingan Hasan namun betapa pun juga ia tidak dapat menghafal
al-Quran, dan karena itulah ia dijuluki ‘Ajami si orang Barbar'.
Waktu berlalu, Habib
sudah benar-benar dalam keadaan papa, tetapi isterinya masih tetap menuntut
biaya rumah tangga kepadanya. Maka pergilah Habib meninggalkan rumahnya menuju
tempat pertapaan untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang.
“Di mana sebenarnya
engkau bekerja sehingga tak ada sesuatu pun yang engkau bawa pulang?“, Isterinya
mendesak.
“Aku bekerja pada
seseorang yang sangat Pemurah,” jawab Habib. “Sedemikian Pemurahnya Ia sehingga
aku malu meminta sesuatu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia
akan memberi, karena seperti apa katanya sendiri : “Sepuluh hari sekali aku
akan mambayar upahmu”.
Demikianlah setiap hari
Habib pergi ke pertapaannya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu shalat
Zhuhur di hari yang ke sepuluh, sebuah pikiran mengusik batinnya. “Apakah yang
akan ku bawa pulang malam nanti? Apakah yang harus ku katakan kepada isteriku?”
Lama ia termenung di
dalam perenungannya itu. Tanpa sepengetahuannya Allah Yang Maha
Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya (bisa jadi malaikat/jin Islam/rizalul ghoib yang menyerupai manusia-pen) ke rumah Habib. Yang seorang
membawakan gandum se pemikul keledai, yang lain membawa seekor domba yang telah
dikuliti, dan yang terakhir membawa minyak madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Semua
itu mereka pikul disertai seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantong
berisi 300 dirham perak. Sesampainya di rumah Habib, si pemuda mengetuk pintu.
"Apakah maksud kalian
datang ke mari?” tanya istri Habib setelah membukakan pintu.
“Majikan kami telah
menyuruh kami untuk mengantarkan barang-barang ini,” pemuda gagah itu menjawab,
“Sampaikanlah kepada Habib : “Bila engkau melipat gandakan jerih payahmu maka
Kami akan melipatgandakan upahmu”. Setelah berkata demikian mereka berlalu.
Setelah matahari
terbenam Habib berjalan pulang, ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai
ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan msakan-masakan. Dengan berlari
isterinya datang menyambut, menghapus keringat di wajahnya dan bersikap lembut
kepadanya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya di waktu yang sudah-sudah.
“Wahai suamiku,” si
istri berkata, “Majikanmu adalah seorang yang sangat baik dan pengasih.
Lihatlah segala sesuatu yang telah dikirimkannya kemari melalui seorang pemuda
yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan: 'Bila Habib pulang, katakanlah
kepadanya, bila engkau melipatgandakan jerihpayahmu maka Kami akan
melipatgandakan upahmu.'”
Habib terheran-heran.
“Sungguh menakjubkan!
Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang
dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulalah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?”
Sejak saat itu Habib
memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk
Allah semata-mata.
KEAJAIBAN-KEAJAIBAN HABIB
Pada suatu hari seorang
wanita tua datang kepada Habib, merebahkan dirinya di depan Habib dengan sangat
memelas hati.
:Aku mempunyai
seorang putera yang telah lama pergi meninggalkan ku. Aku tidak
sanggup lebih lama lagi terpisah daripadanya, berdoalah kepada Allah,” mohonnya
kepada Habib. “Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan puteraku itu kepada
ku.”
“Adakah engkau memiliki
uang?” tanya Habib kepada wanita tua itu.
“Aku mempunyai dua
dirham,” jawabnya.
“Berikanlah uang
tersebut kepada orang-orang miskin!.”
Kemudian Habib membaca
sebuah doa lalu ia berkata kepada wanita itu : “Pulanglah, puteramu telah
kembali.”
Belum lagi wanita itu
sampai ke rumah, dilihatnya sang putera telah ada dan sedang menantikannya.
“Wahai! Anak ku telah
kembali!” wanita itu berseru. Kemudian dibawanya puteranya itu menghadap Habib.
“Apakah yang telah
engkau alami?” tanya Habib kepada putera wanita itu.
“Aku sedang berada di
Kirmani, guruku menyuruhku membeli daging. Ketika daging itu telah kubeli dan
aku hendak pulang ke guruku, tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku
terbawa terbang dan terdengar oleh ku sebuah suara yang berkata : “Wahai angin,
demi doa Habib dan dua dirham yang telah disedekahkan kepada orang-orang
miskin, pulangkanlah ia ke rumahnya sendiri.
ooooOOOOoooo
Pada tanggal 8
Zulhijjah, Habib kelihatan di kota Bashrah dan pada keesokan harinya di Padang
Arafah. Di waktu yang lain, bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Karena itu,
dengan berhutang Habib membeli banyak bahan-bahan pangan dan menbagi-bagikannya
kepada orang-orang miskin. Setiap hari Habib menggulung kantong uangnya dan
menaruhnya di bawah lantai. Apabila para pedagang datang untuk menagih hutang,
barulah kantong itu dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata
kantong itu sudah penuh dengan kepingan-kepingan dirham. Dari situ
dilunasinya semua hutang-hutangnya.
ooooOOOOoooo
Rumah Habib terletak di
sebuah persimpangan jalan di kota Bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang
selalu dipakainya baik di musim panas maupun di musim dingin. Sekali peristiwa,
ketika Habib hendak bersuci, mantel itu dilepaskannya dan dengan seenaknya
dilemparkannya ke atas tanah.
Tidak berapa lama
kemudian Hasan al-Bashri lewat di tempat itu. Melihat mantel Habib yang
tergeletak di atas jalan, ia bergumam : “Dasar Habib seorang Barbar, tak peduli
berapa harga mantel bulu ini! Mantel yang seperti ini tidak boleh dibiarkan
saja di tempat ini, bisa-bisa hilang nanti.”
Hasan berdiri di tempat
itu, untuk menjaga mantel tersebut. Tidak lama kemudian Habib pun kembali.
“Wahai, Imam kaum
Muslimin,” Habib menegur Hasan setelah memberi salam kepadanya, “Mengapakah
engkau berdiri di sini?”
“Tahukah engkau bahwa
mantel seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang.
Katakan, kepada siapakah engkau menitikan mantel ini?”
“Ku titipkan kepada Dia,
yang selanjutnya menitipkannya kepada mu,” jawab Habib.
Pada suatu hari Hasan
berkunjung ke rumah Habib. Kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum
dan sedikit garam. Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu,
tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta
garam itu kepadanya.
Hasan terheran-heran
lalu berkata : “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah
baiknya seandainya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti
yang telah engkau suguhkan ke ujung hidung tamu lalu memberikan semuanya kepada
seoang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan
sebagian lagi kepada tamu mu.”
Habib tidak memberikan
jawaban.
Tidak lama kemudian
seorang budak datang sambil menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan tersebut
ada daging domba panggang, panganan yang manis-manis dan uang lima ratus dirham
perak. Si budak menyerahkan nampan tersebut ke hadapan Habib. Kemudian Habib
membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang miskin dan menempatkan nampan
tersebut di samping Hasan.
Ketika Hasan mengenyam
daging panggang itu, Habib berkata kepadanya : “Guru, engkau adalah seorang
manusia budiman, tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit
keyakinan. Pengetahuan harus
disertai dengan keyakinan".
oooOOOOooo
Pada suatu hari ketika
perwira-perwira Hajjaj mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam
pertapaan Habib.
“Apakah engkau telah
melihat Hasan pada hari ini?” tanya mereka kepada Habib.
“Ya, aku telah
melihatnya,” jawab Habib.
“Di manakah Hasan pada
saat ini?”
“Di dalam pertapaan
ini.”
Para perwira tersebut
memasuki pertapaan Habib dan mengadakan penggeledahan, namun mereka tidak
berhasil menemukan Hasan.
“Tujuh kali tubuhku
tersentuh oleh mereka.” Hasan mengisahkan,” namun mereka tidak melihat diriku.”
Ketika hendak
meninggalkan pertapaan itu Hasan mencela Habib “ “Habib, engkau adalah seorang
murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukan tempat
persembunyianku.”
“Guru, karena aku
berterus-terang itulah engkau dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya
kita berdua sama-sama tertangkap.”
“Ayat-ayat apakah yang
telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?”, tanya Hasan.
“Aku membaca Ayat Kursi
sepuluh kali, Rasul Beriman sepuluh kali, dan Katakanlah Allah itu Esa, sepuluh
kali. Setelah itu aku berkata : “Ya Allah, telah kutitipkan Hasan kepada-Mu dan
oleh karena itu jagalah dia.”
ooooOOOOoooo
Suatu ketika Hasan ingin
pergi ke suatu tempat. Ia lalu menyusuri tebing-tebing sungai Tigris sambil
merenung-renung. Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu.
“Imam, mengapa engkau
berada di sini?”, habib bertanya.
“Aku ingin pergi ke
suatu tempat namun perahu belum juga tiba,” jawab Hasan.
“Guru, apakah yang telah
terjadi terhadap dirimu? Aku telah memperlajari segala hal yang ku ketahui dari
dirimu. Buanglah rasa iri
kepada orang-orang lain dari dalam dadamu. Tutuplah matamu dari
kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa penderitaan adalah sebuah karunia
yang sangat berharga dan sadarilah bahwa segala urusan berpulang kepada Allah
semata-mata. Setelah itu turunlah dan berjalanlah di atas air.”
Selesai berkata demikian
Habib menginjakkan kaki ke permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat
kejadian ini, Hasan merasa pusing dan jatuh pingsan. Ketia ia siuman orang-orang
bertanya kepadanya : “Wahai imam kaum Muslim, apakah yang telah terjadi
terhadap dirimu?”
“Baru saja muridku Habib
mencela diriku, setelah itu ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku
sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika di Akhirat nanti sebuah suara
menyerukan : “Laluilah jalan yang berada di atas api yang menyala-nyala’ sedang
hatiku masih lemah seperti sekarang ini, apakah dayaku?”
Di kemudian hari Hasan
bertanya kepda Habib : “Habib, bagaimana engkau mendapatkan kesaktian-kesaktian
itu?”
Habib menjawab :”Dengan memutihkan hatiku sementara engkau
menghitamkan kertas.”
Hasan berkata : “
Pengetahuan ku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi kepada orang
lain..."
----------
Sumber : Kitab Tadzkirotul Auliya "Warisan Para Wali Allah" Karya Fariduddin At Tar.
0 comments:
Posting Komentar