Riwayat Singkat Nabi Muhammad saw

Nama lengkap beliau: Muḥammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, lahir di Mekkah pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal (Mulud) tahun Gajah , atau bertepatan dengan tanggal 20 April 570 Masehi...

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 31 Januari 2016

Al-Muhasibi

KISAH SUFI AL-MUHASIBI


Sangatlah mengherankan bila pengisahan Attar mengenai al-Muhasibi, salah seorang di antara tokoh-tokoh terbesar dalam sejarah sufi Islam, kurang lengkap dan sempurna. Abu ‘Abdullah al-Harits bin Asad al-Bashri al-Muhasibi lahir di Bashrah pada tahun 165 H (Sekitar tahun 782 M). Sewaktu kecil ia pindah ke Baghdad di mana ia kemudian belajar hadits dan teologi, bergaul rapat dengan tokoh-tokoh terkemuka dan menyaksikan pertistiwa-peristiwa penting pada masa itu. Ia meninggal dunia pada tahun 243H/857 M. Ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya memberikan pengaruh yang kuat dan luas kepada ahli-ahli teori sufi sesudahnya khususnya kepada Abu Hamid al-Ghazali. Banyak di antara buku-buku dan brosur-brosur yang ditulisnya dapat kita temui hingga kini: yang terpenting di antaranya adalah Kitab al-Ri’ayah.

CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT AL-MUHASIBI
Harits al-Muhasibi menerima warisan sebesar tiga puluh ribu dinar dari ayahnya.
“Serahkan uang itu kepada negara,” kata Muhasibi.
“Mengapa?,” orang-orang bertanya.
“Menurut sebuah hadits yang shahih,” jawab Muhasibi. “Nabi pernah berkata bahwa orang-orang Qadariah adalah orang-orang Majusi di dalam masyarakat kita. Ayahku adalah seorang Qadariah. Nabi pun pernah berkata bahwa seorang Muslim tidak boleh menerima warisan dari seorang  Majusi. Bukankah ayahku seorang Majusi dan bukan seorang Muslim?.”
Perlindungan Allah sangar besar kepadanya. Apabila Muhasibi hendak meraih makanan yang diragukan kehalalannya, urat di belakang jari-jari tangannya akan mengejang dan jari-jarinya tidak dapat digerakkan seperti yang dikehendakinya. Bila hal seperti ini terjadi, tahulah ia bahwa makanan itu diperoleh dengan tidak wajar.
Junaid meriwayatkan : “Pada suatu hari, Harits mengunjungiku, tampaknya ia sedang lapar. “Akan kuambilkan makanan untuk paman,” kataku. “Baik sekali,: jawab Hartits al-Muhasibi. Aku pun pergi ke gudang mencari makanan. Kudapatkan sisa-sisa makanan yang diantarkan kepada kami dari suatu perayaan perkawinan untuk makan malam. Kuambil makanan itu dan kusuguhkan kepada Harits al-Muhasibi. Tetapi ketika Harits al-Muhasibi hendak mengambilnya, tangannya mengejang tak dapat digerakkannya. Sempat ia memasukan sesuap makanan ke dalam mulutnya, tetapi tidak bisa ditelannya walau bagaimanapun ia paksakan. Untuk beberapa lama dikunyah-kunyahnya makanan itu, kemudian ia pun berdiri, pergi ke luar, meludahkannya di serambi, dan permisi pulang.
Di kemudian hari aku tanyakan kepada Harits al-Muhasibi, apakah sebenarnya yang telah terjadi, Harits al-Muhasibi menjawab: “Waktu itu aku memang merasa lapar, dan ingin menyenangkan hatimu. Namun Allah memberi isyarat khusus kepadaku sehingga makanan yang diragukan kehalalannya tidak dapat kutelan sedang jari-jariku tidak mau menyentuhnya. Aku telah berusaha sedapat-dapatnya menelan makanan itu, tetapi percuma. Dari manakah engkau memperoleh makanan itu? Dari seorang kerabat, jawabku.”
“Kemudian aku berkata kepada Harits al-Muhasibi : “Tetapi sekarang ini maukah engkau datang ke rumahku?”. “Baiklah”, jawab Harits al-Muhasibi. Aku pun pulang bersama Harits al-Muhasibi. Di rumah kukeluarkan sekerat roti kering dan kami pun segera memakannya. Harits al-Muhasibi kemudian berkata : “MakanaN yang seperti inilah yang harus disuguhkan kepada para guru sufi.”

 Sumber : Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar.

Senin, 25 Januari 2016

Daud Ath-Tha'i

DAUD ATH-THA’I


Daud Ath-Tha’i menjalani kehidupan yang sedemikian prihatin sehingga untuk makanannya ia sering mencelupkan roti ke dalam air, kemudian mereguk air itu, sambil berdalih :
“Sebelum memakan roti ini aku masih sempat membaca lima puluh ayat al-Quran. Mengapa harus ku sia-siakan hidupku ini?”
Membaca kisah ini kita akan takjub dengan kezuhudan beliau. Beliau beliau adalah seorang wali Allah yang tidak mau sedetikpun hatinya dilalaikan oleh dunia, walau hanya mengangkat sebuah kendi. Ini adalah sebuah perbuatan orang Muqarrabiin (Orang yang hatinya selalu dekat dan mengingat Allah, di bawah para Nabi, dan di atas orang sholeh), dimana kebaikan orang sholeh masih bisa dianggap sebagai suatu kejahatan bagi orang Muqarrabin. 
Sebagai contoh mencari rezeki yang halal untuk keluarga adalah suatu ibadah dan kebaikan bagi orang sholeh dan orang awam, tetapi bagi sebagian orang Muqarrabin itu sudah cukup mengganggu mereka dari mengingat Allah. Akan tetapi tidak semua orang Muqarrabin bersikap demikian, ini tergantung kepada watak-watak dan kelebihan dari masing-masing mereka.
Daud Ath-Tha'i menghabiskan uang 20 dinar selama 20 tahun hingga wafatnya. Uang tersebut berasal dari hasil warisan, sehingga selama itu beliau tidak disibukkan dengan mencari rezeki lagi dan beliau juga tidak menikah.
Para Muqarrabin yang berwatak demikian adalah para wali Allah yang berwatak Nabi, yakni hanya untuk diri sendiri dan tidak baik untuk semua orang. Sedangkan para Muqarrabin yang berwatak Rasul contohnya para Imam 4 Mazhab, dan Ulama-ulama yang menjadi pemimpin bagi sebagian kaumnya. Mereka bukan saja diberi kelebihan hati, tetapi diberi juga kelebihan akal yang bisa mengontrol hati mereka yang begitu takut dan cinta kepada Allah.
Kisah ini kami ambil dari Kitab Tadzkirotul Auliya, karya Fariduddin Attar. mari kita simak ceritanya.....

KEPAPAAN DAUD ATH-THAI

Sejak kecil batinnya di cekam duka sehingga ia sering menghindarkan diri dari pergaulan. Yang menyebabkan pertaubatannya adalah seorang wanita yang sedang berkabung, yang membacakan :
Pipimu yang manakah yang mulai kendur?
Dan matamu yang manakah yang mulai kabur?
Kesedihan mencekam batinnya dan kegelisahan tak dapat diatasinya. Dalam keadaan seperti inilah ia belajar di bawah bimbingan Abu Hanifah.
“Apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?”, tanya Abu Hanifah kepadanya.
Daud Ath-Tha’i pun mengisahkan pengalamannya,. Kemudian dia menambahkan : “Dunia ini tidak dapat menarik hatiku lagi. Sesuatu  telah terjadi di dalam diriku, sesuatu yang tak dapat kumengerti, yang tak dapat dijelaskan oleh buku-buku atau pun keterangan-keterangan para ahli yang kutemukan.”
“Hindarkanlah manusia-manusia lain,” Abu Hanifah menyarankan.
Maka Daud Ath-Tha’i berpaling dari manusia-manusia lain dan mengucilkan diri di dalam rumahnya. Setelah lama berselang barulah Abu Hanifah datang mengunjunginya. “Wah, caranya bukan dengan bersembunyi di dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga. Yang harus engkau lakukan adalah duduk di kaki para imam dan mendengarkan ajaran-ajaran mulia yang mereka kemukakan. Tanpa mengucapkan sepatah kata jua pun engkau harus mencamkan segala sesuatu yang mereka kemukakan itu. Dengan berbuat demikian engkau akan lebih memahami masalah-masalah yang mereka perbincangkan itu daripada mereka sendiri.”
Setelah menyadari maksud dari kata-kata Abu Hanifah itu, Daud Ath-Tha’i kembali mengikuti pelajaran-pelajarannya. Setahun lamanya ia duduk di kaki para imam, tanpa mengucapkan sepatah kata, menerima keterangan-keterangan mereka dengan tekun, dan cukup dengan mendengarkan saja tanpa memberi atau mengajukan tanggapan. Setelah berakhir masa setahun itu Daud berkata :
“Ketekunanku dalam setahun itu adalah sama dengan tiga puluh tahun bekerja keras.”
Kemudian ia bertemu dengan Habib ar-Ra’i yang membawanya ke jalan para sufi. Jalan ini ditempuhnya dengan tawakal, buku-buku yang dimilikinya dilemparkannya ke dalam sungai, kemudian ia mengasingkan diri dan membuang segala harapan dari manusia manusia lain.
Daud menerima uang sebanyak dua puluh dinar sebagai warisan. Jumlah ini dihabiskannya dalam waktu dua puluh tahun. Beberapa orang syeikh mencela perbuatannya itu.
“Di atas jalan ini kita harus memberi, bukan menabung untuk diri sendiri,” kata mereka.
Dengan uang sebanyak ini aku dapat menenangkan diriku. Uang sebanyak ini cukup bagi diriku hingga mati nanti,” jelas Daud Ath-Tha’i.
Daud Ath-Tha’i menjalani kehidupan yang sedemikian prihatin sehingga untuk makanannya ia sering mencelupkan roti ke dalam air, kemudian mereguk air itu, sambil berdalih :
“Sebelum memakan roti ini aku masih sempat membaca lima puluh ayat al-Quran. Mengapa harus ku sia-siakan hidupku ini?”
Abu Bakr bin ‘Iyasy meriwayatkan : “Pada suatu ketika aku masuk ke dalam kamar Daud Ath-Tha’i. Ku lihat ia sedang memegang sepotong roti kering dan menangis. “Apakah yang telah terjadi Daud Ath-Tha’i? Tanyaku. Daud menjawab : “Aku hendak memakan roti ini tetapi aku tidak tahu apakah roti ini halal atau tidak.”
Yang lain meriwayatkan : “Aku pergi ke rumah Daud Ath-Tha’i dan ku lihat satu kendi air sedang terjemur di terik matahari. Aku bertanya kepadanya, “Mengapakah engkau tidak menaruh kendi air itu di tempat yang teduh? Daud Ath-Tha’i menjawab : “Ketika tadi ku taruh di situ tempat itu masih teduh. Tetapi sekarang untuk memindahkannya aku merasa malu untuk melakukan kesibukan di depan Allah.”

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI DAUD
Diriwayatkan, bahwa Daud Ath-Tha’i pernah mempunyai sebuah rumah gedung besar dengan kamar-kamar yang banyak jumlahnya. Ia menempati salah satu di antara kamar-kamar itu, dan apabila kamar itu hancur dimakan usia, barulah ia pindah ke kamar yang lain.
“mengapakah engkau tidak memperbaiki kamar itu?” seseorang bertanya kepada Daud Ath-Tha’i.
“Aku telah berjanji kepada Allah tidak akan memperbaiki dunia ini,” jawab Daud Ath-Tha’i.
“Atap kamarmu telah lapuk,” seorang tamu berkata kepadanya,” tidak lama lagi pasti ambruk.
Lambat laun seluruh bangunan itu runtuh, tidak sesuatu pun yang masih utuh kecuali serambinya. Pada malam kematian Daud Ath-Tha’i, barulah serambi itu runtuh.
“Sudah dua puluh tahun lamanya aku tidak pernah memperhatikan atap kamarku ini,” jawab Daud Ath-Tha’i.
oooOOOooo
“Mengapakah engkau tidak menikah?” beberpa orang bertanya kepada Daud Ath-Tha’i.
“Aku tidak mau mendustai seorang wanita yang beriman.”
“Mengapa demikian.?”
“Andaikanlah aku melamar seorang wanita, hal itu berarti bahwa aku sanggup untuk menafkahinya. Tetapi karena pada waktu yang bersamaan aku tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban agama dan dunia, bukankah hal itu berarti bahwa aku telah mendustainya?/”
“Baiklah, tetapi setidak-tidaknya engkau perlu menyisir janggutmu,” kata mereka.
“Hal itu berarti aku sempat berlalai-lalai,” jawab Daud Ath-Tha’i.
oooOOOooo
Pada suatu mala di bulan pernama, Daud Ath-Tha’i naik ke atas loteng rumahnya, lalu menatap langit. Ia terlena menyaksikan keindahan kerajaan Allah, sehingga menangis sampai tidak sadarkan diri, dan terjatuh ke loteng rumah tetangga. Si tetangga yang mengira ada maling di atas atap, datang memburu dengan sebilah pedang. Tetapi begitu yang dijumpainya adalah Daud Ath-Tha’i segeralah ia meraih Daud Ath-Tha’i untuk berdiri.
“Siapa yang telah menjerumuskanmu?,” tanyanya.
“Entahlah,” jawab Daud Ath-Tha’i. “Aku tidak sadar. Aku sendiri pun tidak habis pikir.”
oooOOOooo
Pada suatu saat ketika orang-orang menyaksikan Daud Ath-Tha’i bergegas-gegas hendak melakukan shalat.
“Mengapa engkau tergesa-gesa seperti ini?,” tanya mereka kepada Daud Ath-Tha’i.
“Pasukan yang berada di gerbang kota sedang menantikan kedatanganku,” jawab Daud Ath-Tha’i.
“Pasukan siapa?,” tanya mereka.
“Penghuni - penghuni kubur,” jawab Daud Ath-Tha’i.
oooOOOooo
Harun  ar-Rasyid meminta Abu Yusuf supaya mengantarkan ke rumah Daud Ath-Tha’i. Maka pergilah mereka ke rumah Daud Ath-Tha’i, tetapi tidak diperkenankan masuk. Abu Yusuf memohon agar Ibu Daud Ath-Tha’i mau membujuk anaknya.
“Terimalah mereka,” Ibunya membujuk Daud Ath-Tha’i.
“Apakah urusanku dengan penduduk dunia dan orang-orang berdosa?” jawab Daud Ath-Tha’i tidak mau mengalah.
“Demi hakku yang telah menyusuimu, aku minta kepadamu, izinkanlah mereka masuk!.” Desak ibunya.
Maka berserulah Daud Ath-Tha’i : “Ya Allah, Engkau telah berkata : “Patuhilah ibumu, karena keridhaan-Ku adalah keridhaannya,”. Jika tidak demikian, apakah peduliku kepada mereka itu.?”
Akhirnya Daud Ath-Tha’i bersedia menerima mereka. Harun Ar-Rasyid dan Abu Yusuf masuk dan duduk. Daud Ath-Tha’i memberikan pengajaran dan Harun Ar-Rasyid menangis tersedu-sedu. Ketika hendak kembali ke istana, Harun meletakkan sekeping mata uang emas sambil berkata :
“Uang ini halal.”
“Ambillah uang itu kembali.” cegah Daud Ath-Tha’i. “Aku tidak memerlukan uang itu. Aku telah menjual rumah yang kuterima sebagai warisan yang halal dan hidup dengan uang penjualan itu. Aku telah memohon kepada Allah, jika uang itu telah habis, agar Dia mencabut nyawaku, sehingga aku tidak akan membutuhkan bantuan dari seorang manusia pun. Aku berkeyakinan bahwa Allah telah mengabulkan permohonanku itu.”
Harun ar-Rasyid dan Abu yusuf kembali ke istana. Kemudian Abu Yusuf mendatangi orang yang diamanahkan uang itu oleh Daud Ath-Tha’i dan bertanya :
“Masih berapakah uang Daud Ath-Tha’i yang tersisa?.”
“dua dirham,” jawab orang itu. “Setiap hari Daud Ath-Tha’i membelanjakan satu sen uang perak.”
Abu Yusuf membuat perhitungan. Beberapa hari kemudian di dalam masjid di depan semua jama’ah ia mengumumkan :
“Hari ini Daud Ath-Tha’i meninggal dunia.”
Setelah diselidiki ternyata bahwa kata-kata Abu Yusuf itu benar.
“Bagaimanakah engkau mengetahui kematian Daud Ath-Tha’i?” orang-orang bertanya kepada Abu Yusuf.
“Aku telah memperhitungkan bahwa pada hari ini Daud Ath-Tha’i tidak mempunyai uang lagi. Aku tahu bahwa doa Daud Ath-Tha’i pasti dikabulkan Allah.



Diambil dari Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin AtTar

Minggu, 24 Januari 2016

Lima Golongan Manusia Penghuni Syurga



Dari Umar ra bahwa ia berkata mengenai hadits mauquf ( hadits yang diriwayatkan para sahabat namun tidak sampai kepada Rasulullah saw), atau hadits marfu' (hadits yang diberitakan oleh para sahabat dari sabda Rasulullah saw), sebagai berikut:

"Seandainya tiada kekhawatiran tuduhan akan mengetahui hal yang ghaib, niscaya aku bersaksi bahwa lima golongan berikut adalah penghuni syurga, yaitu: Orang fakir yang mempunyai keluarga, istri yang diridhai suaminya, istri yang menyedekahkan mahar kepada suaminya, orang yang diridhai kedua orangtuanya, dan yang bertaubat dari dosa."

Yakni lima golongan calon penghuni syurga sebagaimana tersebut di atas adalah:

  1. Orang fakir yang mempunyai keluarga, berupa hamba sahaya, istri dan anak kecil lalu dia menanggung kewajiban nafkahnya,
  2. Istri yang diridhai suaminya,
  3. Istri yang menyedekahkan mahar kepada suaminya,
  4. Orang yang diridhai kedua orang tuanya,
  5. Dan yang bertaubat dari dosa.

Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: "Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak mempunyai dosa" (HR. Al-Baihaqi).

Diriwayatkan pula Nabi saw bersabda; "Setiap anak Adam banyak berbuat kesalahan dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah orang-orang yang bertaubat". (HR. Imam Ahmad dan At-Tirmizi).

Dalam riwayat lain Nabi saw juga bersabda: "Sesungguhnya Allah lebih gembira dengan taubat seseorang daripada gembiranya orang yang kehausan yang mendapat air minum, dari pada orang mandul yang kemudian beranak, dan orang yang sesat di perjalanan lalu bisa menemukan jalan yang benar. Dan barang siapa yang bertaubat kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, maka Allah menjadikan para malaikat pencatat amal, anggota badannya dan tempat-tempat yang digunakan berbuat dosa lupa akan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya." (HR. Abul Abas).

Dari Kitab Nashoihul Ibad , Nasihat buat Hamba Allah, Karya Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi.

Minggu, 03 Januari 2016

Syaqiq Al Balkh

SYAQIQ AL-BALKH


KEHIDUPAN SYAQIQ AL-BALKH

Syaqiq al-Balkh adalah seorang ahli dalam berbagai  cabang ilmu pengetahuan dan banyak buku yang telah ditulisnya. Ketika ia belajar jalan kesufian dari Ibrahim bin Ad-ham, dalam waktu bersamaan ia juga mengajar Hatim Si Orang Tuli. Syaqiq al-Balkh mengAkui bahwa ia telah belajar dari 1700 orang guru dan memiliki buku sebanyak beberapa pemikulan unta.
Kisah pertaubatan Syaqiq al-Balkh dimulai dari sewaktu Syaqiq al-Balkh mengadakan suatu ekspedisi dagang ke Turkistan, Di dalam perjalanan itu ia berhenti untuk melihat-lihat sebuah kuil. Di dalamnya ia lihat ada seorang yang sedang menyembah berhala dengan penuh khusyuk. Syaqiq al-Balkh menegur si penyembah berhala itu : “Sesungguhnya yang menciptakan engkau adalah Yang Maha Hidup, Maha Kuasa serta Maha Tahu, sembahlah Dia. Hendaklah engkau malu dan jangan menyembah sebuah berhala yang tak dapat mendatangkan kebajikan maupun aniaya kepadamu.”
“Jika benar kata-katamu itu,” jawab si penyembah berhala, “mengapakah Dia tidak sanggup memberikan nafkahmu sehari-hari di kota kediamanmu sendiri? Masih perlukah engkau melakukan perjalanan sejauh ini?”.
Kata-kata ini membuka hati Syaqiq al-Balkh. Ia lalu bertemu oroester yang kebetulan menuju kota yang sama. Ia bertanya kepada Syaqiq al-Balkh : “Apakah usahamu?.”
“Berdagang,” jwab Syaqiq al-Balkh.
“Jika engkau mencari rezeki yang belum ditakdirkan untukmu, sampai kiamat sekalipun engkau tidak memperrolehnya. Tetapi jika engkau hendak mencari rezeki yang telah ditakdirkan untuk mu, engkau tidak perlu pergi ke mana-mana, karena rezeki itu akan datang sendiri.”
Ucapan ini semakin menyadarkan Syaqiq al-Balkh dan kecintaannya terhadap kekayaan dunia semakin pudar. Akhirnya sampailah Syaqiq al-Balkh ke kota Balkh. Sahabat-sahabatnya menyambut kedatangannya dengan hangat karena ia terkenal dengan kemurahan hatinya.
Pada masa itu yang menjadi pangeran di kota Balkh adalah ‘Ali bin ‘Isa bin Haman, yang memelihara beberapa ekor anjing pemburu. Kebetulan pada saat itu seekor anjingnya hilang.
“Anjing itu ada di rumah tetangga Syaqiq al-Balkh,” orang-orang melaporkannya kepada si pangeran.
Maka ditangkaplah tetangga Syaqiq al-Balkh itu dengan tuduhan telah mencuri seekor anjing. Ia dipukuli. Akhirnya meminta perlindungan kepada Syaqiq al-Balkh. Maka pergilah Syaqiq al-Balkh menghadap sang pangeran lelu memohon : “Berikanlah kepadaku waktu tiga hari untuk mengembalikan anjingmu itu. Tetapi bebaskanlah sahabatku itu.”
Si pangeran membebaskan tetangga Syaqiq al-Balkh. Tiga hari kemudian secara kebetulan seseorang menemukan seekor anjing. Orang itu berkata di dalam hatinya : “Anjing ini akan kuberikan kepada Syaqiq al-Balkh. Syaqiq al-Balkh adalah seorang yang pemurah, tentu ia akan memberikan imbalan kepadaku.”
Anjing itu dibawanya kepada Syaqiq al-Balkh. Kemudian Syaqiq al-Balkh menyerahkan binatang itu kepada si pangeran dan terpenuhilah janjinya. Setelah peristiwa itu Syaqiq al-Balkh bertekad untuk benar-benar berpaling dari urusan duniawi.
Di kemudian hari, terjadi bencana kelaparan di kota Balkh, sampai begitu parah sehingga manusia mengganyang sesamanya. Di sebuah pasar Syaqiq al-Balkh melihat seorang hamba yang tertawa-tawa dengan gembira. Syaqiq al-Balkh bertanya kepadanya : “Apakah yang membuatmu segembira ini? Tidak kau lihatlah betapa semua orang menanggung kelaparan?.”
“Apa perduliku?!”, jawab si hamba. “Tuanku memiliki sebuah desa dan mempunyai banyak persediaan gandum. Ia tidak akan membiarkan aku kelaparan.”
Mendengar jawaban si hamba ini, Syaqiq al-Balkh tidak dapat menahan dirinya, maka berserulah ia kepada Allah : “Ya Allah, budak ini sangat gembira karena tuannya mempunya gandum. Engkau adalah Raja di antara sekian raja, dan telah berjanji akan memberikan makanan kami sehari-hari. Jika demikian, mengapakah kami harus gelisah.?”
Setelah peristiwa itu ditinggalkanya segala urusan duniawi lalu bertaubat dengan sepenuh hatinya. Ia melangkah di atas jalan Allah dan memasrahkan diri kepada-Nya. Syaqiq al-Balkh sering berkata : “aku adalah murid dari seorang hamba.”
Hatim Al Asam mengisahkan : Aku dan Syaqiq al-Balkh ikut berperang. Suatu hari terjadi pertempuran yang begitu seru. Kedua pasukan saling berbentur rapat dan yang kelihatan hanya ujung-ujung tombak saja, sedang anak panah meluncur bagaikan hujan. Syaqiq al-Balkh berseru kepadaku : “Hatim! Bagaimanakah engkau menikmati pertempuran ini? Apa seperti malam terakhir ketika engkau bergaul bersama isterimu?.”
“Sama sekali tidak,” jawabku.
“Dengan nama Allah, mengapa tidak?, Syaqiq al-Balkh berseru. “Begitulah yang kurasakan saat ini. Aku merasa seperti yang engkau rasakan malam itu di tempat tidurmu.”
Ketika malam tiba, Syaqiq al-Balkh membaringkan tubuhnya dan dengan berselimutkan jubahnya ia pun tertidur. Sedemikian sempurna kepasrahannya kepada Allah, sehingga walau terkurung oleh pasukan musuh yang sangat banyak itu, ia masih dapat tertidur pulas.
Suatu hari ketika Syaqiq al-Balkh sedang memberikan ceramah, terdengarlah berita bahwa pasukan kafir telah berada di gerbang kota. Syaqiq al-Balkh segera menyerbu ke luar, mengobrak-abrik pasukan musuh dan kembali ke tempat semula. Salah seorang muridnya menaruh seikat bunga di sajadahnya. Syaqiq al-Balkh memungut kembang-kembang itu lalu menciuminya. Melihat perbuatan Syaqiq al-Balkh ini, seorang yang tak tahu kejadian tadi berseru : “Pasukan musuh sudah berada di gerbang kota tetapi imam kaum Muslimin masih mencium-cium bunga!”
“Si munafik hanya melihat bunga-bunga yang diciumi tetapi tak melihat betapa orang-orang kafir telah dikucar-kacirkan,” balas Syaqiq al-Balkh.

SYAQIQ AL-BALKH DI DEPAN HARUN AR-RASYID

Syaqiq al-Balkh mengadakan perjalanan ke Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di kota Baghdad, Harun ar-Rasyid memanggilnya untuk menghadap.
Setelah menghadap, bertanyalah Harun ar-Rasyid kepada Syaqiq al-Balkh : “Engkahkah Syaqiq al-Balkh pertapa?”
“Aku adalah Syaqiq al-Balkh, tetapi aku bukan seorang pertapa,” jawab Syaqiq al-Balkh.
“Berilah petuah kepadaku!.” Perintah Harun.
“Jika demikian, dengarkanlah!”, Syaqiq al-Balkh memulai. “Allah yang Maha Besar telah memberi kepadamu kedudukan Abu bakar yang setia dan Dia menghendaki kesetiaan yang sama darimu. Allah telah memberi kedudukan “Umar yang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan, Dia menghendaki engkau dapat pula membedakan kebenaran dari kepalsuan. Allah telah memberimu kedudukan Utsman yang memperoleh cahaya kesedarhaan dan kemuliaan, dan Dia menghendaki agar engkau juga bersikap sederhana dan Mulia. Allah telah memberikan kepadamu kedudukan ‘Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, Dia menghendaki agar engkau bersikap bijaksana dan adil pula.”
“Lanjutkanlah!”, pinta Harun.
“Allah mempunyai tempat yang diberi nama neraka,” Syaqiq al-Balkh meneruskan. “Dia telah mengangkatmu menjadi penjaga pintu neraka dan mempersenjatai dirimu dengan tiga hal; kekayaan, pedang dan cemeti. Allah memerintahkan : “Dengan kekayaan, pedang dan cemeti ini usirlah ummat manusia dari neraka. Jika ada orang yang datang mengharapkan pertolonganmu, janganlah engkau bersikap kikir. Jika ada orang yang menentang perintah Allah, perbaikilah dirinya dengan cemeti ini. Jika ada yang membunuh saudaranya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang ini! Jika engkau tidak melaksanakan perintah Allah itu, niscaya engkau akan menjadi pemimpin orang-orang yang masuk ke dalam neraka itu.”
“Lanjutkanlah!.” Desak Harun lagi.
“Engkau adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya. Apabila telaga itu airnya bening, niscaya ia tidak akan cemar karena kekeruhan anak-anak sungai tersebut. Apabila telaga itu keruh, betapakah mungkin anak-anak sungai tersebut akan bening?.”
“Lanjutkanlah!.”
“Seandainya engkau hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada saat itu ada seseorang menawarkan seteguk air, berapakah harga yang berani engkau bayar untuk mendapatkan air itu?.”
“Berapapun yang dimintanya,” jawab Harun.
“Seandainya ia baru menjual air itu seharga setengah kerajaanmu?.”
“Aku akan menerima tawarannya itu,” jawab Harun.
“Kemudian andaikan air yang telah engkau minum itu tidak dapat keluar dari dalam tubuhmu sehingga engkau terancam binasa,” Syaqiq al-Balkh melanjutkan, “Sesudah itu datang pula seseorang menawarkan bantuannya kepadamu : “Akan ku sembuhkan engkau tetapi serahkanlah setengah dari kerajaanmu kepadaku,” Apakah jawabanmu?”
“Akan kuterima tawarannya itu,” jawab Harun.
“Oleh karena itu, mengapa engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang harganya hanya seteguk air yang engkau minum lantas engkau keluarkan kembali.?”
Harun menangis dan melepas Syaqiq al-Balkh dengan penuh kehormatan.



Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin At tar.

Tags: syaqiq al balkh, kisah syaqiq al balkh, riwayat syaqiq al-balkh.

Sofyan Ats-Tsauri

SOFYAN ATS-TSAURI

Suatu hari Sofyan Ats-Tsauri salah mengenakan pakaiannya. Ketika hal ini dikatakan kepadanya, ia segera hendak memperbaiki pakaiannya tetapi cepat-cepat dibatalkannya pula niatnya itu, dan berkata, “Aku mengenakan pakaian ini karena Allah dan aku tak ingin mengubahnya hanya karena manusia.”


SOFYAN ATS-TSAURI DAN PARA KHALIFAH

Kesalehan Sofyan Ats-Tsauri nampak sejak ia masih berada di dalam kandungan ibunya. Suatu hari ibunya sedang berada di atas loteng rumah. Si ibu mengambil beberapa asinan yang sedang dijemur tetangganya di atas atap dan memakannya. Tiba-tiba Sofyan Ats-Tsauri yang masih berada di dalam rahim ibunya itu menyepak sedemikian kerasnya sehingga si ibu mengira bahwa ia keguguran.

Diriwayatkan bahwa yang menjadi khalifah pada masa itu ketika shalat di depan Sofyan Ats-Tsauri memutar-mutar kumisnya. Setelah selesai shalat, Sofyan Ats-Tsauri berseru kepadanya :

“Engkau tidak pantas melakukan shalat seperti itu. Di Padang Mahsyar nanti shalatmu itu akan dilemparkan ke mukamu sebagai sehelai kain lap yang kotor.”

“Berbicaralah yang sopan,” tegur si khalifah.

“Jika aku enggan melakukan tanggung jawabku ini,” jawab Sofyan Ats-Tsauri,” semoga kencingku berubah menjadi darah.”

Khalifah sangat marah mendengar kata-kata Sofyan Ats-Tsauri ini lalu memerintahkan agar ia dipenjarakan dan dihukum gantung. Agar tidak ada orang-orang lain yang seberani itu lagi terhadap khalifah.

Suatu hari tiang gantungan dipersiapkan, Sofyan Ats-Tsauri masih tertidur lelap dengan kepala berada dalam dekapan seorang manusia suci dan kakinya di pangkuan Sofyan bin Uyaina. Kedua manusia suci tersebut yang mengetahui bahwa tiang gantungan sedang dipersiapkan, bersepakat :

“Janganlah ia sampai mengetahui hal ini.” Tetapi ketika itu juga Sofyan Ats-Tsauri terjaga. “Apakah yang sedang terjadi?,” tanyanya.

Kedua manusia suci itu terpaksa menjelaskan walau dengan sedih sekali.

“Aku tidak sedemikian mencintai kehidupan ini,” kata Sofyan Ats-Tsauri. “Tetapi seorang manusia harus harus melakukan kewajibannya selama ia berada di atas dunia ini.”

Dengan mata berlinag-linang Sofyan Ats-Tsauri, berdoa : “Ya Allah, sergaplah mereka seketika ini juga!.”

Pada saat itu sang khalifah sedang duduk di atas tahta dikelilingi oleh menteri-menterinya. Tiba-tiba petir menyambar istana dan khalifah beserta menteri-menterinya itu ditelah bumi,

“Benar-benar sebuah doa yang diterima dan dikabulkan dengan seketika!.” Kedua manusia suci yang mulia itu beseru.

Seorang khalifah yang lain naik pula ke atas tahta. Ia percaya kepada kesalehan Sofyan Ats-Tsauri, Si khalifah mempunyai seorang tabib yang beragama Kristen. Ia adalah seorang guru besar dan sangat ahli. Khalifah mengirim ini untuk mengobati penyakit Sofyan Ats-Tsauri. Ketika tabib memeriksa air kecing Sofyan Ats-Tsauri, ia berkata di dalam hati. “Inilah seorang manusia yang hatinya telah berubah menjadi darah karena takut kepada Allah. Darah keluar sedikit demi sedikit melalui kantong kemihnya.” Kemudian ia menyimpulkan. “Agama yang dianut oleh seorang manusia seperti ini tidak mungkin salah.”

Si tabib segera beralih kepada agama Islam. Mengenai peristiwa ini khalifah berkata : “Ku sangka aku mengirimkan seorang tabib untuk merawat seorang sakit, kiranya aku mengirim seorang sakit untuk dirawat seorang tabib yang besar.”


ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SOFYAN ATS TSAURI

Suatu hari Sofyan Ats-Tsauri bersama seorang sahabatnya lewat di depan rumah seorang terkemuka. Sahabatnya terpesona memandang serambi rumah itu. Sofyan Ats-Tsauri mencela perbuatan temannya itu.

“Jika engkau beserta orang-orang yang seperti engkau ini tidak terpesona dengan istana-istana mereka, niscaya mereka tidak bermegah-megah seperti ini. Dengan terpesona seperti itu engkau ikut berdosa di dalam sikap bermegah-megah mereka.”

oooOOOooo

Seorang tetangga Sofyan Ats-Tsauri meninggal dunia, Sofyan Ats-Tsauri pun pergi untuk membacakan doa pada penguburannya. Setelah selesai, terdengar olehnya orang-orang berkata : “Almarhum adalah seorang yang baik.”

“Seandainya kau ketahui bahwa orang lain menyukai almarhum,” kata Sofyan Ats-Tsauri, “Niscaya aku tidak turut di dalam penguburan ini. Jika seseorang bukan munafik, maka orang-orang lain tidak akan menyukainya!.”
oooOOOooo

Suatu hari Sofyan Ats-Tsauri salah mengenakan pakaiannya. Ketika hal ini dikatakan kepadanya, ia segera hendak memperbaiki pakaiannya tetapi cepat-cepat dibatalkannya pula niatnya itu, dan berkata, “Aku mengenakan pakaian ini karena Allah dan aku tak ingin mengubahnya hanya karena manusia.”

Seorang pemuda mengeluh karena tidak sempat menunaikan ibadah haji. Sofyan Ats-Tsauri menegurnya : “Telah empat puluh kali aku menunaikan ibadah haji. Semuanya akan ku berikan kepadamu asalkan engkau mau memberikan keluhanmu itu kepadaku.”
“Baiklah,” si pemuda menjawab.

Malam harinya dalam mimpinya Sofyan Ats-Tsauri mendengar sebuah suara yang berkata kepadanya : “Engkau mendapat keuntungan yang sedemikian besarnya sehingga apabila dibagi-bagikan kepada semua jama’ah di padang Arafah, niscaya setiap orang di antara mereka menjadi kaya raya.”

oooOOOooo

Suatu hari ketika Sofyan Ats-Tsauri sedan memakan sepotong roti lewatlah seekor anjing. Anjing itu diberinya roti secabik demi secabik. Seseorang bertanya kepada Sofyan Ats-Tsauri :

“Mengapa roti-roti itu tidak engkau makan beserta anak isterimu?”

“Jika anjing ini kuberi roti,” jawab Sofyan Ats-Tsauri, “niscaya ia akan menjagaku sepanjang malam sehingga aku dapat beribadah dengan tenang. Jika roti ini kuberikan kepada anak isteriku niscaya mereka akan menghalangi diriku untuk beribadah kepada Allah.”

oooOOOooo

Pada suatu ketika Sofyan Ats-Tsauri melakukan perjalanan ke Mekkah, ia diusung di atas sebuah tandu, Selama di dalam perjalanan, Sofyan Ats-Tsauri menangis terus menerus. Seorang sahabat yang menyertainya bertanya.

“Apakah engkau menangis karena takut akan dosa-dosamu?”.

Sofyan Ats-Tsauri mengulurkan tangannya dan mencabut beberapa helai jerami.

“Dosa-dosaku memang banyak, tetapi semuanya tidaklah lebih berarti daripada pegangan jerami imanku benar-benar iman atau bukan.”

oooOOOooo

Betapa cintanya Sofyan Ats-Tsauri terhdap semua makhluk Allah. Suatu hari ketika berada di pasar, ia melihat seekor burung di dalam sangkar. Si burung mengepak-ngepakan sayap dan mencicit-cicit dengan sedihnya. Sofyan Ats-Tsauri membeli burung itu lalu melepaskannya. Setiap malam burung itu datang ke rumah Sofyan Ats-Tsauri, menunggui Sofyan Ats-Tsauri apabila ia sedang shalat dan sekali-sekali hinggap di tubuhnya.

Ketika Sofyan Ats-Tsauri meninggal dunia dan mayatnya diusung ke pemakaman, si burung ikut pula mengantarkannya dan seperti pengantar-pengantar yang lain ia pun mencicit-cicit sedih. Ketika mayat Sofyan Ats-Tsauri diturunkan ke dalam tanah, si burung menyerbu masuk ke dalam kuburan itu. Kemudian terdengarlah suara dari dalam kuburan itu :

“Allah Yang Maha Besar telah memberi ampunan kepada Sofyan Ats-Tsauri karena telah menunjukan belas kasih kepada makhluk-makhlik-Nya.”

Si burung mati pula menyertai Sofyan Ats-Tsauri.

Sumber: Kitab Tadkirotul Auliya, Karya Fariduddin At Tar


Tags:
sofyan ats-tsauri, kisah sofyan ats-tsauri, kisah teladan sofyan ats tsauri, riwayat singkat sofyan ats tsauri, cerita sufi sofyan ats tsauri, riwayat hidup sofyan ats-tsauri.

Abdullah Bin Mubarak

ABDULLAH BIN AL MUBARAK






PERTAUBATAN ‘ABDULLAH BIN LA-MUBARAK

“Abdullah bin Mubarak sedemikian tergila-gila kepada seorang gadis dan membuat ia terus menerus dalam kegundahan. Suatu malam di musim dingin ia berdiri di bawah jendela kamar kekasihnya sampai pagi hari hanya karena ingin melihat kekasihnya itu walau untuk sekilas saja. Salju turun sepanjang malam itu. Ketika adzan shubuh terdengar, ia masih mengira bahwa itu adalah adzan untuk shalat ‘Isa. Sewaktu fajar menyingsing, barulah ia sadar betapa ia sedemikian terlena dalam merindukan kekasihnya itu.

“Wahai putera Mubarak yang tak tahu malu!,” katanya kepada dirinya sendiri. “Di malam yang indah seperti ini engkau dapat tegak terpaku sampai pagi hari karena hasrat pribadimu, tetapi apabila seorang imam shalat membaca surah yang panjang engkau menjadi sangat gelisah.”

Sejak saat itu hatinya sangat gundah. Kemudian ia bertaubat dan menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah. Sedemikian sempurna kebaktiannya kepada Allah sehingga pada suatu hari ketika ibunya memasuki taman, ia lihat anaknya tertidur di bawah rumpun mawar sementara seekor ular dengan bunga narkisus di mulutnya mengusir lalat yang hendak mengusiknya.

Setelah bertaubat itu ‘Abdullah bin Mubarak  meninggalkan kota Merv untuk beberapa lama menetap di Baghdad ia pergi ke Mekkah kemudian ke Merv. Penduduk Merv menyambut kedatangannya dengan hangat. Mereka kemudian mengorganisir kelas-kelas dan kelompok-kelompok studi. Pada masa itu sebagian penduduk beraliran Sunnah sedang sebagiannya lagi beraliran Fiqh. Itulah sebabnya mengapa ‘Abdullah bin Mubarak   disebut sebagai tokoh yang dapat diterima oleh kedua aliran itu. Ia mempunyai hubungan baik dengan kedua aliran tersebut dan masing-masing aliran itu mengakuinya sebagai anggota sendiri. Di kota Merv, ‘Abdullah bin Mubarak   mendirikan dua buah sekolah tinggi, yang satu untuk golongan Sunnah dan satu lagi untuk golongan Fiqh. Kemudian ia berangkat ke  Hijaz dan untuk kedua kalinya menetap di Mekkah.

Di kota ini ia  mengisi tahun-tahun kehidupannya secara berselang-selang. Tahun pertama ia menunaikan ibadah haji dan pada tahun kedua ia pergi berperang, tahun ketiga ia berdagang. Keuntungan dari perdagangannya itu dibagikannya kepada para pengikutnya. Ia biasa membagi-bagikan kurma kepada orang-orang miskin kemudian menghitung biji buah kurma yang mereka makan, dan memberikan hadiah satu dirham untuk setiap biji kepada siapa di antara mereka yang paling banyak memakannya.

‘Abdullah bin Mubarak   sangat teliti dalam kesalehannya. Suatu ketika ia mampir di sebuah warung kemudian pergi shalat. Sementara itu kudanya yang berharga mahal menerobos ke dalam sebuah ladang gandum. Kuda itu lalu ditinggalkannya dan meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki. Mengenai hal ini ‘Abdullah bin Mubarak   berkata : “Kudaku itu telah mengganyang gandum-gandum yang ada pemiliknya.” Pada peristiwa lain, ‘Abdullah bin Mubarak   melakukan perjalanan dari Merv ke Damaskus untuk mengembalikan sebuah pena yang dipinjamnya dan lupa mengembalikannya.

Suatu hari ‘Abdullah bin Mubarak   melalui suatu tempat. Orang-orang mengatakan kepada seorang buta yang ada di situ bahwa ‘Abdullah bin Mubarak   sedang melewati tempat itu. “Mintalah kepadanya segala sesuatu yang engkau butuhkan!.”

“‘Abdullah, berhentilah!.” Orang buta itu berseru. ‘Abdullah bin Mubarak   lalu berhenti.

“Doakanlah kepada Allah untuk mengembalikan penglihatanku ini,” ia memohon kepada ‘Abdullah bin Mubarak  .

“‘Abdullah bin Mubarak   menundukan kepala lalu berdoa. Seketika itu juga orang buta itu dapat melihat kembali.


‘ABDULLAH BIN MUBARAK DAN ‘ALI BIN AL-MUWAFFAQ

Di masa ‘Abdullah bin Mubarak   tinggal di kota Mekkah, setelah ia selesai menyempurnakan ibadah haji, ia tertidur. Di dalam tidurnya itu ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit. Seorang di antara keduanya bertanya :

“Berapa orangkah yang telah datang pada tahun ini?”.

“Enam ratus ribu orang,” jawab temannya.

“Berapa orang di antara semuanya yang diterima ibadah hajinya?

“Tidak seorang pun.”

“Setelah mendengar kata-kata itu,” ‘Abdullah bin Mubarak berkisah, “ Tubuhku gemetar. Aku berseru : “Apa? Mereka telah datang dari pelosok-pelosok yang jauh dan dari setiap lembah yang dalam dengan susah payah mereka melintasi padang pasir yang luas, tetapi semuanya itu sia-sia?”. 

Salah seorang di antara malaikat itu menjawab : “Ada seorang tukang sepatu di kota Damaskus yang bernama “Ali bin Muwaffaq. Ia tidak datang kemari tetapi ibadah hajinya telah diterima dan segala dosanya telah diampuni Allah.”

“Setelah mendengar hal ini,” Abdullah bin Mubarak meneruskan, “Aku terjaga dan berkata : “Aku harus pergi ke Damaskus untuk menemui “Ali bin Muwaffaq”. Maka berangkatlah aku ke kota Damaskus dan mencari tempat tinggalnya. Sesampainya di kota Damaskus aku segera menyeru-nyerukan nama “Ali bin Muwaffaq lalu seseorang menyahut. “Siapakah namamu?”, tanyaku. “Ali bin Muwaffaq,” jawabnya. “Aku ingin berbicara denganmu,” kataku. “Berbicaralah!.” Jawabnya. Apakah pekerjaanmu?. “Membuat sepatu”. Kemudian ku kisahkan kepadanya perihal mimpiku itu. Setelah itu “Ali bin Muwaffaq bertanya kepadaku : “Siapakah namamu?”. Abdullah bin Mubarak,” jawabku. Ia menjerit lalu jatuh pingsan. Ketika ia siuman kembali aku mendesaknya. “Ceritakanlah perihal dirimu  sendiri kepadaku.” Maka berceritalah ia padaku.

“Telah tiga puluh tahun lamanya aku bercita-cita hendak menunaikan ibadah haji. Dari pekerjaan membuat sepatu ini aku telah berhasil menabung uang sebanyak tiga ratus lima puluh dirham. Aku telah bertekad akan pergi ke Mekkah pada tahun ini juga. Ketika itu isteriku sedang mengidam dan terciumlah olehnya bau makanan dari rumah sebelah. “Mintakanlah untukku makanan itu sedikit!.”, isteriku memohon kepadaku. Aku pun pergi lalu mengetuk pintu si tetangga dan menerangkan hal yang sebenarnya. Tetapi si tetangga itu tiba-tiba menangis kemudian berkata : “Tiga hari lamanya anak-anaku tidak makan. Tadi siang kulihat ada seekor keledai yang tergeletak (mati), maka aku pun menyayat dagingnya sekerat lalu memasaknya. Makanan ini tidak halal untukmu.” Aku sangat sedih mendengar perihalnya itu. Maka kuambillah tabunganku yang berjumlah tiga ratus lima puluh dirham itu dan kuserahkan semuanya kepadanya. Gunakanlah uang ini untuk anak-anakmu,” pesanku, Inilah ibadah hajiku.”

“Malaikat-malaikat itu telah berbicara dengan sebenarnya di dalam mimpiku,” Abdullah bin Mubarak menyatakan,” dan Penguasa kerajaan surga benar-benar adil di dalam pertimbangan-Nya.”


‘ABDULLAH BIN MUBARAK DAN HAMBANYA

Abdullah bin Mubarak mempunyai seorang hamba. Seseorang memberitahu Abdullah bin Mubarak.
“Hambamu itu setiap hari membongkar kuburan dan memberikan hasilnya kepadamu.”

Pengaduan ini sangat meggelisahkan Abdullah bin Mubarak. Suatu malam dibuntutinyalah hambanya itu. Si hamba pergi ke sebuah pekuburan lalu membuka sebuah kuburan. Ternyata di dalamnya ada tempat untuk shalat. Abdullah bin Mubarak yang menyaksikan semua ini dari kejauhan, merangkak menghampiri. Terlihatlah olehnya si hamba yang mengenakan pakaian dari karung dan tali pengikat leher. Kemudian si hamba mencium tanah sambil meratap. Menyaksikan kejadian ini Abdullah bin Mubarak menangis dan dengan diam-diam meninggalkan tempat itu dan duduk di suatu pojok yang terpisah jauh dari situ.

Hambanya tetap berada di dalam kuburan itu dan ketika fajar tiba barulah ia keluar, menutup kuburan itu kembali lalu pergi ke masjid untuk melakukan shalat Shubuh.

Setelah selesai shalat, si hamba berseru dalam doanya : “Tuhanku, hari telah siang pula. Tuanku di atas dunia ini akan meminta uang dariku. Engkau adalah sumber kekayaan bagi orang-orang miskin. Berikanlah uang kepadaku dari sumber yang hanya Engkaulah yang tahu.”

Sesaat itu juga sebuah sinar membersit dari langit dan sekeping dirham perak jatuh ke tangan si hamba. Abdullah bin Mubarak tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia pun bangkit, dirangkulnya kepala hambanya itu ke dadanya lalu diciumnya.

“Dengan seribu jiwa barulah aku mau melepaskan seorang hamba yang seperti engkau ini. Sesungguhnya engkaulah yang menjadi tuan, bukan aku.”

Setelah menyadari apa yang terjadi, si hamba berseru : “Ya Allah, kini setelah penutup diriku diketahui orang, tiadalah ketenangan bagiku di atas dunia ini. Demi kebesaran dan keagungan-Mu ku mohon kepada-Mu, janganlah engkau biarkan aku tergelincir karena diriku sendiri. Oleh karena itu cabutlah nyawaku sekarang ini juga.”

Kepalanya masih di dalam dekapan Abdullah bin Mubarak ketika ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Abdullah bin Mubarak membaringkan tubuhnya, mengkafaninya. Kemudian mayat hambanya yang memakai pakaian karung itu dimakamkannya di kuburan itu pula.

Malam itu di dalam mimpinya Abdullah bin Mubarak melihat Penguasa alam semesta, dan sahabat-Nya Ibrahim yang menyertai-Nya, masing-masing mengendarai kuda yang gagah perkasa. Keduanya bertanya :

“Abdullah bin Mubarak, mengapakah engkau menguburkan sahabat Kami dalam pakaian Karung.?” …
(Bersambung….)

Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar

Tags:
kisah abdullah bin mubarak, riwayat abdullah bin mubarak, biografi abdullah bin mubarak, kisah sufi, kesah teladan abdullah bin mubarak, kisah sufi abdullah bin mubarak, riwayat singkat abdullah bin mubarak.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More