Minggu, 31 Januari 2016

Al-Muhasibi

KISAH SUFI AL-MUHASIBI


Sangatlah mengherankan bila pengisahan Attar mengenai al-Muhasibi, salah seorang di antara tokoh-tokoh terbesar dalam sejarah sufi Islam, kurang lengkap dan sempurna. Abu ‘Abdullah al-Harits bin Asad al-Bashri al-Muhasibi lahir di Bashrah pada tahun 165 H (Sekitar tahun 782 M). Sewaktu kecil ia pindah ke Baghdad di mana ia kemudian belajar hadits dan teologi, bergaul rapat dengan tokoh-tokoh terkemuka dan menyaksikan pertistiwa-peristiwa penting pada masa itu. Ia meninggal dunia pada tahun 243H/857 M. Ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya memberikan pengaruh yang kuat dan luas kepada ahli-ahli teori sufi sesudahnya khususnya kepada Abu Hamid al-Ghazali. Banyak di antara buku-buku dan brosur-brosur yang ditulisnya dapat kita temui hingga kini: yang terpenting di antaranya adalah Kitab al-Ri’ayah.

CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT AL-MUHASIBI
Harits al-Muhasibi menerima warisan sebesar tiga puluh ribu dinar dari ayahnya.
“Serahkan uang itu kepada negara,” kata Muhasibi.
“Mengapa?,” orang-orang bertanya.
“Menurut sebuah hadits yang shahih,” jawab Muhasibi. “Nabi pernah berkata bahwa orang-orang Qadariah adalah orang-orang Majusi di dalam masyarakat kita. Ayahku adalah seorang Qadariah. Nabi pun pernah berkata bahwa seorang Muslim tidak boleh menerima warisan dari seorang  Majusi. Bukankah ayahku seorang Majusi dan bukan seorang Muslim?.”
Perlindungan Allah sangar besar kepadanya. Apabila Muhasibi hendak meraih makanan yang diragukan kehalalannya, urat di belakang jari-jari tangannya akan mengejang dan jari-jarinya tidak dapat digerakkan seperti yang dikehendakinya. Bila hal seperti ini terjadi, tahulah ia bahwa makanan itu diperoleh dengan tidak wajar.
Junaid meriwayatkan : “Pada suatu hari, Harits mengunjungiku, tampaknya ia sedang lapar. “Akan kuambilkan makanan untuk paman,” kataku. “Baik sekali,: jawab Hartits al-Muhasibi. Aku pun pergi ke gudang mencari makanan. Kudapatkan sisa-sisa makanan yang diantarkan kepada kami dari suatu perayaan perkawinan untuk makan malam. Kuambil makanan itu dan kusuguhkan kepada Harits al-Muhasibi. Tetapi ketika Harits al-Muhasibi hendak mengambilnya, tangannya mengejang tak dapat digerakkannya. Sempat ia memasukan sesuap makanan ke dalam mulutnya, tetapi tidak bisa ditelannya walau bagaimanapun ia paksakan. Untuk beberapa lama dikunyah-kunyahnya makanan itu, kemudian ia pun berdiri, pergi ke luar, meludahkannya di serambi, dan permisi pulang.
Di kemudian hari aku tanyakan kepada Harits al-Muhasibi, apakah sebenarnya yang telah terjadi, Harits al-Muhasibi menjawab: “Waktu itu aku memang merasa lapar, dan ingin menyenangkan hatimu. Namun Allah memberi isyarat khusus kepadaku sehingga makanan yang diragukan kehalalannya tidak dapat kutelan sedang jari-jariku tidak mau menyentuhnya. Aku telah berusaha sedapat-dapatnya menelan makanan itu, tetapi percuma. Dari manakah engkau memperoleh makanan itu? Dari seorang kerabat, jawabku.”
“Kemudian aku berkata kepada Harits al-Muhasibi : “Tetapi sekarang ini maukah engkau datang ke rumahku?”. “Baiklah”, jawab Harits al-Muhasibi. Aku pun pulang bersama Harits al-Muhasibi. Di rumah kukeluarkan sekerat roti kering dan kami pun segera memakannya. Harits al-Muhasibi kemudian berkata : “MakanaN yang seperti inilah yang harus disuguhkan kepada para guru sufi.”

 Sumber : Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar.

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More