SYAQIQ AL-BALKH
KEHIDUPAN SYAQIQ AL-BALKH
Syaqiq al-Balkh adalah seorang ahli
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan banyak buku yang telah
ditulisnya. Ketika ia belajar jalan kesufian dari Ibrahim bin Ad-ham, dalam
waktu bersamaan ia juga mengajar Hatim Si Orang Tuli. Syaqiq al-Balkh mengAkui
bahwa ia telah belajar dari 1700 orang guru dan memiliki buku sebanyak beberapa
pemikulan unta.
Kisah pertaubatan Syaqiq al-Balkh
dimulai dari sewaktu Syaqiq al-Balkh mengadakan suatu ekspedisi dagang ke
Turkistan, Di dalam perjalanan itu ia berhenti untuk melihat-lihat sebuah kuil.
Di dalamnya ia lihat ada seorang yang sedang menyembah berhala dengan penuh khusyuk.
Syaqiq al-Balkh menegur si penyembah berhala itu : “Sesungguhnya yang
menciptakan engkau adalah Yang Maha Hidup, Maha Kuasa serta Maha Tahu,
sembahlah Dia. Hendaklah engkau malu dan jangan menyembah sebuah berhala yang
tak dapat mendatangkan kebajikan maupun aniaya kepadamu.”
“Jika benar kata-katamu itu,” jawab
si penyembah berhala, “mengapakah Dia tidak sanggup memberikan nafkahmu sehari-hari
di kota kediamanmu sendiri? Masih perlukah engkau melakukan perjalanan sejauh
ini?”.
Kata-kata ini membuka hati Syaqiq
al-Balkh. Ia lalu bertemu oroester yang kebetulan menuju kota yang sama. Ia
bertanya kepada Syaqiq al-Balkh : “Apakah usahamu?.”
“Berdagang,” jwab Syaqiq al-Balkh.
“Jika
engkau mencari rezeki yang belum ditakdirkan untukmu, sampai kiamat sekalipun
engkau tidak memperrolehnya. Tetapi jika engkau hendak mencari rezeki yang
telah ditakdirkan untuk mu, engkau tidak perlu pergi ke mana-mana, karena
rezeki itu akan datang sendiri.”
Ucapan ini semakin menyadarkan
Syaqiq al-Balkh dan kecintaannya terhadap kekayaan dunia semakin pudar.
Akhirnya sampailah Syaqiq al-Balkh ke kota Balkh. Sahabat-sahabatnya menyambut
kedatangannya dengan hangat karena ia terkenal dengan kemurahan hatinya.
Pada masa itu yang menjadi pangeran
di kota Balkh adalah ‘Ali bin ‘Isa bin Haman, yang memelihara beberapa ekor
anjing pemburu. Kebetulan pada saat itu seekor anjingnya hilang.
“Anjing itu ada di rumah tetangga
Syaqiq al-Balkh,” orang-orang melaporkannya kepada si pangeran.
Maka ditangkaplah tetangga Syaqiq
al-Balkh itu dengan tuduhan telah mencuri seekor anjing. Ia dipukuli. Akhirnya
meminta perlindungan kepada Syaqiq al-Balkh. Maka pergilah Syaqiq al-Balkh
menghadap sang pangeran lelu memohon : “Berikanlah kepadaku waktu tiga hari
untuk mengembalikan anjingmu itu. Tetapi bebaskanlah sahabatku itu.”
Si pangeran membebaskan tetangga
Syaqiq al-Balkh. Tiga hari kemudian secara kebetulan seseorang menemukan seekor
anjing. Orang itu berkata di dalam hatinya : “Anjing ini akan kuberikan kepada
Syaqiq al-Balkh. Syaqiq al-Balkh adalah seorang yang pemurah, tentu ia akan
memberikan imbalan kepadaku.”
Anjing itu dibawanya kepada Syaqiq
al-Balkh. Kemudian Syaqiq al-Balkh menyerahkan binatang itu kepada si pangeran
dan terpenuhilah janjinya. Setelah peristiwa itu Syaqiq al-Balkh bertekad untuk
benar-benar berpaling dari urusan duniawi.
Di kemudian hari, terjadi bencana
kelaparan di kota Balkh, sampai begitu parah sehingga manusia mengganyang
sesamanya. Di sebuah pasar Syaqiq al-Balkh melihat seorang hamba yang
tertawa-tawa dengan gembira. Syaqiq al-Balkh bertanya kepadanya : “Apakah yang
membuatmu segembira ini? Tidak kau lihatlah betapa semua orang menanggung
kelaparan?.”
“Apa perduliku?!”, jawab si hamba.
“Tuanku memiliki sebuah desa dan mempunyai banyak persediaan gandum. Ia tidak
akan membiarkan aku kelaparan.”
Mendengar jawaban si hamba ini,
Syaqiq al-Balkh tidak dapat menahan dirinya, maka berserulah ia kepada Allah :
“Ya Allah, budak ini sangat gembira karena tuannya mempunya gandum. Engkau
adalah Raja di antara sekian raja, dan telah berjanji akan memberikan makanan
kami sehari-hari. Jika demikian, mengapakah kami harus gelisah.?”
Setelah peristiwa itu ditinggalkanya
segala urusan duniawi lalu bertaubat dengan sepenuh hatinya. Ia melangkah di
atas jalan Allah dan memasrahkan diri kepada-Nya. Syaqiq al-Balkh sering
berkata : “aku adalah murid dari seorang hamba.”
Hatim Al Asam mengisahkan : Aku dan
Syaqiq al-Balkh ikut berperang. Suatu hari terjadi pertempuran yang begitu
seru. Kedua pasukan saling berbentur rapat dan yang kelihatan hanya ujung-ujung
tombak saja, sedang anak panah meluncur bagaikan hujan. Syaqiq al-Balkh berseru
kepadaku : “Hatim! Bagaimanakah engkau menikmati pertempuran ini? Apa seperti
malam terakhir ketika engkau bergaul bersama isterimu?.”
“Sama sekali tidak,” jawabku.
“Dengan nama Allah, mengapa tidak?,
Syaqiq al-Balkh berseru. “Begitulah yang kurasakan saat ini. Aku merasa seperti
yang engkau rasakan malam itu di tempat tidurmu.”
Ketika malam tiba, Syaqiq al-Balkh
membaringkan tubuhnya dan dengan berselimutkan jubahnya ia pun tertidur.
Sedemikian sempurna kepasrahannya kepada Allah, sehingga walau terkurung oleh
pasukan musuh yang sangat banyak itu, ia masih dapat tertidur pulas.
Suatu hari ketika Syaqiq al-Balkh
sedang memberikan ceramah, terdengarlah berita bahwa pasukan kafir telah berada
di gerbang kota. Syaqiq al-Balkh segera menyerbu ke luar, mengobrak-abrik
pasukan musuh dan kembali ke tempat semula. Salah seorang muridnya menaruh
seikat bunga di sajadahnya. Syaqiq al-Balkh memungut kembang-kembang itu lalu
menciuminya. Melihat perbuatan Syaqiq al-Balkh ini, seorang yang tak tahu
kejadian tadi berseru : “Pasukan musuh sudah berada di gerbang kota tetapi imam
kaum Muslimin masih mencium-cium bunga!”
“Si munafik hanya melihat
bunga-bunga yang diciumi tetapi tak melihat betapa orang-orang kafir telah
dikucar-kacirkan,” balas Syaqiq al-Balkh.
SYAQIQ AL-BALKH DI DEPAN HARUN AR-RASYID
Syaqiq al-Balkh mengadakan perjalanan
ke Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di kota Baghdad, Harun
ar-Rasyid memanggilnya untuk menghadap.
Setelah menghadap, bertanyalah Harun
ar-Rasyid kepada Syaqiq al-Balkh : “Engkahkah Syaqiq al-Balkh pertapa?”
“Aku adalah Syaqiq al-Balkh, tetapi
aku bukan seorang pertapa,” jawab Syaqiq al-Balkh.
“Berilah petuah kepadaku!.” Perintah
Harun.
“Jika demikian, dengarkanlah!”,
Syaqiq al-Balkh memulai. “Allah
yang Maha Besar telah memberi kepadamu kedudukan Abu bakar yang setia dan Dia menghendaki
kesetiaan yang sama darimu. Allah telah memberi kedudukan “Umar yang dapat
membedakan kebenaran dari kepalsuan, Dia menghendaki engkau dapat pula
membedakan kebenaran dari kepalsuan. Allah telah memberimu kedudukan Utsman
yang memperoleh cahaya kesedarhaan dan kemuliaan, dan Dia menghendaki agar
engkau juga bersikap sederhana dan Mulia. Allah telah memberikan kepadamu
kedudukan ‘Ali yang diberkahi-Nya dengan kebijaksanaan dan sikap adil, Dia
menghendaki agar engkau bersikap bijaksana dan adil pula.”
“Lanjutkanlah!”, pinta Harun.
“Allah mempunyai tempat yang diberi
nama neraka,” Syaqiq al-Balkh meneruskan. “Dia telah mengangkatmu menjadi
penjaga pintu neraka dan mempersenjatai dirimu dengan tiga hal; kekayaan,
pedang dan cemeti. Allah memerintahkan : “Dengan kekayaan, pedang dan cemeti ini
usirlah ummat manusia dari neraka. Jika ada orang yang datang mengharapkan
pertolonganmu, janganlah engkau bersikap kikir. Jika ada orang yang menentang
perintah Allah, perbaikilah dirinya dengan cemeti ini. Jika ada yang membunuh
saudaranya, tuntutlah pembalasan yang adil dengan pedang ini! Jika engkau tidak
melaksanakan perintah Allah itu, niscaya engkau akan menjadi pemimpin
orang-orang yang masuk ke dalam neraka itu.”
“Lanjutkanlah!.” Desak Harun lagi.
“Engkau
adalah sebuah telaga dan anak buahmu adalah anak-anak sungainya. Apabila telaga
itu airnya bening, niscaya ia tidak akan cemar karena kekeruhan anak-anak
sungai tersebut. Apabila telaga itu keruh, betapakah mungkin anak-anak sungai
tersebut akan bening?.”
“Lanjutkanlah!.”
“Seandainya engkau hampir mati kehausan di tengah padang pasir dan pada
saat itu ada seseorang menawarkan seteguk air, berapakah harga yang berani
engkau bayar untuk mendapatkan air itu?.”
“Berapapun
yang dimintanya,” jawab Harun.
“Seandainya
ia baru menjual air itu seharga setengah kerajaanmu?.”
“Aku akan
menerima tawarannya itu,” jawab Harun.
“Kemudian
andaikan air yang telah engkau minum itu tidak dapat keluar dari dalam tubuhmu
sehingga engkau terancam binasa,” Syaqiq al-Balkh melanjutkan, “Sesudah itu
datang pula seseorang menawarkan bantuannya kepadamu : “Akan ku sembuhkan
engkau tetapi serahkanlah setengah dari kerajaanmu kepadaku,” Apakah
jawabanmu?”
“Akan
kuterima tawarannya itu,” jawab Harun.
“Oleh
karena itu, mengapa engkau membanggakan diri dengan sebuah kerajaan yang
harganya hanya seteguk air yang engkau minum lantas engkau keluarkan kembali.?”
Harun menangis dan melepas Syaqiq
al-Balkh dengan penuh kehormatan.
0 comments:
Posting Komentar