Riwayat Singkat Nabi Muhammad saw

Nama lengkap beliau: Muḥammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, lahir di Mekkah pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal (Mulud) tahun Gajah , atau bertepatan dengan tanggal 20 April 570 Masehi...

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 26 Maret 2016

Film Kolosal Apik dan Fenomenal Ashabul Kahfi (Man of Angelus) - Wajib Nonton bagi Pecinta Sejarah Islam

Film Kolosal Apik Ashabul Kahfi (Man of Angelus)

Kisah 7 Pemuda dan seekor anjing yang tertidur selama 309 tahun di dalam gua

Mutiara: "Kebenaran yang takut kau sampaikan dalam gelap, kelak akan terdengar dalam terang ... Iman yang kau sembunyikan dalam kesunyian, kelak akan berteriak di tengah keramaian.."




Kisah Ashabul Kahfi sudah sangat melekat dalam hati hampir setiap kaum muslimin semenjak masih kecil lagi. Saya sendiri selaku orang ndeso, ketika masih kecil sering mendengar baik dalam pengajian ataupun cerita dari guru agama di sekolah SD dan SMP.

Namun sekalipun sering mendengar kata ashabul kahfi, kita terutama saya sendiri tidak begitu paham secara mendetail kisah yang sebenarnya ada dalam Al-Qur’an ini. Saya hanya sebatas mengetahui, bahwa mereka (tujuh pemuda tersebut) beserta seekor anjing yang mengikutinya melarikan diri ke gua demi menyelamatkan iman mereka dari tangan kejam Raja Dakyanus yang waktu itu berkuasa. 

Mereka kemudian terkubur di dalam gua selama 309 tahun, dan ketika bangun mereka terkejut karena zaman sudah sangat berbeda dari ketika mereka tertidur ‘kemarin’. Menurut beberapa riwayat hadits, mereka juga akan dibangkitkan kembali di akhir zaman membantu Nabi isa as dan Imam Mahdi dalam memerangi Dazzal laknatullah.

Saya hanya sebatas itulah mengetahui kisah tersebut. Saya mulai merasakan bahwa kisah itu begitu sangat istimewa dan sangat apik, sangat menyentuh, ketika saya melihat langsung film kolosal Ashaabul Kahfi pada tahun 2005 yang paket CD nya saya pinjam dari seorang teman. Terdiri dari 8 CD (8 Episode) menggunakan bahasa Arab dengan subtitle bahasa Indonesia. Bekalangan saya mengetahui melalui Youtube di tahun 2015 lengkap dengan 14 episode, berarti bahwa CD sebelumnya ada adegan cukup panjang yang terpotong. Maklumlah, mungkin CD ini adalah adopsi dari kaset video lawas yang memakai pita, mungkin ketika memindahkan ke CD ada pita yang rusak sehingga harus di potong. Film Kolosal Ashaabul Kahfi ini juga pernah tayang di TVRI pada tahun 2011.

Subhaanallaah ….. itu yang selalu menjerit dalam batin saya. Beberapa adegan dalam film tersebut sering membuat saya meneteskan air mata, terutama ketika salah seorang dari pemuda ashaabul Kahfi tersebut menyendiri di sebuah goa dengan melantunkan doa yang sangat menggugah hati …:

“Ilahi… Demi kebesaran Isa dan Bunda Maryam, ampunilah semua dosaku. Jika tidak, maka aku termasuk orang-orang yang berdosa…
Ilahi… Kini diriku diliputi kebimbangan. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku diam lagi? Atau adakah jalan lain?
Ilahi… Tunjukkanlah jalan yang Engkau redhai..Engkau telah membantu kami selama ini, maka janganlah Engkau putuskan kami dari rahmat-Mu….

Ilahi… Engkau terlalu agung untuk mengabaikan amalku…Tindakmu sesuai dengan keagunganMu. Dan amalku sesuai dengan kerendahanku. Wahai yang Maha Luas Rahmat-Nya ….. Maksiat hamba-Mu tak akan merugikan-Mu. Ketaatannya juga tak akan menguntungkan-Mu. Wahai Tuhanku, jangan perlakukan diriku sesuai amalku.. Jangan pula putus rahmat-Mu dariku”

Ini adalah sepenggal dari beberapa doa Maximilianus pada film kolosal Ashaabul Kahfi, salah seorang ashaabul kahfi yang menyendiri di goa ketika kekejaman dan kedurhakaan Dakyanus merajalela di negaranya.

Diiringi dengan latar musik yang sangat mengalun dan sangat pas menggambarkan masa lampau pada waktu itu, serasa kita dibawa ke alam di mana mereka masih hidup. Seolah-olah kita hidup di zaman itu dan menyaksikan apa yang sedang terjadi.

Adegan demi adegan sungguh sangat mendebarkan. Dalam film tersebut digambarkan bahwa ada 6 pemuda cendikiawan yang merupakan para putra bangsawan Romawi, mereka menduduki jabatan penting di Philadelphia (Kota Amman, Ibu Kota Yordania sekarang), yaitu sebagai dewan penasehat Gubernur Dakyanus.






Namun ke enam pemuda cendikiawan tersebut terbagi menjadi 2 kelompok yang saling menjaga rahasia ketauhidan mereka. Mereka awalnya belum begitu yakin bahwa kelompok lainnya (masing-masing 3 orang) juga menganut agama Tauhid, sehingga mereka belum berani menyatu. Mereka baru mengetahui secara yakin ketika salah seorang dari kelompok yang bernama Maximilianus berbicara dengan lantang bahwa dia hanya menyembah Allah Tuhan yang Esa Pencipta langit dan bumi, di depan Raja Adrianus yang mengaku sebagai tuhan, ketika dia berkunjung ke Philadelphia, disaksikan Dakyanus dan kaum bangsawan yang hadir dengan jumlah yang cukup banyak.

Detik-detik ketika mereka mengemukakan bahwa mereka adalah penganut agama Tauhid di depan Raja dan khalayak bangsawan, merupakan detik-detik yang amat mengharukan dan mendebarkan.

Mereka kemudian dipenjara, disiksa dan diancam bila tidak segera ‘bertaubat’ kembali ke menyembah berhala, mereka akan dihukum mati di alun-alun. Namun mereka berhasil meloloskan diri setelah berhasil mendakwah ketua penjaga penjara yang terheran dan takjub melihat kebenaran dan keberanian pada para pemuda tersebut sehingga mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun penjaga penjara ini terbunuh setelah memberi jalan untuk para pemuda meloloskan diri.

Ketika mereka berlari meloloskan diri mereka sempat bersembunyi di rumah Antonius, seorang penggembala kambing yang sebelumnya sudah berkenalan dengan maximilianus di sekitar goa tempat dia berkhalwat menyendiri. Akhirnya Antonius beserta seekor anjing penjaga kambing nya juga ikut mereka mengungsi dan berlindung di sebuah gua tempat di mana Maximilianus suka menyendiri. Kisah selanjutnya masih panjang dan tetap sangat indah dinikmati. Lengkapnya bila anda menonton secara langsung ( dibawah diberikan link video Youtubenya).

Dari segi kualitas film memang masih kelas sangat rendah, tidak sebagus kualitas film sekarang. Tapi dari segi peran dan penghayatan para pemain, menurut saya jauh lebih bagus di banding film Islam zaman sekarang. Perilaku para pemain memang seperti tidak dibuat-buat dan penghayatan peran para pemain memang luar biasa dan dirasakan seperti bayangan asli di zaman ashabul kahfi sebenarnya.

Yang membuat lebih apik film ini lagi adalah, sekalipun ada peran suami istri, namun tidak pernah hingga pegang-pegangan tangan dan bahkan ampun maaf, cium-ciuman seperti sinetron TV saat ini. Para perempuannya juga berjilbab. Sangat bersyariat, sangat menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.

Saya tidak tahu persis kapan film kolosal ini dibuat. Menurut beberapa sumber, film kolosal ini berasal dari Iran. Ada yang mengatakan kaum Syiah yang membuatnya, namun dari segi hasil atau isi film, tidak ada tanda-tanda bahwa kaum Syi’ah yang membuatnya, karena dalam film tersebut sangat menjunjung tinggi Nabi yang akan datang (waktu itu) yaitu Nabi Muhammad saw (ahmad), serta banyak memuat referensi dari Al-Qur’an. Banyak sekali pelajaran yang sangat menyentuh jiwa yang menjunjung nilai-nilai luhur Islam. Sekalipun film kolosal apik ini berasal dari Iran, tapi tidak ada yang menjamin secara pasti bahwa itu buatan kaum Syi’ah. Dari segi isi tidak ada tanda-tanda tersebut sama sekali.

Bagi anda pecinta film Islam dan sejarah Islam, serta pecinta orang-orang sholeh zaman dulu, anda wajib menonton film ini sampai habis jangan dipenggal-penggal. Luangkan waktu beberapa hari, bisa anda atur waktunya di hari libur, karena menonton nya memerlukan beberapa hari bila diselingi istirahat.

Ini Link Video nya di Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=6D0o9fZyRzQ (Part 1), seterusnya di sampingnya akan terpampang juga Part 2, Part 3, dan seterusnya. Ingat… nontonnya harus berurutan dan jangan dipenggal-penggal ya…

Dan Bila anda ingin mendownload video dari youtube, cara-caranya bisa anda lihat di Link : https://saungweb.net/tips-trik/begini-nih-cara-mudah-mendownload-video-dari-youtube-tanpa-software/

Selamat mencoba …

Kisah Ashaabul Kahfi

Kisah Ashaabul Kahfi
(Kisah Tujuh Pemuda Beriman yang menyelamatkan Iman ke Gua)

Dalam surat Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.

Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.

Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-'Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya.....
Penulis kitab Fadha'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:



"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo'a: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)"
(QS al-Kahfi:10)


Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi."

"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"

Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"

"Ya baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!"

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."

"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.

"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.

Ali bin Ali Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."

Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."

Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"

Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."

Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"

"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.

Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"

Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan. 

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni.

Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.

Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?"

"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."

Teman-temannya mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"

"Sudah lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan."

Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?

Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu?

Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?

Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"

"Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!"

"Kami setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: "Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar."

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?"

"Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"

"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?"

"Ya," jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian."

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."

Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"

"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.

Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali:
"Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t." Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua." 

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"

Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.

Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!"

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu."
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!"
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi."

Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!"

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah."

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!" Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?"

"Aphesus," sahut penjual roti itu.

"Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti.

"Kalau yang kau katakan itu benar," kata Tamlikha, "urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!"

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"

Imam Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!"

"Aku tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!"

Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?"
"Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat."

Tamlikha menjawab: "Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!"
Raja bertanya sambil keheran-heranan: "Engkau penduduk kota ini?"

"Ya. Benar," sahut Tamlikha.

"Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja lagi.

"Ya, ada," jawab Tamlikha.

"Coba sebutkan siapa namanya," perintah raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?"

"Ya, tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!"

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: "Inilah rumahku!"

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?"

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!"

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: "Siapa namamu?"
"Aku Tamlikha anak Filistin!"

Orang tua itu lalu berkata: "Coba ulangi lagi!"

Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka."

Kemudian diteruskannya dengan suara haru: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!"

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?"
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

"Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: "Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!"

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!"

Tamlikha menukas: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?"
"Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja," jawab mereka.

"Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!"

Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?"

"Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha balik bertanya.

"Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga," jawab mereka.

Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: "Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!"

Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.

Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu."

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu."

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:


Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, "Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka." Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, "Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid."

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"

Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!"

Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.


Artikel ini diambil dari : http://indonesiaindonesia.com/f/87236-kisah-ashabul-kahfi-penghuni-gua-versi/

‘Amr Bin Utsman

‘AMR BIN ‘UTSMAN


Abu Abdullah ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy, salah seorang murid Junaid, mengunjungi Isfahan dan meninggal dunia di  kota Baghdad pada tahun 291 H/ 904 M. Atau pada tahun 297H/910 M.

‘AMR BIN ‘UTSMAN AL-MAKKIY DAN KITAB RAHASIA

Suatu hari ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy menterjemahkan Kitab Rahasia di atas sehelai kertas. Kertas tersebut ditaruhnya di bawah sajadahnya. Ketika ia pergi bersuci, saat itu ia dengar ada kegaduhan, lalu ia menyuruh seorang hamba untuk mengambil kertas tesebut. Si hamba membalik sajadah itu, ternyata kertas tersebut telah hilang. Hal ini segera disampaikannya kepada tuannya.
“Buku itu telah hilang dicuri orang.” ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy berkata. Kemudian ia menambahkan. “Orang yang mencuri Kitab Rahasia itu niscaya dalam waktu dekat ini akan dipotong kaki dan tangannya. Ia akan dimasukan ke dalam kurungan, kemudian dibakar dan abunya akan diterbangkan angin. Pada saat ini pastilah ia telah sampai ke tempat Rahasia itu.”
Sesungguhnya inilah yang tertulis di dalam Kitab Rahasia itu :

Ketika roh ditiupkan ke dalam tubuh Adam, Allah memerintahkan kepada semua malaikat untuk bersujud kepadanya. Semuanya bersujud ke atas tanah. Tetapi Iblis berkata : “Aku tidak mau bersujud. Akan kupertaruhkan hidupku, dan akan kulihat rahasia manusia itu walaupun karena itu aku akan dikutuk, disebut ingkar, berdosa dan munafik.”
Iblis tidak bersujud. Oleh karena itulah ia dapat melihat dan mengetahui rahasia manusia, dan hanya manusia sajalah yang mengetahui rahasia Iblis. Jadi Iblis dapat mengetahui rahasia manusia karena ia tidak mau bersujud dan karena tak bersujud itulah ia memegang sebuah rahasia. Semua makhluk membenci Iblis karena rahasia mereka telah dilihatnya.
“Kami telah menguburkan rahasia itu di dalam tanah,” mereka berkata. “Syarat untuk mendapatkan rahasia ini adalah seseorang yang melihatnya akan dipenggal kepalanya agar rahasia ini tidak dibocorkannya.”
“Di dalam hal ini, berilah aku kelonggaran,” si Iblis berseru, “Janganlah kalian membunuhku. Sesungguhnya aku telah mengetahui rahasia itu. Rahasia itu diperlihatkan kepadaku sewaktu mataku ini awas.”
Pedang Aku Tak Perduli berkumandang :
“Engkau adalah di antara orang-orang yang diberi kelonggaran. Kami beri engkau kelonggaran, tetapi Kami membuat manusia waspada terhadapmu. Jadi walau engkau tidak Kami binasakan, engkau akan dicurigai dan di cap sebagai pendusta, dan tak seorang pun yang akan menganggapmu sebagai pemuka kebenaran. Mereka akan bekata : “Ia adalah sebangsa jin dan telah mengingkari perintah Allah.”
Ia adalah syaithan. Betapakah ia akan mengatakan kebenaran? Oleh karena itulah ia dilaknat, ditolak, ditinggalkan dan di abaikan.


Demikianlah terjemahan Kitab Rahasia oleh ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy.

‘AMR BIN ‘UTSMAN MENGENAI CINTA

Di dalam kitab mengenai Cinta, ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy menyatakan sebagai berikut : “Allah Yang Maha besar menciptakan hati, tujuh puluh ribu tahun sebelum sukma, dan hati itu dimasukkan-Nya ke dalam Taman Shilaturrahmi. Dia menciptakan rahasia, tujuh puluh ribu tahun sebelum hati, dan rahasia ini dimasukkan-Nya ke derajat keesaan.
Setiap hari Allah memperlihatkan tiga ratus enam pulluh kali karunia dan memperdengarkan tiga ratus enam puluh kata cinta kepada sukma. Setiap hari diperlihatkan-Nya tiga ratus enam puluh kali keindahan kepada rahasia.
Maka mereka dapat melihat segala sesuatu di dalam dunia ini. Dan mereka menyangka bahwa tiada sesuatu pun yang lebih berharga daripada mereka. Kesombongan dan keangkuhan terwujud di dalam diri mereka.
Oleh karena itu, Allah menguji mereka. Disembunyikan-Nya rahasia di dalam sukma dan disembunyikan-Nya sukma di dalam hati. Kemudian disembunyikan-Nya hati di dalam jasmani. Kemudian diberi-Nya akal kepada mereka.
Allah mengutus para Nabi dengan perintah-perintah-Nya. Dan setiap orang di antara mereka berusaha mencari tempatnya masing-masing. Allah memerintahkan agar mereka shalat, maka jasmani pun melakukan shalat, hati mencapai cinta, sukma menjadi lebih dekat kepada-Nya dan rahasia berpadu dengan keesaan.

“AMR BIN UTSMAN BERKIRIM SURAT KEPADA JUNAID

Ketika berada di Mekkah, ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy menulis surat kepada Junaid, Jurairi dan Syibli di negeri Irak. Beginilah bunyi suratnya :
“Ketahuilah oleh kalian, wahai tokoh-tokoh terkemuka dan ketua-ketua di negeri Irak, bahwa kalian harus mengatakan kepada setiap orang yang ingin berkunjung ke negeri Hijaz dan menyaksikan keindahan Ka’bah, Engkau tidak sampai ke sana kecuali dengan semangat yang gundah. Dan katakan kepada setiap orang yang menginginkan permadani kehampiran-Nya dan istana keagungan-Nya, Engkau tidak akan sampai ke sana kecuali dengan sukma yang gunda.”
Di akhir surat itu ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy menulis, “Inilah pesan dari ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy dan ketua-ketua negeri Hijaz yang senantiasa bersama Dia, di dalam Dia, dan karena Dia. Jika salah seorang di antara kamu mempunyai cita-cita yang luhur, maka katakanlah, kepadanya : Ambillah jalan ini di mana terdapat dua ribu gunung berapi yang menggelegar dan dua ribu samudra yang penuh badai dan mara bahaya. Jika engkau tidak sanggup, maka janganlah berlagak palsu, karena berlagak palsu tidak sesuatu pun dapat engkau peroleh.”
Seelah menerima surat itu, Junaid memanggil ketua-ketua negeri Irak untuk berkumpul. Kemudian setelah membacakan surat itu kepada mereka, Junaid bertanya :
“Apakah yang dimaksud dengan gunung-gunung di dalam surat ini?.”
“Yang dimaksud dengan gunung-gunung tersebut adalah ketiadaan,” jawab mereka, “Sebelum manusia seribu kali ditiadakan dan seribu kali dihidupkan kembali, ia tidak akan dapat mencapai istana keagungan.”
“Dan apa pula yang dimaksud di antara dua ribu gunung berapi itu baru satu sajalah yang pernah ku daki,” kata Junaid.
“Engkau cukup beruntung karena telah melalui salah satu di antara gunung-gunung itu,” Jurairi berkata, “Hingga saat ini baru tiga langkah yag aku tempuh.”
Syibli menangis terisak-isak, kemudian berkata :

“Engkau beruntung  Junaid, karena telah melalui sebuah gunung. Dan Engkau pun beruntung Jurairi, karena telah menempuh tiga langkah. Hingga saat ini aku belum melihat debu-debunya baik dari kejauhan sekalipun.”
Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar

Abul Qasim Al-Junaid (Junaid Al-Baghdadi)


AbulQasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz an-Nihawandi, adalah putera seorang pedagang barang pecah belah dan keponakan dari Sari as-Saqathi. Ia adalah teman akrab al-Muhasibi yang merupakan penyebar besar aliran “waras” sufisme. Ia  telah mengembangkan sebuah doktrin theosofi yang mempengaruhi keseluruhan mistisme ortodoks Islam. Teorinya yang dijelaskannya kepada tokoh-tokoh semasanya masih dapat kita temukan hingga saat ini. Ia meninggal pada tahun 198H/910 M di Baghdad, sebagai ketua dari sebuah aliran yang besar dan berpengaruh luas.

MASA REMAJA JUNAID AL-BAGHDADI

Sejak kecil Abul Qasim al-Junaid sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai intuisi yang tajam.
Pada suatu hari ketika kembali dari sekolah, Abul Qasim al-Junaid mendapatkan ayahnya sedang menangis.
“Apakah yang terjadi?, tanya Junaid  kepada ayahnya.
“Aku ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau menerimanya,” ayahnya menjelaskan. “Aku menangis karena seumur hidupku baru sekarang inilah aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi ternyata pemberianku tidak pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”
“Berikanlah uang itu kepadaku, biar aku yang akan memberikannya kepada paman. Dengan cara ini tentu ia mau menerimanya.” Junaid berkata.
Uang lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junaid ke rumah pamannya. Sesampainnya di tujuan, ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?.” Terdengar sahutan dari dalam.
“Junaid,” jawabnya. “Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini.”
“Aku tidak mau menerimanya,” Sari menyahut.
“Demi Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini,” Junaid berseru.
“Junaid, bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya kepada ayahmu?.” Sari as-Saqathi bertanya.
“Allah berbuat baik kepadamu,” Jawab Junaid,” karena telah memberikan kemiskinan kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk dengan urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku, baik secara rela maupun tidak, harus mengantarkan sebagian harta kekayaannya kepada yang berhak menerimanya.”
Sari sangat senang mendengar jawaban itu.
“Nak, sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu.”
Sambil berkata demikian Sari as-Saqathi membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk Junaid disediakannya tempat yang khusus di dalam lubuk hatinya.
oooOOOooo
Abul Qasim al-Junaid baru berumur tujuh tahun ketika Sari as-Saqathi membawanya ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan pendapatnya masing-masing.
“Kemukakan pula pendapatmu,” Sari mendorong Junaid. Maka berkatalah Junaid.
“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran.”
“Tepat sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati.” Keempat ratus syeikh tersebut berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang dikemukakan Junaid itulah yang paling tepat.
Sari as-Saqathi berkata Junaid.
“Nak, tidak lama lagi akan kenyataanlah bahwa karunia yang istimewa dari Allah kepadamu adalah lidahmu.”
Junaid tidak sanggup menahan tangisnya ketika mendengar kata-kata pamannya itu.
“Bagaimanakah engkau memperoleh semua pengetahuan ini?.” Sari bertanya kepadanya.
“Dengan duduk mendengarkanmu,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Abul Qasim al-Junaid lalu kembali ke Baghdad dan berdagang barang pecah belah. Setiap hari ia menurunkan tirai tokoya dan melakukan shalat sunnat sebanyak empat ratus raka’at. Belakangan hari, usaha itu ditinggalkannya dan ia langsung mengunci diri dalam sebuah kamar di rumah Sari. Di dalam kamar itulah ia menyibukkan diri untuk menyempurnakan bathinnya. Dan di situ pula ia membentangkan sajadah ketekunan sehingga tidak sesuatu hal pun selain Allah yang terpikirkannya.

JUNAID DI UJI

Selama empat puluh tahun Abul Qasim al-Junaid menekuni kehidupan mistiknya. Tiga puluh tahun lamanya, setiap selesai shalat Isa ia berdiri dan mengucapkan “Allah, Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan shalat Shubuh tanpa perlu berwudlu lagi.
“Setelah empat puluh tahun berlalu,” Abul Qasim al-Junaid berkisah, “timbullah kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku telah tercapai. Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru kepadaku “ Junaid, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu. Mendengar seruan itu aku mengeluh : “Ya Allah, dosa apakah yang dilakukan Junaid?.” Suara itu menjawab : “Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang lebih besar daripada itu?.”
Abul Qasim al-Junaid mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apakah manusia belum patut untuk menemui Tuhannya,” bisik Abul Qasim al-Junaid, “maka segala amal baiknya adalah dosa semata.”
Abul Qasim al-Junaid lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus menerus mengucapkan “Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi lidah fitnah menyerang dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junaid bila kita tak mempunyai bukti,” jawab Khalifah.
Kebetulah sekali khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat cantik. Gadis ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat disayanginya. Khalifah memerintahkan agar hamba perempuannya itu dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan dan didandani dengan batu-batu permata yang mahal.
“Pegilah ke tempat Abul Qasim al-Junaid,” khalifah memerintahkan hamba perempuannya, “Berdirilah di depannya, buka cadar dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan pakaianmu untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junaid : “Aku datang kemari agar engkau mau melamar diriku, sehingga bersamamu aku dapat mengabdikan diri untuk berbakti kepada Allah. Hatiku tidak berrkenan kepada siapa pun kecuali kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah ia dengan segenap daya upayamu.”
Ditemani seorang pelayan ia diantar ke tempat Abul Qasim al-Junaid. Si gadis  menemui Junaid dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junaid. Abul Qasim al-Junaid membisu dan tak memberi jawaban. Si gadis mengulangi daya upayanya dan Abul Qasim al-Junaid yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!.” Serunya sambil meniupkan nafasnya ke arah si gadis. Si gadis terjatuh dan seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala kejadian itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohonkan ampunan Allah karena perbuatannya itu.
“Seseorang yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan hal yang tak patut untuk disaksikannya,” khalifah berkata.
Khalifah bangkit dan berangkatlah ia untuk mengunjungi Abul Qasim al-Junaid. “Manusia seperti Junaid tidak dapat dipanggil untuk menghadapnya,” ia berkata.
Setelah bertemu dengan Abul Qasim al-Junaid, khalifah bertanya :
“Wahai guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian eloknya?.”
“Wahai pangeran kaum Muslimin,” Abul Qasim al-Junaid menjawab, “belas kasihmu kepada orang-orang yang mentaatimu sedemikian besarnya, sehingga engkau sampai hati untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun mendisiplinkan diri, bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan angin. Tetapi apakah artinya diriku di dalam semua itu? Janganlah engkau lakukan sesuatu hal kepada orang lain apabila engkau sendiri tidak menginginkannya!.”
“Selama tiga puluh tahun aku mengawasi batinku,” Abul Qasim al-Junaid mengatakan, “Setelah itu selama sepuluh tahun bathinku mengawasi diriku. Pada saat ini, telah dua puluh tahun lamanya aku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai bathinku dan bathinku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai diriku.”
“Selama tiga tahun,” Abul Qasim al-Junaid melanjutkan, “Allah telah berkata-kata dengan Junaid melalui lidah Junaid sendiri, sedang Junaid tidak ada dan orang-orang lain tidak menyadari hal itu.”

JUNAID BERKHOTBAH

Ketika lidah Abul Qasim al-Junaid telah fasih mengucapkan kata-kata mulia, Sari as-Saqathi mendesak bahwa Junaid berkewajiban untuk berkhotbah di depan umum. Mula-mula Abul Qasim al-Junaid enggan; ia tidak ingin melakukan hal itu.
“Apabila guru masih ada, tidaklah pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” Junaid berkilah.
Kemudian pada suatu malam Abul Qasim al-Junaid bermimpi dan dalam mimpi tersebut ia bertemu dengan Nabi saw.
“Berkhotbahlah!.” Nabi berkata kepadanya.
Keesokan paginya ia hendak pergi mengabarkan hal itu kepada Sari, tetapi ternyata Sari sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Sebelumnya engkau selalu merasa enggan, dan menantikan agar orang-orang  mendesakmu untuk berkhotbah. Tetapi mulai saat ini engkau harus berkhotbah karena kata-katamu dijadikan sebagai alat bagi keselamatan seluruh dunia. Engkau tak mau berkhotbah ketika dimohonkan murid-muridmu, engkau tak mau ketika diminta oleh para syiekh di kota Baghdad. Dan engkau tak mau berkhotbah ketika ku desak. Tetapi kini Nabi sendirilah yang memberi perintah kepadamu, oleh karena itu engkau harus mau berkhotbah.”
“Semoga Allah mengampuni diriku,” jawab Abul Qasim al-Junaid. “Tetapi bagaimanakah engkau bisa mengetahui bahwa aku telah berjumpa dengan Nabi dalam mimpiku?.”
“Aku bertemu dengan Allah dalam mimpi,” jawab Sari, “dan Dia berkata kepadaku : “Telah Ku-utus Rasul-Ku untuk menyuruh Junaid berkhotbah di atas mimbar.”
“Aku mau berkhotbah,” Abul Qasim al-Junaid menyerah, “Tetapi dengan satu syarat bahwa yang mendengarkan khotbah-khotbahku tidak lebih dari empat puluh orang.”
Pada suatu hari Abul Qasim al-Junaid berkhotbah. Jumlah pendengar hanya empat puluh orang. Delapan belas orang di antaranya menemui ajal, mereka sedang sisanya yang berjumlah dua puluh dua orang jatuh pingsan dan harus digotong ke rumahnya masing-masing.
Di dalam kesempatan lain Abul Qasim al-Junaid berkhotbah di dalam masjid besar. Di antara jamaahnya ada seorang pemuda Kristen tetapi tak seorang pun yang mengetahui bahwa ia beragama Kristen. Si pemuda menghampiri Abul Qasim al-Junaid dan berkata : “Nabi pernah berkata: “Berhati-hatilah dengan wawasan seseorang yang beriman karena ia dapat melihat dengan nur Allah,” Apakah maksudnya?.”
“Yang dimaksudnya adalah,” Abul Qasim al-Junaid menjawab, “bahwa engkau harus menjadi seorang Muslim dan melepaskan sabuk ke kristenanmu itu, karena sekarang ini adalah zaman Islam.”
Si pemuda segera memeluk Islam setelah mendengar jawaban Abul Qasim al-Junaid tersebut.
oooOOOooo
Setelah berkhotbah beberapa kali, orang-orang menentang Abul Qasim al-Junaid. Junaid menghentikan khotbahnya dan mengurung diri di dalam kamarnya. Betapapun ia didesak untuk berkhotbah kembali, ia tetap menolak.
“Aku sudah cukup puas,” jawab Abul Qasim al-Junaid, “Aku tidak mau ke atas mimbar dan mulai berkhotbah.
“Apakah kebijaksanaan yang terkandung di dalam perbuatanmu ini?.” Seseorang bertanya kepadanya.”
Abul Qasim al-Junaid menjawab : “Aku teringat sebuah hadits di mana Nabi berkata : “Di hari-hari terakhir nanti yang menjadi juru bicara di antara ummat manusia adalah yang paling bodoh di antara mereka. Dia lah yang akan berkhotbah kepada ummat manusia.” Aku menyadari bahwa aku adalah yang terbodoh di antara ummat manusia dan aku berkhotbah karena kata Nabi itu, aku takkan menentang kata-katanya itu.”
oooOOOooo
Pada suatu ketika mata Abul Qasim al-Junaid sakit dan dipanggilnyalah seorang tabib.
“Jika matamu terasa perih, jangan biarkan air masuk ke dalam matamu,” si tabib menasehatkan.
Ketika tabib itu telah pergi, Abul Qasim al-Junaid bersuci, shalat dan setelah itu pergi tidur. Ketika terbangun ternyata matanya telah sembuh dan terdengarlah olehnya sebuah seruan : “Junaid bersedia mengorbankan matanya demi nikmat Kami. Seandainya untuk tujuan yang sama ia telah memohon ampunan Kami untuk semua penghuni neraka, niscaya permohonannya akan Kami kabulkan.
Ketika si tabib datang dan menyaksikan bahwa mata Abul Qasim al-Junaid telah sembuh :
“Apakah yang telah engkau lakukan?.” Ia bertanya.
“Aku bersuci untuk shalat,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Mendengar jawaban ini si tabib yang beragama Kristen itu segera masuk Islam.
“Inilah kesembuhan dari Sang Pencipta, bukan dari makhluk.-makhluk ciptaan-Nya,” katanya kepada Abul Qasim al-Junaid. “Mataku lah yang selama ini sakit, bukan matamu. Engkaulah yang sebenarnya seorang tabib, bukan aku.”
oooOOOooo
Abul Qasim al-Junaid mengisahkan : Pada suatu ketika aku ingin melihat Iblis. Aku berdiri di pintu masjid dan dari kejauhan terlihatlah oleh ku seorang tua yang sedang berjalan ke arahku. Begitu aku memandangnya, rasa ngeri mencekam perasaanku.
“Siapakah engkau ini?.” Aku bertanya kepadanya.
“Yang engkau inginkan,” jawabnya.
“Wahai makhluk yang terkutuk,” aku berseru, “Apakah yang menyebabkan engkau tidak mau bersujud kepada Adam?.”
“Bagaimanakah pendapatmu Junaid?.” Iblis menjawab,”Jika aku bersujud kepada yang lain daripada-Nya?.”
Abul Qasim al-Junaid mengisahkan, betapa ia menjadi bingung karena jawaban iblis itu.
Dari dalam lubuk hatiku terdengarlah sebuah seruan, “Katakan, engkau adalah pendusta. Seandainya engkau adalah seorang hamba yang setia niscaya engkau mentaati perintah-Nya.”
Ketika Iblis mendengar kata-kata ini, ia meraung nyaring “Demi Allah Junaid, engkau telah membinasakan aku!” Dan setelah itu ia pun hilang.
oooOOOooo
“Pada masa sekarang ini semakin sedikit dan sulit ditemukan saudara-saudara seagama,” seseorang berkata di depan Abul Qasim al-Junaid.
Abul Qasim al-Junaid membalas, “Jika engkau menghendaki seseorang untuk memikul bebanmu, maka orang-orang seperti itu memang sulit dan sedikit dijumpai. Tetapi jika engkau menghendaki seseorang untuk ikut memikul bebannya, maka orang seperti itu banyak sekali padaku.”
oooOOOooo
Bila Abul Qasim al-Junaid berkhotbah mengenai keesaan Allah, ia sering membahasnya dari sudut-sudut pandangan yang berbeda, sehingga tak seorang pun dapat memahaminya. Pada suatu hari Syibli yang berada di antara pendengar-pendengar mengucapkan : “Allah, Allah!.”.
Mendengar ucapan itu Abul Qasim al-Junaid berkata : “Apabila Allah itu tidak ada, maka menyebutkan sesuatu yang tidak ada adalah suatu pertanda dari ketiadaan, dan ketiadaan adalah sesuatu hal yang diharamkan. Apabila Allah itu ada, maka menyebut nama-Nya sambil merenungi-Nya sebagai ada adalah suatu pertanda tidak menghargai.”
oooOOOooo
Seseorang membawa uang lima ratus dinar dan memberikan uang itu kepada Abul Qasim al-Junaid.
“Adakah yang masih engkau miliki selain daripada ini?.” Abul Qasim al-Junaid bertanya kepadanya.
“Ya, banyak!.” Jawab orang itu.
“Apakah engkau masih ingin mempunyai uang yang lebih banyak lagi?.”
“Ya.”
“Kalau begitu ambillah uang ini kembali, engkau lebih berhak untuk memilikinya. Aku tidak memiliki sesuatu pun tapi aku tak menginginkan sesuatu pun.”
oooOOOooo
Ketika Abul Qasim al-Junaid sedang berkhotbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis.
“Orang ini cukup sehat,” Abul Qasim al-Junaid berkata di dalam hati. “Ia dapat mencari nafkah. Tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?.”
Malam itu Abul Qasim al-Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung.
“Makanlah!.” Sebuah suara memerintah Abul Qasim al-Junaid.
Ketika Abul Qasim al-Junaid mengangkat tudung itu, terlihatlah olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring.
“Aku tidak mau memakan daging manusia.” Abul Qasim al-Junaid menolak.
“Tetapi bukankah itu yang engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?.”
“Abul Qasim al-Junaid segera menyedari bahwa ia bersalah karena telah berbuat fitnah di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum.
“Aku tersentak dalam keadaan takut,” Abul Qasim al-Junaid mengisahkan. “Aku segera bersuci dan melakukan shalat sunnat dua raka’at. Setelah itu aku pergi ke luar mencari si pengemis. Kudapatkan ia sedang berada di tepi sungai Tigris. Ia sedang memungut sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihatlah olehnya aku yang sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku:
“Abul Qasim al-Junaid, sudahkah engkau bertaubat karena telah berprasangka buruk terhadapku?
”Sudah,” jawab ku,
“Jika demikian pergilah dari sini. Dia-lah Yang menerima taubat hamba-hamba-Nya. Dan jagalah pikiranmu.”
oooOOOooo
“Aku telah mendapat pelajaran mengenai keyakinan yang tulus dari seorang tukang cukur, “Abul Qasim al-Junaid merenungi dan setelah itu ia pun berkisah sebagai berikut :
Suatu ketika sewaktu aku berada di Mekkah, kulihat seorang tukang cukur sedang menggunting rambut seseorang. Aku berkata kepadanya : “Jika karena Allah, bersediakah engkau mencukur rambutku?.”
“Aku bersedia,” jawab si tukang cukur. Ia segera menghentikan pekerjaannya dan berkata kepada langganannya itu : “Berdirilah, apabila nama Allah diucapkan, hal-hal yang lain harus ditunda.
Ia menyuruhku duduk,. Diciumnya kepalaku dan dicukurnya rambutku. Setelah selesai ia memberikan kepadaku segumpal kertas yang berisi beberapa keping mata uang.
“Gunakanlah uang ini untuk keperluanmu,” katanya kepadaku.
Aku pun lalu bertekad bahwa hadiah yang pertama sekali kuperoleh sejak saat itu akan kuserahkan kepada si tukang cukur tersebut.
Oleh sejak saat itu aku menerima sekantong uang emas dari Bashrah. Uang ini kuberikan kepada tukang cukur itu.
“Apakah ini?” ia bertanya kepadaku.
“Aku telah bertekad,” aku menjelaskan. “hadiah yang pertama sekali kuperoleh akan kuberikan kepadamu. Uang itu baru saja kuterima.”
Tetapi si tukang cukur menjawab :
“Tidakkah engkau malu kepada Allah?” Engkau telah mengatakan kepadaku : “Demi Allah, cukurlah rambutku,” tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan demi Allah dan meminta bayaran?.”
oooOOOooo
Seorang pencuri telah dihukum gantung di kota Baghdad. Abul Qasim al-Junaid datang dan mencium kakinya.
“Mengapa engkau berbuat demikian?.” Orang–orang  bertanya kepada Abul Qasim al-Junaid.
“Semoga seribu belas kasih Allah dilimpahkan-Nya kepadanya,” jawab Abul Qasim al-Junaid. “Ia telah membuktikan bahwa dirinya setia di dalam usahanya. Sedemikian sempurna ia melakukan pekerjaannya sehingga untuk itu direlakannya hidupnya.”
oooOOOooo
Pada suatu malam seorang pencuri menyusup masuk ke rumah dan masuk ke kamar Abul Qasim al-Junaid. Tak sesuatu pun yang ditemukannya kecuali sehelai pakaian. Pakaian itu diambilnya, seteelah itu ia pergi meninggalkan rumah Abul Qasim al-Junaid. Keesokan harinya ketika Abul Qasim al-Junaid sedang berjalan-jalan di pasar, dilihatnya pakaiannya itu di tangan seorang pedagang perantara yang sedang menawarkan kepada seorang pembeli.
Calon pembeli itu berkata :
“Sebelum kubeli pakaian ini aku meminta seseorang yang sanggup memberi kesaksian bahwa pakaian itu memang kepunyaanmu.”
“Akulah yang akan memberi kesaksian bahwa pakaian itu adalah miliknya.” Abul Qasim al-Junaid berkata sambil menghampiri mereka.
Maka pakaian itu pun terjuallah.
oooOOOooo
Seorang perempuan tua datang menghadap Abul Qasim al-Junaid dan bermohon, “Puteraku pergi entah ke mana doa kanlah agar ia kembali.”
“Bersabarlah,” Abul Qasim al-Junaid menasehati perempuan tua itu.
Dengan sabar perempuan tua itu menanti beberapa hari lamanya. Kemudian ia kembali kepada Abul Qasim al-Junaid.
“Bersabarlah,” Abul Qasim al-Junaid mengulangi nasehatnya.
Kejadian seperti ini telah beberapa kali berulang. Akhirnya wanita tua itu datang dan berkata lantang, “Aku sudah tak dapat bersabar lebih lama lagi. Doakanlah kepada Allah.”
Abul Qasim al-Junaid menjawab : “Jika engkau berkata dengan sebenarnya, puteramu tentu telah kembali. Allah berkata : Dialah yang akan menjawab orang yang berduka apabila orang itu menyeru kepada-Nya.”
Setelah itu Abul Qasim al-Junaid berdoa kepda Allah. Ketika perempuan sampai di rumahnya ternyata anaknya telah berada di sana.
oooOOOooo
Seorang murid mengira bahwa dirinya telah mencapai derajat kesempurnaan.
“Oleh karena itu lebih baik aku menyendiri,” ia berkata dalam hatinya.
Maka pergilah ia mengasingkan diri di suatu tempat dan untuk beberapa lamanya berdiam di sana. Setiap malam beberapa orang yang membawa seekor unta datang kepadanya dan berkata: “Kami akan mengantarmu ke surga,” Maka naiklah ia ke atas punggung unta itu dan mereka pun berangkat ke suatu tempat yang indah dan nyaman, penuh dengan manusia-manusia gagah dan tampan, di mana banyak terdapat makanan-makanan lezat dan anak-anak sungai. Di tempat itu ia tinggal hingga fajar, kemudian ia jatuh tertidur dan ketika terjaga ternyata ia berada di kamarnya sendiri kembali. Karena pengalaman ini, ia menjadi bangga dan angkuh.
“Setiap malam aku diantarkan ke surga,” ia membanggakan dirinya.
Kata-katanya ini terdengar oleh Abul Qasim al-Junaid. Abul Qasim al-Junaid segera bangkit dan datang ke tempat di mana ia mendapatkan muridnya itu sedang berlagak dengan sangat angkuhnya. Abul Qasim al-Junaid bertanya apakah yang telah dialaminya dan si murid mengisahkan seluruh pengalamannya ini kepada syeikh.
“Malam nanti apabila engkau diantarkan ke sana,” Abul Qasim al-Junaid berkata kepada muridnya itu, “ucapkanlah : “Tiada kekuasaan dan kekuatan kecuali pada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar.”
Malam itu, seperti biasanya si murid diantarkan pula ke tempat tersebut. Dalam hatinya ia tidak yakin terhadap perkataan syeikh Abul Qasim al-Junaid, tetapi ketika sampai di tempat itu, sekedar sebagai percobaan ia mengucapkan : Tiada kekuasaan dan kekuatan..........”.
Sesaat itu pula orang-orang yang berada di tempat itu meraung-raung dan melarikan diri. Kemudian terlihatlah olehnya bahwa tempat itu hanyalah tempat pembuangan sampah sedang dihadapannya berserakan tulang-tulang binatang. Setelah menyadari kekeliruannya itu, si murid bertaubat dan bergabung dengan murid-murid Abul Qasim al-Junaid yang lain. Tahulah ia bahwa menyendiri bagi seorang murid adalah bagaikan racun yang mematikan.
oooOOOooo
Salah seorang murid Abul Qasim al-Junaid menyendiri di sebuah tempat yang terpencil di kota Bashrah. Suatu malam, sebuah pikiran buruk terlintas di dalam hatinya. Ketika ia memandang ke dalam cermin terlihatlah olehnya betapa wajahnya telah berubah hitam. Ia sangat terperanjat. Segala daya upaya dilakukan untuk membersihkan wajahnya, tetapi sia-sia. Sedemikian malunya dia sehingga tidak berani menunjukan mukanya kepada siapa pun. Setelah tiga hari berlalu, barulah kehitaman wajahnya kembali normal sedekit demi sedikit.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Siapakah itu,” ia bertanya.
“Aku datang untuk mengantar surat dari Abul Qasim al-Junaid,” sebuah sahutan dari luar.
Si Murid membuka surat Abul Qasim al-Junaid.
“Mengapa tidak engkau jaga tingkah lakumu di hadapan Yang Maha Besar. Telah tiga hari tiga malam aku bekerja sebagai seorang tukang celup untuk memutihkan kembali wajahmu yang hitam itu.”
oooOOOooo
Sutu hari, salah seorang murid Abul Qasim al-Junaid melakukan suatu kesalahan kecil. Karena malu ia melarikan diri dan tidak mau pulang. Beberapa hari kemudian, ketika berjalan-jalan dengan sahabt-sahabat di dalam pasar, tiba-tiba terlihatlah oleh Abul Qasim al-Junaid muridnya itu. Si murid lari karena malu.
“Seekor burung kita terlepas dari sangkar,” Abul Qasim al-Junaid berseru kepada sahabat-sahabatnya dan mengejar si murid.
Ketika menoleh ke belakang, si murid melihat bahwa Syeikh membuntutinya. Maka ia pun mempercepat larinya. Akhirnya ia bertemu jalan buntu, karena malu ia tetap menghadapkan mukanya ke tembok. Tak lama kemudian si syeikh telah berada di tempat itu.
“Hendak ke manakah engkau guru?,” si murid bertanya kepada Abul Qasim al-Junaid.
“Apabila seseorang membentur dinding, seorang syeikh dapat membeikan bantuannya,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Murid itu dibawanya pulang ke Tekkia. Sesampainya di sana si murid menjatuhkan dirinya di depan kaki sang guru dan memohon ampun kepada Allah. Semua yang yang menyaksikan pemandangan ini tergugah hatinya, banyak di antara mereka yang ikut bertaubat.
oooOOOooo
Syeikh Abul Qasim al-Junaid mempunyai seorang murid yang dicintainya melebihi muridnya yang lain. Murid-murid lain merasa iri, hal ini disadari oleh syeikh melalui intuisi mistiknya.
“Sesungguhnya ia melebihi kalian di dalam tingkah laku dan tingkat pemahamannya,” Abul Qasim al-Junaid menjelaskan kepada mereka. “Begitulah menurut pendapatku. Tetapi mari kita membuat sebuah percobaan agar kalian semua menyadari hal itu.”
Kemudian Abul Qasim al-Junaid memerintahkan agar dua puluh ekor burung dibawakan kepadanya.
“Ambil burung-burung ini oleh kalian, seekor seorang,” Abul Qasim al-Junaid berkata kepada murid-muridnya. “Bawalah burung itu ke suatu tempat yang tak terlihat oleh siapa pun juga, kemudian bunuhlah. Setelah itu bawalah kembali ke sini.
Setiap murid pergi dengan membawa seekor burung, membunuh burung itu dan membawa bangkainya kembali, kecuali murid kesayangan Abul Qasim al-Junaid itu. Ia pulang dengan membawa seekor burung yang masih hidup.
“Mengapa tak kau bunuh burungmu itu?.” Abul Qasim al-Junaid bertanya kepadanya.
“Karena guru mengatakan hal itu harus dilakukan di suatu tempa yang tidak dapat dilihat oleh siapapun juga,” jawab si murid. “Dan ke mana pun aku pergi, Allah senantiasa menyaksikannya.”
“Kalian saksikanlah tingkat pemahamannya!.” Abul Qasim al-Junaid berkata kepada seluruh muridnya. “Bandingkanlah dengan yang lain-lainnya.”
Semua murid Abul Qasim al-Junaid segera mohon ampunan Allah.
oooOOOooo
Abul Qasim al-Junaid mempunyai delapan orang murid istimewa yang melaksanakan setiap buah pikirannya. Pada suatu hari, terpikirkan oleh mereka bahwa mereka harus terjun ke perang suci. Keesokan paginya Abul Qasim al-Junaid menyuruh pelayannya mempersiapkan perlengkapan perang. Beserta ke delapan murid tersebut ia lalu berangkat ke medan perang.
Ketika kedua belah pihak yang bertempur saling berhadapan, tampillah seorang satria perkasa dari pasukan kafir itu, lantas dibinasakannya ke delapan murid Abul Qasim al-Junaid.
“Aku menengadah ke langit,” Abul Qasim al-Junaid mengisahkan, “dan di sana terlihat olehku sembilan buah usungan. Roh masing-masing dari ke delapan muridku yang syahid itu di angkat ke sebuah usungan; jadi masih ada satu usungan yang kosong. “Usungan yang masih kosong itu tentulah untukku,” aku berpikir dan karena itu aku pun mencebur kembali ke dalam kancah pertempuran. Tetapi satria perkasa yang telah membunuh ke delapan sahabatku itu tampil dan berkata : “Abul Qasim al-Junaid, usungan yang ke sembilan itu adalah untukku. Kembalilah ke Baghdad dan jadilah seorang syeikh untuk kaum Muslimin. Dan bawalah aku ke dalam Islam.”
 “Maka jadilah ia seorang Muslim. Dengan pedang yang telah digunakannya untuk membunuh ke delapan muridku itu ia pun berbalik membunuh orang-orang kafir dalam jumlah yang sama. Kemudian ia sendiri terbunuh sebagai seorang syuhada. Rohnya.” Abul Qasim al-Junaid mengakhiri kisahnya. “ditaruh ke atas usungan yang masih kosong tadi. Kemudian kesembilan usungan itu menghilang tidak terlihat lagi.”
oooOOOooo
Seorang sayyid bernama Nairi, sedang melakukan perjalanan ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di Baghdad ia pun pergi mengunjungi Abul Qasim al-Junaid.
“Dari manakah engkau datang sayyid?.” Abul Qasim al-Junaid bertanya setelah menjawab salam.
“Aku datang dari Ghilan,” jawab sang sayyid..
“Keturunan siapakah engkau?.” Tanya Abul Qasim al-Junaid.
“Aku adalah keturunan ‘Ali, pangeran kaum Muslimin, semoga Allah memberkatinya.” Jawabnya.
“Nenek moyangmu itu bersenjatakan dua bilah pedang,” ujar Abul Qasim al-Junaid. “Yang satu untuk melawan orang-orang kafir dan yang lainnya untuk melawan dirinya sendiri. Pada saat ini, sebagai puteranya, pedang manakah yang engkau gunakan?.”
Sang sayyid menangis sedih mendengar kata-kata ini. Di rebahkannya dirinya di depan Abul Qasim al-Junaid dan berkatalah ia :
“Guru, di sinilah ibadah hajiku. Tunjukanlah kepadaku jalan menuju Allah.”
“Dadamu adalah tempat bernaung Allah. Usahakanlah sedaya upayamu agar tidak ada yang cemar memasuki tempat bernaung-Nya itu.”
“Hanya itulah yang ingin ku ketahui,” si sayyid berkata.

JUNAID MENINGGAL DUNIA

Keika ajalnya sudah dekat, Abul Qasim al-Junaid menyuruh sahabat-sahabatnya untuk membentangkan meja dan mempersiapkan makanan.
“Aku ingin menghembuskan nafasku yang terakhir ketika sahabat-sahabatku sedang menyantap seporsi sop.” Abul Qasim al-Junaid berkata.
Kesakitan pertama menyerang dirinya.
“Berilah aku air utuk bersuci,” ia meminta kepada sahabat-sahabatnya.
Tanpa disengaja mereka lupa membersihkan sela-sela jari tangannya. Atas permintaan Abul Qasim al-Junaid sendiri kekhilafan ini mereka perbaiki. Kemudian Abul Qasim al-Junaid bersujud sambil menangis.
“Wahai ketua kami,” murid-muridnya menegurnya. “dengan semua pengabdian dan kepatuhanmu kepada Allah seperti yang telah engkau lakukan, mengapakah engkau bersujud pada saat-saat seperti ini?.”
“Tidak pernah aku merasa perlu bersujud daripada saat-saat ini,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Kemudian Abul Qasim al-Junaid membaca ayat-ayat al-Qur’an tanpa henti-hentinya.
“Dan engkaupun membaca al-Qur’an?.” Salah seorang muridnya bertanya.
“Siapakah yang lebih berhak daripadaku membaca al-Qur’an, karena aku tahu bahwa sebentar lagi catatan kehidupanku akan di gulung dan akan kulihat pengabdian dan kepatuhanku selama tujuh puluh tahun tergantung di angkasa pada sehelai benang. Kemudian angin bertiuap dan mengayunkan ke sana ke mari, hingga aku tak tahu, apakah angin itu akan memisahkan atau mempertemukanku dengan-Nya. Di sebelahku akan membentang tebing pemisah surga dan neraka, dan di sebelah yang lain malaikat maut. Hakim yang adil akan menantikanku di sana, teguh tak tergoyahkan di dalam keadilan yang sempurna. Sebuah jalan telah terbentang di hadapanku dan aku tak tahu kemana aku hendak dibawa.”
Setelah tamat dengan al-Qur’an yang dibacanya, dilanjutkannya pula tujuh puluh ayat dari surat al-Baqarah.
Kesakitan ke dua menyerang Abul Qasim al-Junaid.
“Sebutlah nama Allah,” sahabat-sahabatnya membisikkan.
“Aku tidak lupa,” jawab Abul Qasim al-Junaid. Tangannya meraih tasbih dan keempat jarinya kaku mencengkeram tasbih itu, sehingga salah seorang muridnya harus melepaskannya.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” Abul Qasim al-Junaid berseru, kemudian menutup matanya dan sampailah ajalnya.
Ketika jenazahnya dimandikan, salah seorang yang ikut memandikannya bermasud membasuh matanya. Tetapi sebuah suara dari langit mencegah : “Lepaskan tanganmu dari mata sahabat-Ku. Matanya tertutup bersama nama-Ku dan tidak akan dibukakan kembali kecuali ketika dia menghadap-Ku nanti,” kemudian ia hendak membuka jari-jari Junaid untuk dibasuhnya. Sekali lagi terdengar suara mencegah : “Jari-jari yang telah kaku bersama nama-Ku tidak akan dibukakan kecuali melalui perintah-Ku.”
Ketika jenazah Abul Qasim al-Junaid diusung, seekor burung dara berbulu putih hinggap di sudut peti matinya. Percuma saja para sahabat mencoba mengusir burung itu. Karena ia tak mau pergi. Akhirnya burung itu berkata :

“Janganlah kalian menyusahkan diri kalian sendiri dan menyusahkan aku. Cakar-cakarku telah tertancap di sudut peti mati ini oleh paku cinta. Itulah sebabnya aku hinggap di sini. Janganlah kalian bersusah payah. Sejak saat itu jasadnya dirawat oleh para malaikat. Jika bukan karena kegaduhan yang kalian buat, niscaya jasad Abul Qasim al-Junaid telah terbang ke angkasa sebagai seekor elang putih bersama-sama dengan kami.”
Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar
Tags: riwayat junaid al-baghdadi, syeikh junaid, kisah junaid, kisah junaid al-baghdadi, biografi junaid al-bahgdadi.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More