‘AMR BIN ‘UTSMAN
Abu
Abdullah ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy, salah seorang murid Junaid, mengunjungi
Isfahan dan meninggal dunia di kota Baghdad pada tahun 291 H/ 904 M.
Atau pada tahun 297H/910 M.
‘AMR BIN ‘UTSMAN AL-MAKKIY DAN KITAB RAHASIA
Suatu
hari ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy menterjemahkan Kitab Rahasia di atas sehelai
kertas. Kertas tersebut ditaruhnya di bawah sajadahnya. Ketika ia pergi
bersuci, saat itu ia dengar ada kegaduhan, lalu ia menyuruh seorang hamba untuk
mengambil kertas tesebut. Si hamba membalik sajadah itu, ternyata kertas
tersebut telah hilang. Hal ini segera disampaikannya kepada tuannya.
“Buku
itu telah hilang dicuri orang.” ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy berkata. Kemudian ia
menambahkan. “Orang yang mencuri Kitab Rahasia itu niscaya dalam waktu dekat
ini akan dipotong kaki dan tangannya. Ia akan dimasukan ke dalam kurungan,
kemudian dibakar dan abunya akan diterbangkan angin. Pada saat ini pastilah ia
telah sampai ke tempat Rahasia itu.”
Sesungguhnya
inilah yang tertulis di dalam Kitab Rahasia itu :
Ketika roh ditiupkan ke dalam
tubuh Adam, Allah memerintahkan kepada semua malaikat untuk bersujud
kepadanya. Semuanya bersujud ke atas tanah. Tetapi Iblis berkata : “Aku tidak
mau bersujud. Akan kupertaruhkan hidupku, dan akan kulihat rahasia manusia
itu walaupun karena itu aku akan dikutuk, disebut ingkar, berdosa dan
munafik.”
Iblis tidak bersujud. Oleh karena
itulah ia dapat melihat dan mengetahui rahasia manusia, dan hanya manusia
sajalah yang mengetahui rahasia Iblis. Jadi Iblis dapat mengetahui rahasia
manusia karena ia tidak mau bersujud dan karena tak bersujud itulah ia
memegang sebuah rahasia. Semua makhluk membenci Iblis karena rahasia mereka telah
dilihatnya.
“Kami telah menguburkan rahasia
itu di dalam tanah,” mereka berkata. “Syarat untuk mendapatkan rahasia ini
adalah seseorang yang melihatnya akan dipenggal kepalanya agar rahasia ini
tidak dibocorkannya.”
“Di dalam hal ini, berilah aku
kelonggaran,” si Iblis berseru, “Janganlah kalian membunuhku. Sesungguhnya
aku telah mengetahui rahasia itu. Rahasia itu diperlihatkan kepadaku sewaktu
mataku ini awas.”
Pedang Aku Tak Perduli
berkumandang :
“Engkau adalah di antara orang-orang yang diberi kelonggaran.
Kami beri engkau kelonggaran, tetapi Kami membuat manusia waspada terhadapmu.
Jadi walau engkau tidak Kami binasakan, engkau akan dicurigai dan di cap
sebagai pendusta, dan tak seorang pun yang akan menganggapmu sebagai pemuka
kebenaran. Mereka akan bekata : “Ia adalah sebangsa jin dan telah
mengingkari perintah Allah.”
Ia adalah syaithan. Betapakah ia
akan mengatakan kebenaran? Oleh karena itulah ia dilaknat, ditolak,
ditinggalkan dan di abaikan.
|
Demikianlah
terjemahan Kitab Rahasia oleh ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy.
‘AMR BIN ‘UTSMAN MENGENAI CINTA
Di
dalam kitab mengenai Cinta, ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy menyatakan sebagai berikut
: “Allah Yang Maha besar menciptakan hati, tujuh puluh ribu tahun sebelum
sukma, dan hati itu dimasukkan-Nya ke dalam Taman Shilaturrahmi. Dia
menciptakan rahasia, tujuh puluh ribu tahun sebelum hati, dan rahasia ini
dimasukkan-Nya ke derajat keesaan.
Setiap
hari Allah memperlihatkan tiga ratus enam pulluh kali karunia dan
memperdengarkan tiga ratus enam puluh kata cinta kepada sukma. Setiap hari
diperlihatkan-Nya tiga ratus enam puluh kali keindahan kepada rahasia.
Maka
mereka dapat melihat segala sesuatu di dalam dunia ini. Dan mereka menyangka
bahwa tiada sesuatu pun yang lebih berharga daripada mereka. Kesombongan dan
keangkuhan terwujud di dalam diri mereka.
Oleh
karena itu, Allah menguji mereka. Disembunyikan-Nya rahasia di dalam sukma dan
disembunyikan-Nya sukma di dalam hati. Kemudian disembunyikan-Nya hati di dalam
jasmani. Kemudian diberi-Nya akal kepada mereka.
Allah
mengutus para Nabi dengan perintah-perintah-Nya. Dan setiap orang di antara
mereka berusaha mencari tempatnya masing-masing. Allah memerintahkan agar
mereka shalat, maka jasmani pun melakukan shalat, hati mencapai cinta, sukma
menjadi lebih dekat kepada-Nya dan rahasia berpadu dengan keesaan.
“AMR BIN UTSMAN BERKIRIM SURAT KEPADA JUNAID
Ketika
berada di Mekkah, ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy menulis surat kepada Junaid,
Jurairi dan Syibli di negeri Irak. Beginilah bunyi suratnya :
“Ketahuilah
oleh kalian, wahai tokoh-tokoh terkemuka dan ketua-ketua di negeri Irak, bahwa
kalian harus mengatakan kepada setiap orang yang ingin berkunjung ke negeri
Hijaz dan menyaksikan keindahan Ka’bah, Engkau tidak sampai ke sana
kecuali dengan semangat yang gundah. Dan katakan kepada setiap orang
yang menginginkan permadani kehampiran-Nya dan istana keagungan-Nya, Engkau
tidak akan sampai ke sana kecuali dengan sukma yang gunda.”
Di
akhir surat itu ‘Amr bin ‘Utsman al-Makkiy menulis, “Inilah pesan dari ‘Amr bin
‘Utsman al-Makkiy dan ketua-ketua negeri Hijaz yang senantiasa bersama Dia, di
dalam Dia, dan karena Dia. Jika salah seorang di antara kamu mempunyai
cita-cita yang luhur, maka katakanlah, kepadanya : Ambillah jalan ini di mana
terdapat dua ribu gunung berapi yang menggelegar dan dua ribu samudra yang
penuh badai dan mara bahaya. Jika engkau tidak sanggup, maka janganlah berlagak
palsu, karena berlagak palsu tidak sesuatu pun dapat engkau peroleh.”
Seelah
menerima surat itu, Junaid memanggil ketua-ketua negeri Irak untuk berkumpul.
Kemudian setelah membacakan surat itu kepada mereka, Junaid bertanya :
“Apakah
yang dimaksud dengan gunung-gunung di dalam surat ini?.”
“Yang
dimaksud dengan gunung-gunung tersebut adalah ketiadaan,” jawab mereka,
“Sebelum manusia seribu kali ditiadakan dan seribu kali dihidupkan kembali, ia
tidak akan dapat mencapai istana keagungan.”
“Dan
apa pula yang dimaksud di antara dua ribu gunung berapi itu baru satu sajalah
yang pernah ku daki,” kata Junaid.
“Engkau
cukup beruntung karena telah melalui salah satu di antara gunung-gunung itu,”
Jurairi berkata, “Hingga saat ini baru tiga langkah yag aku tempuh.”
Syibli
menangis terisak-isak, kemudian berkata :
“Engkau
beruntung Junaid, karena telah melalui sebuah gunung. Dan Engkau pun
beruntung Jurairi, karena telah menempuh tiga langkah. Hingga saat ini aku
belum melihat debu-debunya baik dari kejauhan sekalipun.”
Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar
0 comments:
Posting Komentar