AbulQasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz an-Nihawandi, adalah putera seorang
pedagang barang pecah belah dan keponakan dari Sari as-Saqathi. Ia adalah teman
akrab al-Muhasibi yang merupakan penyebar besar aliran “waras” sufisme.
Ia telah mengembangkan sebuah doktrin theosofi yang mempengaruhi
keseluruhan mistisme ortodoks Islam. Teorinya yang dijelaskannya kepada
tokoh-tokoh semasanya masih dapat kita temukan hingga saat ini. Ia meninggal
pada tahun 198H/910 M di Baghdad, sebagai ketua dari sebuah aliran yang besar
dan berpengaruh luas.
MASA REMAJA JUNAID AL-BAGHDADI
Sejak
kecil Abul Qasim al-Junaid sudah merasakan kegelisahan spiritual. Ia adalah
pencari Allah yang tekun, penuh disiplin, bijaksana, cerdas dan mempunyai
intuisi yang tajam.
Pada
suatu hari ketika kembali dari sekolah, Abul Qasim al-Junaid mendapatkan
ayahnya sedang menangis.
“Apakah
yang terjadi?, tanya Junaid kepada ayahnya.
“Aku
ingin memberi sedekah kepada pamanmu, Sari, tetapi ia tidak mau menerimanya,”
ayahnya menjelaskan. “Aku menangis karena seumur hidupku baru sekarang inilah
aku dapat mengumpulkan uang lima dirham, tetapi ternyata pemberianku tidak
pantas diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”
“Berikanlah
uang itu kepadaku, biar aku yang akan memberikannya kepada paman. Dengan cara
ini tentu ia mau menerimanya.” Junaid berkata.
Uang
lima dirham itu diserahkan ayahnya dan berangkatlah Junaid ke rumah pamannya.
Sesampainnya di tujuan, ia mengetuk pintu.
“Siapakah
itu?.” Terdengar sahutan dari dalam.
“Junaid,”
jawabnya. “Bukalah pintu dan terimalah sedekah yang sudah menjadi hakmu ini.”
“Aku
tidak mau menerimanya,” Sari menyahut.
“Demi
Allah yang telah sedemikian baiknya kepadamu dan sedemikian adilnya kepada
ayahku, aku meminta kepadamu, terimalah sedekah ini,” Junaid berseru.
“Junaid,
bagaimanakah Allah telah sedemikian baiknya kepadaku dan sedemikian adilnya
kepada ayahmu?.” Sari as-Saqathi bertanya.
“Allah
berbuat baik kepadamu,” Jawab Junaid,” karena telah memberikan kemiskinan
kepadamu. Allah berbuat adil kepada ayahku karena telah membuatnya sibuk dengan
urusan-urusan dunia. Engkau bebas menerima atau menolak sedekah, tetapi ayahku,
baik secara rela maupun tidak, harus mengantarkan sebagian harta kekayaannya
kepada yang berhak menerimanya.”
Sari
sangat senang mendengar jawaban itu.
“Nak,
sebelum menerima sedekah itu, aku telah menerima dirimu.”
Sambil
berkata demikian Sari as-Saqathi membukakan pintu dan menerima sedekah itu. Untuk Junaid
disediakannya tempat yang khusus di dalam lubuk hatinya.
oooOOOooo
Abul
Qasim al-Junaid baru berumur tujuh tahun ketika Sari as-Saqathi membawanya ke tanah suci
untuk menunaikan ibadah haji. Di Masjidil Haram, empat ratus syeikh sedang
membahas sikap syukur. Setiap orang di antara mereka mengemukakan pendapatnya
masing-masing.
“Kemukakan
pula pendapatmu,” Sari mendorong Junaid. Maka berkatalah Junaid.
“Kesyukuran
berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah dilimpahkan-Nya atau
membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran.”
“Tepat
sekali, wahai pelipur hati Muslim-muslim sejati.” Keempat ratus syeikh tersebut
berseru. Semuanya sependapat bahwa definisi kesyukuran yang dikemukakan Junaid
itulah yang paling tepat.
Sari as-Saqathi berkata Junaid.
“Nak,
tidak lama lagi akan kenyataanlah bahwa karunia yang istimewa dari Allah
kepadamu adalah lidahmu.”
Junaid
tidak sanggup menahan tangisnya ketika mendengar kata-kata pamannya itu.
“Bagaimanakah
engkau memperoleh semua pengetahuan ini?.” Sari bertanya kepadanya.
“Dengan
duduk mendengarkanmu,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Abul
Qasim al-Junaid lalu kembali ke Baghdad dan berdagang barang pecah belah. Setiap
hari ia menurunkan tirai tokoya dan melakukan shalat sunnat sebanyak empat
ratus raka’at. Belakangan hari, usaha itu ditinggalkannya dan ia langsung
mengunci diri dalam sebuah kamar di rumah Sari. Di dalam kamar itulah ia
menyibukkan diri untuk menyempurnakan bathinnya. Dan di situ pula ia
membentangkan sajadah ketekunan sehingga tidak sesuatu hal pun selain Allah
yang terpikirkannya.
JUNAID DI UJI
Selama
empat puluh tahun Abul Qasim al-Junaid menekuni kehidupan mistiknya. Tiga puluh
tahun lamanya, setiap selesai shalat Isa ia berdiri dan mengucapkan “Allah,
Allah” terus menerus hingga fajar, dan melakukan shalat Shubuh tanpa perlu
berwudlu lagi.
“Setelah
empat puluh tahun berlalu,” Abul Qasim al-Junaid berkisah, “timbullah
kesombongan di dalam hatiku, aku mengira bahwa tujuanku telah tercapai.
Segeralah terdengar olehku suara dari langit yang menyeru kepadaku “ Junaid,
telah tiba saatnya bagi-Ku untuk menunjukkan kepadamu sabuk pinggang Majusimu.
Mendengar seruan itu aku mengeluh : “Ya Allah, dosa apakah yang dilakukan
Junaid?.” Suara itu menjawab : “Apakah engkau hidup untuk melakukan dosa yang
lebih besar daripada itu?.”
Abul
Qasim al-Junaid mengeluh menundukkan kepalanya.
“Apakah
manusia belum patut untuk menemui Tuhannya,” bisik Abul Qasim al-Junaid, “maka
segala amal baiknya adalah dosa semata.”
Abul
Qasim al-Junaid lalu terus berdiam di dalam kamarnya dan terus menerus
mengucapkan “Allah, Allah” sepanjang malam. Tetapi lidah fitnah menyerang
dirinya dan tingkah lakunya ini dilaporkan orang kepada khalifah.
“Kita
tidak dapat berbuat apa-apa kepada Junaid bila kita tak mempunyai bukti,” jawab
Khalifah.
Kebetulah
sekali khalifah mempunyai seorang hamba perempuan berwajah sangat cantik. Gadis
ini telah dibelinya seharga tiga ribu dinar dan sangat disayanginya. Khalifah
memerintahkan agar hamba perempuannya itu dipakaikan dengan pakaian yang gemerlapan
dan didandani dengan batu-batu permata yang mahal.
“Pegilah
ke tempat Abul Qasim al-Junaid,” khalifah memerintahkan hamba perempuannya, “Berdirilah
di depannya, buka cadar dan perlihatkan wajahmu, permainkan batu-batu permata dan
pakaianmu untuknya. Setelah itu katakanlah kepada Junaid : “Aku datang kemari
agar engkau mau melamar diriku, sehingga bersamamu aku dapat mengabdikan diri
untuk berbakti kepada Allah. Hatiku tidak berrkenan kepada siapa pun kecuali
kepadamu! Kemudian perlihatkan tubuhmu kepadanya. Bukalah pakaianmu dan godalah
ia dengan segenap daya upayamu.”
Ditemani
seorang pelayan ia diantar ke tempat Abul Qasim al-Junaid. Si gadis menemui
Junaid dan melakukan segala daya upaya yang bahkan melebihi dari apa yang
diperintahkan kepadanya. Tanpa disengaja ia terpandang oleh Junaid. Abul Qasim
al-Junaid membisu dan tak memberi jawaban. Si gadis mengulangi daya upayanya
dan Abul Qasim al-Junaid yang selama itu tertunduk mengangkat kepalanya.
“Ah!.”
Serunya sambil meniupkan nafasnya ke arah si gadis. Si gadis terjatuh dan
seketika itu juga menemui ajalnya.
Pelayan
yang menemaninya kembali ke hadapan khalifah dan menyampaikan segala kejadian
itu. Api penyesalan menyesak dada khalifah dan ia memohonkan ampunan Allah
karena perbuatannya itu.
“Seseorang
yang memperlakukan orang lain seperti yang tak sepatutnya akan menyaksikan hal
yang tak patut untuk disaksikannya,”
khalifah berkata.
Khalifah
bangkit dan berangkatlah ia untuk mengunjungi Abul Qasim al-Junaid. “Manusia
seperti Junaid tidak dapat dipanggil untuk menghadapnya,” ia berkata.
Setelah
bertemu dengan Abul Qasim al-Junaid, khalifah bertanya :
“Wahai
guru, bagaimanakah engkau sampai hati membinasakan tubuh gadis yang sedemikian
eloknya?.”
“Wahai
pangeran kaum Muslimin,” Abul Qasim al-Junaid menjawab, “belas kasihmu kepada
orang-orang yang mentaatimu sedemikian besarnya, sehingga engkau sampai hati
untuk menginginkan jerih payahku selama empat puluh tahun mendisiplinkan diri,
bertirakat, menyangkal diri, musnah diterbangkan angin. Tetapi apakah artinya
diriku di dalam semua itu? Janganlah engkau lakukan sesuatu hal kepada
orang lain apabila engkau sendiri tidak menginginkannya!.”
“Selama
tiga puluh tahun aku mengawasi batinku,” Abul Qasim al-Junaid mengatakan,
“Setelah itu selama sepuluh tahun bathinku mengawasi diriku. Pada saat ini,
telah dua puluh tahun lamanya aku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai
bathinku dan bathinku tidak mengetahui sesuatu pun mengenai diriku.”
“Selama
tiga tahun,” Abul Qasim al-Junaid melanjutkan, “Allah telah berkata-kata dengan
Junaid melalui lidah Junaid sendiri, sedang Junaid tidak ada dan orang-orang
lain tidak menyadari hal itu.”
JUNAID BERKHOTBAH
Ketika
lidah Abul Qasim al-Junaid telah fasih mengucapkan kata-kata mulia, Sari
as-Saqathi mendesak bahwa Junaid berkewajiban untuk berkhotbah di depan umum.
Mula-mula Abul Qasim al-Junaid enggan; ia tidak ingin melakukan hal itu.
“Apabila
guru masih ada, tidaklah pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” Junaid
berkilah.
Kemudian
pada suatu malam Abul Qasim al-Junaid bermimpi dan dalam mimpi tersebut ia
bertemu dengan Nabi saw.
“Berkhotbahlah!.”
Nabi berkata kepadanya.
Keesokan
paginya ia hendak pergi mengabarkan hal itu kepada Sari, tetapi ternyata Sari
sudah berdiri di depan pintu rumahnya.
“Sebelumnya
engkau selalu merasa enggan, dan menantikan agar orang-orang mendesakmu
untuk berkhotbah. Tetapi mulai saat ini engkau harus berkhotbah karena
kata-katamu dijadikan sebagai alat bagi keselamatan seluruh dunia. Engkau tak
mau berkhotbah ketika dimohonkan murid-muridmu, engkau tak mau ketika diminta
oleh para syiekh di kota Baghdad. Dan engkau tak mau berkhotbah ketika ku desak.
Tetapi kini Nabi sendirilah yang memberi perintah kepadamu, oleh karena itu
engkau harus mau berkhotbah.”
“Semoga
Allah mengampuni diriku,” jawab Abul Qasim al-Junaid. “Tetapi bagaimanakah
engkau bisa mengetahui bahwa aku telah berjumpa dengan Nabi dalam mimpiku?.”
“Aku
bertemu dengan Allah dalam mimpi,” jawab Sari, “dan Dia berkata kepadaku :
“Telah Ku-utus Rasul-Ku untuk menyuruh Junaid berkhotbah di atas mimbar.”
“Aku
mau berkhotbah,” Abul Qasim al-Junaid menyerah, “Tetapi dengan satu syarat
bahwa yang mendengarkan khotbah-khotbahku tidak lebih dari empat puluh orang.”
Pada
suatu hari Abul Qasim al-Junaid berkhotbah. Jumlah pendengar hanya empat puluh
orang. Delapan belas orang di antaranya menemui ajal, mereka sedang sisanya
yang berjumlah dua puluh dua orang jatuh pingsan dan harus digotong ke rumahnya
masing-masing.
Di
dalam kesempatan lain Abul Qasim al-Junaid berkhotbah di dalam masjid besar. Di
antara jamaahnya ada seorang pemuda Kristen tetapi tak seorang pun yang
mengetahui bahwa ia beragama Kristen. Si pemuda menghampiri Abul Qasim
al-Junaid dan berkata : “Nabi pernah berkata: “Berhati-hatilah dengan wawasan
seseorang yang beriman karena ia dapat melihat dengan nur Allah,” Apakah
maksudnya?.”
“Yang
dimaksudnya adalah,” Abul Qasim al-Junaid menjawab, “bahwa engkau harus menjadi
seorang Muslim dan melepaskan sabuk ke kristenanmu itu, karena sekarang ini
adalah zaman Islam.”
Si
pemuda segera memeluk Islam setelah mendengar jawaban Abul Qasim al-Junaid
tersebut.
oooOOOooo
Setelah
berkhotbah beberapa kali, orang-orang menentang Abul Qasim al-Junaid. Junaid
menghentikan khotbahnya dan mengurung diri di dalam kamarnya. Betapapun ia
didesak untuk berkhotbah kembali, ia tetap menolak.
“Aku
sudah cukup puas,” jawab Abul Qasim al-Junaid, “Aku tidak mau ke atas mimbar
dan mulai berkhotbah.
“Apakah
kebijaksanaan yang terkandung di dalam perbuatanmu ini?.” Seseorang bertanya
kepadanya.”
Abul
Qasim al-Junaid menjawab : “Aku teringat sebuah hadits di mana Nabi berkata :
“Di hari-hari terakhir nanti yang menjadi juru bicara di antara ummat manusia
adalah yang paling bodoh di antara mereka. Dia lah yang akan berkhotbah kepada
ummat manusia.” Aku menyadari bahwa aku adalah yang terbodoh di antara ummat
manusia dan aku berkhotbah karena kata Nabi itu, aku takkan menentang
kata-katanya itu.”
oooOOOooo
Pada
suatu ketika mata Abul Qasim al-Junaid sakit dan dipanggilnyalah seorang tabib.
“Jika
matamu terasa perih, jangan biarkan air masuk ke dalam matamu,” si tabib
menasehatkan.
Ketika
tabib itu telah pergi, Abul Qasim al-Junaid bersuci, shalat dan setelah itu
pergi tidur. Ketika terbangun ternyata matanya telah sembuh dan terdengarlah
olehnya sebuah seruan : “Junaid bersedia mengorbankan matanya demi nikmat Kami.
Seandainya untuk tujuan yang sama ia telah memohon ampunan Kami untuk semua
penghuni neraka, niscaya permohonannya akan Kami kabulkan.
Ketika
si tabib datang dan menyaksikan bahwa mata Abul Qasim al-Junaid telah sembuh :
“Apakah
yang telah engkau lakukan?.” Ia bertanya.
“Aku
bersuci untuk shalat,” jawab Abul Qasim al-Junaid.
Mendengar
jawaban ini si tabib yang beragama Kristen itu segera masuk Islam.
“Inilah
kesembuhan dari Sang Pencipta, bukan dari makhluk.-makhluk ciptaan-Nya,”
katanya kepada Abul Qasim al-Junaid. “Mataku lah yang selama ini sakit, bukan
matamu. Engkaulah yang sebenarnya seorang tabib, bukan aku.”
oooOOOooo
Abul
Qasim al-Junaid mengisahkan : Pada suatu ketika aku ingin melihat Iblis. Aku
berdiri di pintu masjid dan dari kejauhan terlihatlah oleh ku seorang tua yang
sedang berjalan ke arahku. Begitu aku memandangnya, rasa ngeri mencekam
perasaanku.
“Siapakah
engkau ini?.” Aku bertanya kepadanya.
“Yang
engkau inginkan,” jawabnya.
“Wahai
makhluk yang terkutuk,” aku berseru, “Apakah yang menyebabkan engkau tidak mau
bersujud kepada Adam?.”
“Bagaimanakah
pendapatmu Junaid?.” Iblis menjawab,”Jika aku bersujud kepada yang lain
daripada-Nya?.”
Abul
Qasim al-Junaid mengisahkan, betapa ia menjadi bingung karena jawaban iblis
itu.
Dari
dalam lubuk hatiku terdengarlah sebuah seruan, “Katakan, engkau adalah
pendusta. Seandainya engkau adalah seorang hamba yang setia niscaya engkau
mentaati perintah-Nya.”
Ketika
Iblis mendengar kata-kata ini, ia meraung nyaring “Demi Allah Junaid, engkau
telah membinasakan aku!” Dan setelah itu ia pun hilang.
oooOOOooo
“Pada
masa sekarang ini semakin sedikit dan sulit ditemukan saudara-saudara seagama,”
seseorang berkata di depan Abul Qasim al-Junaid.
Abul
Qasim al-Junaid membalas, “Jika engkau menghendaki seseorang untuk memikul
bebanmu, maka orang-orang seperti itu memang sulit dan sedikit dijumpai. Tetapi
jika engkau menghendaki seseorang untuk ikut memikul bebannya, maka orang
seperti itu banyak sekali padaku.”
oooOOOooo
Bila
Abul Qasim al-Junaid berkhotbah mengenai keesaan Allah, ia sering membahasnya
dari sudut-sudut pandangan yang berbeda, sehingga tak seorang pun dapat
memahaminya. Pada suatu hari Syibli yang berada di antara pendengar-pendengar
mengucapkan : “Allah, Allah!.”.
Mendengar
ucapan itu Abul Qasim al-Junaid berkata : “Apabila Allah itu tidak ada, maka
menyebutkan sesuatu yang tidak ada adalah suatu pertanda dari ketiadaan, dan
ketiadaan adalah sesuatu hal yang diharamkan. Apabila Allah itu ada, maka
menyebut nama-Nya sambil merenungi-Nya sebagai ada adalah suatu pertanda tidak
menghargai.”
oooOOOooo
Seseorang
membawa uang lima ratus dinar dan memberikan uang itu kepada Abul Qasim
al-Junaid.
“Adakah
yang masih engkau miliki selain daripada ini?.” Abul Qasim al-Junaid bertanya
kepadanya.
“Ya,
banyak!.” Jawab orang itu.
“Apakah
engkau masih ingin mempunyai uang yang lebih banyak lagi?.”
“Ya.”
“Kalau
begitu ambillah uang ini kembali, engkau lebih berhak untuk memilikinya. Aku
tidak memiliki sesuatu pun tapi aku tak menginginkan sesuatu pun.”
oooOOOooo
Ketika
Abul Qasim al-Junaid sedang berkhotbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan
mulai mengemis.
“Orang
ini cukup sehat,” Abul Qasim al-Junaid berkata di dalam hati. “Ia dapat mencari
nafkah. Tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?.”
Malam
itu Abul Qasim al-Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup
tudung.
“Makanlah!.”
Sebuah suara memerintah Abul Qasim al-Junaid.
Ketika
Abul Qasim al-Junaid mengangkat tudung itu, terlihatlah olehnya si pengemis
terkapar mati di atas piring.
“Aku
tidak mau memakan daging manusia.” Abul Qasim al-Junaid menolak.
“Tetapi
bukankah itu yang engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?.”
“Abul
Qasim al-Junaid segera menyedari bahwa ia bersalah karena telah berbuat fitnah
di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum.
“Aku
tersentak dalam keadaan takut,” Abul Qasim al-Junaid mengisahkan. “Aku segera
bersuci dan melakukan shalat sunnat dua raka’at. Setelah itu aku pergi ke luar
mencari si pengemis. Kudapatkan ia sedang berada di tepi sungai Tigris. Ia
sedang memungut sisa-sisa sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Si
pengemis mengangkat kepala dan terlihatlah olehnya aku yang sedang
menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku:
“Abul
Qasim al-Junaid, sudahkah engkau bertaubat karena telah berprasangka buruk
terhadapku?
”Sudah,”
jawab ku,
“Jika
demikian pergilah dari sini. Dia-lah Yang menerima taubat hamba-hamba-Nya. Dan
jagalah pikiranmu.”
oooOOOooo
“Aku
telah mendapat pelajaran mengenai keyakinan yang tulus dari seorang tukang
cukur, “Abul Qasim al-Junaid merenungi dan setelah itu ia pun berkisah sebagai
berikut :
Suatu
ketika sewaktu aku berada di Mekkah, kulihat seorang tukang cukur sedang
menggunting rambut seseorang. Aku berkata kepadanya : “Jika karena Allah,
bersediakah engkau mencukur rambutku?.”
“Aku
bersedia,” jawab si tukang cukur. Ia segera menghentikan pekerjaannya dan
berkata kepada langganannya itu : “Berdirilah, apabila nama Allah diucapkan,
hal-hal yang lain harus ditunda.
Ia
menyuruhku duduk,. Diciumnya kepalaku dan dicukurnya rambutku. Setelah selesai ia
memberikan kepadaku segumpal kertas yang berisi beberapa keping mata uang.
“Gunakanlah
uang ini untuk keperluanmu,” katanya kepadaku.
Aku
pun lalu bertekad bahwa hadiah yang pertama sekali kuperoleh sejak saat itu
akan kuserahkan kepada si tukang cukur tersebut.
Oleh
sejak saat itu aku menerima sekantong uang emas dari Bashrah. Uang ini
kuberikan kepada tukang cukur itu.
“Apakah
ini?” ia bertanya kepadaku.
“Aku
telah bertekad,” aku menjelaskan. “hadiah yang pertama sekali kuperoleh akan
kuberikan kepadamu. Uang itu baru saja kuterima.”
Tetapi
si tukang cukur menjawab :
“Tidakkah
engkau malu kepada Allah?” Engkau telah mengatakan kepadaku : “Demi Allah,
cukurlah rambutku,” tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku. Pernahkah
engkau menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan demi Allah dan
meminta bayaran?.”
oooOOOooo
Seorang
pencuri telah dihukum gantung di kota Baghdad. Abul Qasim al-Junaid datang dan
mencium kakinya.
“Mengapa
engkau berbuat demikian?.” Orang–orang bertanya kepada Abul Qasim
al-Junaid.
“Semoga
seribu belas kasih Allah dilimpahkan-Nya kepadanya,” jawab Abul Qasim
al-Junaid. “Ia telah membuktikan bahwa dirinya setia di dalam usahanya.
Sedemikian sempurna ia melakukan pekerjaannya sehingga untuk itu direlakannya
hidupnya.”
oooOOOooo
Pada
suatu malam seorang pencuri menyusup masuk ke rumah dan masuk ke kamar Abul Qasim
al-Junaid. Tak sesuatu pun yang ditemukannya kecuali sehelai pakaian. Pakaian
itu diambilnya, seteelah itu ia pergi meninggalkan rumah Abul Qasim al-Junaid.
Keesokan harinya ketika Abul Qasim al-Junaid sedang berjalan-jalan di pasar,
dilihatnya pakaiannya itu di tangan seorang pedagang perantara yang sedang
menawarkan kepada seorang pembeli.
Calon
pembeli itu berkata :
“Sebelum
kubeli pakaian ini aku meminta seseorang yang sanggup memberi kesaksian bahwa
pakaian itu memang kepunyaanmu.”
“Akulah
yang akan memberi kesaksian bahwa pakaian itu adalah miliknya.” Abul Qasim
al-Junaid berkata sambil menghampiri mereka.
Maka
pakaian itu pun terjuallah.
oooOOOooo
Seorang
perempuan tua datang menghadap Abul Qasim al-Junaid dan bermohon, “Puteraku
pergi entah ke mana doa kanlah agar ia kembali.”
“Bersabarlah,”
Abul Qasim al-Junaid menasehati perempuan tua itu.
Dengan
sabar perempuan tua itu menanti beberapa hari lamanya. Kemudian ia kembali
kepada Abul Qasim al-Junaid.
“Bersabarlah,”
Abul Qasim al-Junaid mengulangi nasehatnya.
Kejadian
seperti ini telah beberapa kali berulang. Akhirnya wanita tua itu datang dan
berkata lantang, “Aku sudah tak dapat bersabar lebih lama lagi. Doakanlah
kepada Allah.”
Abul
Qasim al-Junaid menjawab : “Jika engkau berkata dengan sebenarnya, puteramu
tentu telah kembali. Allah berkata : Dialah yang akan menjawab orang
yang berduka apabila orang itu menyeru kepada-Nya.”
Setelah
itu Abul Qasim al-Junaid berdoa kepda Allah. Ketika perempuan sampai di
rumahnya ternyata anaknya telah berada di sana.
oooOOOooo
Seorang
murid mengira bahwa dirinya telah mencapai derajat kesempurnaan.
“Oleh
karena itu lebih baik aku menyendiri,” ia berkata dalam hatinya.
Maka
pergilah ia mengasingkan diri di suatu tempat dan untuk beberapa lamanya
berdiam di sana. Setiap malam beberapa orang yang membawa seekor unta datang
kepadanya dan berkata: “Kami akan mengantarmu ke surga,” Maka naiklah ia ke
atas punggung unta itu dan mereka pun berangkat ke suatu tempat yang indah dan
nyaman, penuh dengan manusia-manusia gagah dan tampan, di mana banyak terdapat
makanan-makanan lezat dan anak-anak sungai. Di tempat itu ia tinggal hingga
fajar, kemudian ia jatuh tertidur dan ketika terjaga ternyata ia berada di
kamarnya sendiri kembali. Karena pengalaman ini, ia menjadi bangga dan angkuh.
“Setiap
malam aku diantarkan ke surga,” ia membanggakan dirinya.
Kata-katanya
ini terdengar oleh Abul Qasim al-Junaid. Abul Qasim al-Junaid segera bangkit
dan datang ke tempat di mana ia mendapatkan muridnya itu sedang berlagak dengan
sangat angkuhnya. Abul Qasim al-Junaid bertanya apakah yang telah dialaminya
dan si murid mengisahkan seluruh pengalamannya ini kepada syeikh.
“Malam
nanti apabila engkau diantarkan ke sana,” Abul Qasim al-Junaid berkata kepada
muridnya itu, “ucapkanlah : “Tiada kekuasaan dan kekuatan kecuali pada Allah
Yang Maha Mulia dan Maha Besar.”
Malam
itu, seperti biasanya si murid diantarkan pula ke tempat tersebut. Dalam
hatinya ia tidak yakin terhadap perkataan syeikh Abul Qasim al-Junaid, tetapi
ketika sampai di tempat itu, sekedar sebagai percobaan ia mengucapkan : Tiada
kekuasaan dan kekuatan..........”.
Sesaat
itu pula orang-orang yang berada di tempat itu meraung-raung dan melarikan
diri. Kemudian terlihatlah olehnya bahwa tempat itu hanyalah tempat pembuangan
sampah sedang dihadapannya berserakan tulang-tulang binatang. Setelah menyadari
kekeliruannya itu, si murid bertaubat dan bergabung dengan murid-murid Abul
Qasim al-Junaid yang lain. Tahulah ia bahwa menyendiri bagi seorang murid
adalah bagaikan racun yang mematikan.
oooOOOooo
Salah
seorang murid Abul Qasim al-Junaid menyendiri di sebuah tempat yang terpencil
di kota Bashrah. Suatu malam, sebuah pikiran buruk terlintas di dalam hatinya.
Ketika ia memandang ke dalam cermin terlihatlah olehnya betapa wajahnya telah
berubah hitam. Ia sangat terperanjat. Segala daya upaya dilakukan untuk
membersihkan wajahnya, tetapi sia-sia. Sedemikian malunya dia sehingga tidak
berani menunjukan mukanya kepada siapa pun. Setelah tiga hari berlalu, barulah
kehitaman wajahnya kembali normal sedekit demi sedikit.
Tiba-tiba
seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Siapakah
itu,” ia bertanya.
“Aku
datang untuk mengantar surat dari Abul Qasim al-Junaid,” sebuah sahutan dari
luar.
Si
Murid membuka surat Abul Qasim al-Junaid.
“Mengapa
tidak engkau jaga tingkah lakumu di hadapan Yang Maha Besar. Telah tiga hari
tiga malam aku bekerja sebagai seorang tukang celup untuk memutihkan kembali
wajahmu yang hitam itu.”
oooOOOooo
Sutu
hari, salah seorang murid Abul Qasim al-Junaid melakukan suatu kesalahan kecil.
Karena malu ia melarikan diri dan tidak mau pulang. Beberapa hari kemudian,
ketika berjalan-jalan dengan sahabt-sahabat di dalam pasar, tiba-tiba
terlihatlah oleh Abul Qasim al-Junaid muridnya itu. Si murid lari karena malu.
“Seekor
burung kita terlepas dari sangkar,” Abul Qasim al-Junaid berseru kepada sahabat-sahabatnya
dan mengejar si murid.
Ketika
menoleh ke belakang, si murid melihat bahwa Syeikh membuntutinya. Maka ia pun
mempercepat larinya. Akhirnya ia bertemu jalan buntu, karena malu ia tetap menghadapkan
mukanya ke tembok. Tak lama kemudian si syeikh telah berada di tempat itu.
“Hendak
ke manakah engkau guru?,” si murid bertanya kepada Abul Qasim al-Junaid.
“Apabila
seseorang membentur dinding, seorang syeikh dapat membeikan bantuannya,” jawab
Abul Qasim al-Junaid.
Murid
itu dibawanya pulang ke Tekkia. Sesampainya di sana si murid menjatuhkan
dirinya di depan kaki sang guru dan memohon ampun kepada Allah. Semua yang yang
menyaksikan pemandangan ini tergugah hatinya, banyak di antara mereka yang ikut
bertaubat.
oooOOOooo
Syeikh
Abul Qasim al-Junaid mempunyai seorang murid yang dicintainya melebihi muridnya
yang lain. Murid-murid lain merasa iri, hal ini disadari oleh syeikh melalui
intuisi mistiknya.
“Sesungguhnya
ia melebihi kalian di dalam tingkah laku dan tingkat pemahamannya,” Abul Qasim
al-Junaid menjelaskan kepada mereka. “Begitulah menurut pendapatku. Tetapi mari
kita membuat sebuah percobaan agar kalian semua menyadari hal itu.”
Kemudian
Abul Qasim al-Junaid memerintahkan agar dua puluh ekor burung dibawakan
kepadanya.
“Ambil
burung-burung ini oleh kalian, seekor seorang,” Abul Qasim al-Junaid berkata
kepada murid-muridnya. “Bawalah burung itu ke suatu tempat yang tak terlihat
oleh siapa pun juga, kemudian bunuhlah. Setelah itu bawalah kembali ke sini.
Setiap
murid pergi dengan membawa seekor burung, membunuh burung itu dan membawa
bangkainya kembali, kecuali murid kesayangan Abul Qasim al-Junaid itu. Ia
pulang dengan membawa seekor burung yang masih hidup.
“Mengapa
tak kau bunuh burungmu itu?.” Abul Qasim al-Junaid bertanya kepadanya.
“Karena
guru mengatakan hal itu harus dilakukan di suatu tempa yang tidak dapat dilihat
oleh siapapun juga,” jawab si murid. “Dan ke mana pun aku pergi, Allah
senantiasa menyaksikannya.”
“Kalian
saksikanlah tingkat pemahamannya!.” Abul Qasim al-Junaid berkata kepada seluruh
muridnya. “Bandingkanlah dengan yang lain-lainnya.”
Semua
murid Abul Qasim al-Junaid segera mohon ampunan Allah.
oooOOOooo
Abul
Qasim al-Junaid mempunyai delapan orang murid istimewa yang melaksanakan setiap
buah pikirannya. Pada suatu hari, terpikirkan oleh mereka bahwa mereka harus
terjun ke perang suci. Keesokan paginya Abul Qasim al-Junaid menyuruh
pelayannya mempersiapkan perlengkapan perang. Beserta ke delapan murid tersebut
ia lalu berangkat ke medan perang.
Ketika
kedua belah pihak yang bertempur saling berhadapan, tampillah seorang satria
perkasa dari pasukan kafir itu, lantas dibinasakannya ke delapan murid Abul
Qasim al-Junaid.
“Aku
menengadah ke langit,” Abul Qasim al-Junaid mengisahkan, “dan di sana terlihat
olehku sembilan buah usungan. Roh masing-masing dari ke delapan muridku yang
syahid itu di angkat ke sebuah usungan; jadi masih ada satu usungan yang
kosong. “Usungan yang masih kosong itu tentulah untukku,” aku berpikir dan
karena itu aku pun mencebur kembali ke dalam kancah pertempuran. Tetapi satria
perkasa yang telah membunuh ke delapan sahabatku itu tampil dan berkata : “Abul
Qasim al-Junaid, usungan yang ke sembilan itu adalah untukku. Kembalilah ke
Baghdad dan jadilah seorang syeikh untuk kaum Muslimin. Dan bawalah aku ke
dalam Islam.”
“Maka
jadilah ia seorang Muslim. Dengan pedang yang telah digunakannya untuk membunuh
ke delapan muridku itu ia pun berbalik membunuh orang-orang kafir dalam jumlah
yang sama. Kemudian ia sendiri terbunuh sebagai seorang syuhada. Rohnya.” Abul
Qasim al-Junaid mengakhiri kisahnya. “ditaruh ke atas usungan yang masih kosong
tadi. Kemudian kesembilan usungan itu menghilang tidak terlihat lagi.”
oooOOOooo
Seorang
sayyid bernama Nairi, sedang melakukan perjalanan ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di Baghdad ia pun pergi mengunjungi Abul
Qasim al-Junaid.
“Dari
manakah engkau datang sayyid?.” Abul Qasim al-Junaid bertanya setelah menjawab
salam.
“Aku
datang dari Ghilan,” jawab sang sayyid..
“Keturunan
siapakah engkau?.” Tanya Abul Qasim al-Junaid.
“Aku
adalah keturunan ‘Ali, pangeran kaum Muslimin, semoga Allah memberkatinya.”
Jawabnya.
“Nenek
moyangmu itu bersenjatakan dua bilah pedang,” ujar Abul Qasim al-Junaid. “Yang
satu untuk melawan orang-orang kafir dan yang lainnya untuk melawan dirinya
sendiri. Pada saat ini, sebagai puteranya, pedang manakah yang engkau
gunakan?.”
Sang
sayyid menangis sedih mendengar kata-kata ini. Di rebahkannya dirinya di depan
Abul Qasim al-Junaid dan berkatalah ia :
“Guru,
di sinilah ibadah hajiku. Tunjukanlah kepadaku jalan menuju Allah.”
“Dadamu
adalah tempat bernaung Allah. Usahakanlah sedaya upayamu agar tidak ada yang
cemar memasuki tempat bernaung-Nya itu.”
“Hanya
itulah yang ingin ku ketahui,” si sayyid berkata.
JUNAID MENINGGAL DUNIA
Keika
ajalnya sudah dekat, Abul Qasim al-Junaid menyuruh sahabat-sahabatnya untuk
membentangkan meja dan mempersiapkan makanan.
“Aku
ingin menghembuskan nafasku yang terakhir ketika sahabat-sahabatku sedang
menyantap seporsi sop.” Abul Qasim al-Junaid berkata.
Kesakitan
pertama menyerang dirinya.
“Berilah
aku air utuk bersuci,” ia meminta kepada sahabat-sahabatnya.
Tanpa
disengaja mereka lupa membersihkan sela-sela jari tangannya. Atas permintaan
Abul Qasim al-Junaid sendiri kekhilafan ini mereka perbaiki. Kemudian Abul
Qasim al-Junaid bersujud sambil menangis.
“Wahai
ketua kami,” murid-muridnya menegurnya. “dengan semua pengabdian dan
kepatuhanmu kepada Allah seperti yang telah engkau lakukan, mengapakah engkau
bersujud pada saat-saat seperti ini?.”
“Tidak
pernah aku merasa perlu bersujud daripada saat-saat ini,” jawab Abul Qasim
al-Junaid.
Kemudian
Abul Qasim al-Junaid membaca ayat-ayat al-Qur’an tanpa henti-hentinya.
“Dan
engkaupun membaca al-Qur’an?.” Salah seorang muridnya bertanya.
“Siapakah
yang lebih berhak daripadaku membaca al-Qur’an, karena aku tahu bahwa sebentar
lagi catatan kehidupanku akan di gulung dan akan kulihat pengabdian dan
kepatuhanku selama tujuh puluh tahun tergantung di angkasa pada sehelai benang.
Kemudian angin bertiuap dan mengayunkan ke sana ke mari, hingga aku tak tahu,
apakah angin itu akan memisahkan atau mempertemukanku dengan-Nya. Di sebelahku
akan membentang tebing pemisah surga dan neraka, dan di sebelah yang lain
malaikat maut. Hakim yang adil akan menantikanku di sana, teguh tak tergoyahkan
di dalam keadilan yang sempurna. Sebuah jalan telah terbentang di hadapanku dan
aku tak tahu kemana aku hendak dibawa.”
Setelah
tamat dengan al-Qur’an yang dibacanya, dilanjutkannya pula tujuh puluh ayat
dari surat al-Baqarah.
Kesakitan
ke dua menyerang Abul Qasim al-Junaid.
“Sebutlah
nama Allah,” sahabat-sahabatnya membisikkan.
“Aku
tidak lupa,” jawab Abul Qasim al-Junaid. Tangannya meraih tasbih dan keempat
jarinya kaku mencengkeram tasbih itu, sehingga salah seorang muridnya harus
melepaskannya.
“Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” Abul Qasim al-Junaid
berseru, kemudian menutup matanya dan sampailah ajalnya.
Ketika
jenazahnya dimandikan, salah seorang yang ikut memandikannya bermasud membasuh
matanya. Tetapi sebuah suara dari langit mencegah : “Lepaskan tanganmu dari
mata sahabat-Ku. Matanya tertutup bersama nama-Ku dan tidak akan dibukakan
kembali kecuali ketika dia menghadap-Ku nanti,” kemudian ia hendak membuka
jari-jari Junaid untuk dibasuhnya. Sekali lagi terdengar suara mencegah :
“Jari-jari yang telah kaku bersama nama-Ku tidak akan dibukakan kecuali melalui
perintah-Ku.”
Ketika
jenazah Abul Qasim al-Junaid diusung, seekor burung dara berbulu putih hinggap
di sudut peti matinya. Percuma saja para sahabat mencoba mengusir burung itu.
Karena ia tak mau pergi. Akhirnya burung itu berkata :
“Janganlah
kalian menyusahkan diri kalian sendiri dan menyusahkan aku. Cakar-cakarku telah
tertancap di sudut peti mati ini oleh paku cinta. Itulah sebabnya aku hinggap
di sini. Janganlah kalian bersusah payah. Sejak saat itu jasadnya dirawat oleh
para malaikat. Jika bukan karena kegaduhan yang kalian buat, niscaya jasad Abul
Qasim al-Junaid telah terbang ke angkasa sebagai seekor elang putih bersama-sama
dengan kami.”
Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar
Tags: riwayat junaid al-baghdadi, syeikh junaid, kisah junaid, kisah junaid al-baghdadi, biografi junaid al-bahgdadi.
Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar
Tags: riwayat junaid al-baghdadi, syeikh junaid, kisah junaid, kisah junaid al-baghdadi, biografi junaid al-bahgdadi.
0 comments:
Posting Komentar