Riwayat Singkat Nabi Muhammad saw

Nama lengkap beliau: Muḥammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, lahir di Mekkah pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal (Mulud) tahun Gajah , atau bertepatan dengan tanggal 20 April 570 Masehi...

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 21 Februari 2016

Ahmad bin Khazruya

AHMAD BIN KHAZRUYA


Abu Hamid bin Khazruya al-Balkhi, seorang warga yang terkemuka di kota Balkh, mempersunting puteri yang shaleh dari gubernur kota itu. Di antara sahabat-sahabat dekatnya adalah Hatim asl-Asham dan Abu Yazid al-Bustham. Ia pergi ke Nishapur dan meninggal dunia tahun 240 H/864 M dalam usia 95 tahun.

AHMAD BIN KHAZRUYA DAN ISTERINYA
Ahmad bin Khazruya mempunyai seribu orang murid yang masing-masing dapat terbang di angkasa dan berjalan di atas air. Ahmad bin Khazruya selalu mengenakan seragam tentara. Isterinya Fatimah merupakan seorang pembimbing ke jalan kesufian. Ia adalah puteri pangeran kota Balkh. Setelah bertaubat, ia mengirim utusan kepada Ahmad bin Khazruya disertai pesan :
“Lamarlah aku kepada ayahku.”
Ahmad bin Khazruya tidak memberi jawaban, kemudian dikirimnya utusan kedua dengan pesan.
“Ahmad bin Khazruya, kusangka engkau lebih berjiwa satria daripada yang sebenarnya. Jadilah seorang pembimbing, jangan jadi seorang pembegal!.”
Maka Ahmad bin Khazruya lalu mengirimkan wakilnya untuk melamar Fatimah kepada ayahnya. Karena menginginkan keridhaan Allah, ayah Fatimah  menyerahkan puterinya kepada Ahmad bin Khazruya. Fatimah meninggalkan segala urusan dunia dan memperoleh ketenangan menyertai Ahmad bin Khazruya di dalam penyepian.
Hari demi hari mereka lalui sehingga suatu ketika Ahmad bin Khazruya bermaksud menemui Abu Yazid, Fatimah ikut serta. Ketika berhadapan dengan Abu Yazid, Fatimah membuka cadar mukanya dan turut berbincang-bincang. Ahmad bin Khazruya kesal menyaksikan kelakuan isterinya itu dan api cemburu membakar dadanya.
Fatimah, alangkah berani sikapmu ketika berhadapan dengan Abu Yazid,” tegur Ahmad bin Khazruya kepada isterinya.
“Engkau mengenal ragaku, tetapi Abu Yazid mengenal batinku. Engkau membangkit hasratku, tetapi Abu Yazid mengantarkan aku kepada Allah. Buktinya, Abu Yazid dapat hidup tanpa kutemani tetapi engkau senantiasa membutuhkan kehadiranku, jawab Fatimah.
Sikap Abu Yazid terhadap Fatimah tidak canggung. Suatu hari terlihatlah olehnya jari-jari tangan Fatimah yang berinai. Abu Yazid lalu berkata :
“Fatimah, mengapakah engkau mencat jari-jari tanganmu?”
“Abu Yazid, sebelumnya engkau tak pernah memperhatikan jari-jari tanganku yang berinai ini, karena inilah aku tak merasa canggung terhadapmu. Kini, setelah engkau memperhatikan tanganku, tak pantas lagi aku bergaul denganmu,” sela Fatimah.
Mendengar ini Abu Yazid tak mau kalah : “Aku telah meminta kepada Allah agar wanita-wanita yang terpandang oleh ku tidak lebih menggairahkan hatiku daripada dinding. Dan demikianlah yang diperbuat-Nya terhadap diri mereka dalam pandangan mataku.”
Setelah itu Ahmad bin Khazruya dan Fatimah berangkat ke Nishapur. Di sana mereka mendapat sambutan yang hangat. Suatu waktu, Yahya bin Mu’adz singgah di Nishapur sebelum meneruskan perjalanannya menuju Balkh. Ahmad bin Khazruya bermaksud menyelenggarakan pesta pesta menyambut kedatangannya, ia pun meminta pendapat Fatimah.
“Apakah yang kita perlukan untuk pesta penyambutan Yahya?.”
“Beberapa ekor lembu dan domba” jawab Fatimah, “Perlengkapan-perlengkapan, lilin-lilin dan minyak mawar. Di samping itu kita masih membutuhkan beberapa ekor keledai.”
“Apabila ada seorang pejabat yang datang untuk bersantap maka anjing-anjing tetangga pun harus mendapat bagian juga”, jawab Fatimah.
Demikianlah semangat kekesatriaan sejati Fatimah, karena itulah Abu Yazid pernah berkata :
“Jika ada yang ingin menyaksikan seorang laki-laki sejati yang bersembunyi di balik pakaian perempuan, pandanglah Fatimah!.”

AHMAD BIN KHAZRUYA BERGUMUL DENGAN BATINNYA SENDIRI
Ahmad bin Khazruya berkisah sebagai berikut :
Telah lama sekali aku menindas hawa nafsuku. Suatu hari orang-orang berangkat ke medan perang, khasratku pun timbul menyertai mereka. Batinku membisikan beberapa hadits yang menjelaskan pahala-pahala akhirat bagi yang berjuang di jalan Allah. Aku terheran-heran dan berkata dalam hati :
“Batinku biasanya tidak gampang mematuhi kehendakku. Tak seperti sekarang ini. Mungkin hal ini karena aku senantiasa berpuasa sehingga batinku tak dapat lagi menanggung lapar lebih lama dan ingin agar aku menghentikan puasaku.
Aku lalu membulatkan tekad, “Aku akan berpuasa terus menerus selama perjalanan.”
“Aku sangat setuju,” jawab batinku.
“Mungkin batinku berkata demikian karena aku bisa melaksanakan shalat di sepanjang malam dan ingin agar aku tidur dan beristirahat di malam hari.”
“Aku tidak akan tidur sebelum fajar,” tekadku pula.
“Aku sangat setuju,” jawab batinku.
Aku semakin terheran-heran. Kemudian terpikirlah olehku bahwa mungkin batinku berkata demikian karena ingin bergaul dengan orang ramai, jemu dalam kesepian dan membutuhkan hiburan.
Maka aku pun bertekad : “Kemana pun aku pergi, aku akan menyendiri dan tidak akan berkumpul bersama orang lain.
“Aku setuju sekali.” Batinku malah menyetujuinya pula.
Habislah sudah dayaku. Dengan segala kerendahan hati aku memohon kepada Allah semoga Dia berkenan menunjukan kepadaku tipu daya batinku, atau memaksa batinku untuk mengaku secara terus terang kepadaku. Maka berkatalah batinku kepadaku.
“Setiap hari dengan menindas segala keinginanku, engkau akan terbunuh, aku bebas dan seluruh dunia akan gempar dengan berita “Ahmad bin Khazruya” yang gagah perkasa telah mati terbunuh dengan mahkota syuhada di atas kepalanya.”
“Maha besar Allah yang menciptakan batin  yang munafik, baik selagi hidup maupun sesudah mati. Engkau bukanlah seorang Muslim sejati di dunia ini maupun di akhirat nanti. Aku sangka engkau ingin mentaati Allah, rupanya engkau hanya sekedar mengencangkan ikat pinggangmu,” seruku.
Sejak saat itu, aku lipat gandakan perjuangganku melawan batinku sendiri.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI AHMAD BIN  KHAZRUYA
Seorang pencuri berhasil masuk ke dalam rumah Ahmad bin Khazruya. Setiap sudut telah diperiksanya tetapi tak satupun yang ditemukannya. Dengan rasa putus asa ia hendak meninggalkan tempat itu, Ahmad bin Khazruya memanggilnya.
“Anak muda, ambillah ember itu, timbalah air dalam sumur itu, kemudian bersucilah dan shalat. Jika nanti ku dapatkan sesuatu, akan ku berikan kepadamu supaya engkau tidak meninggalkan rumah ini dengan tangan kosong.
Anak muda itu berbuat seperti yang disarankan Ahmad bin Khazruya. Ketika hari telah siang, seorang lelaki membawa seratus dinar emas untuk syeikh Ahmad bin Khazruya.
“Ambillah uang ini untuk ganjaran shalatmu tadi malam.” Ahmad bin Khazruya berkata kepada si pencuri. Sesaat itu juga tubuhnya gemetar, ia menangis dan berkata :
“Aku telah memilih jalan yang salah. Baru satu malam berbakti kepada Allah, sudah sedemikian banyaknya karunia yang dilimpahkan-Nya kepadaku.”
Si pencuri bertaubat dan kembali ke jalan Allah. Ia tidak mau menerima dinar emas tersebut dan kemudian ia menjadi salah seorang murid Ahmad bin Khazruya.
oooOOOooo
Suatu ketika Ahmad bin Khazruya mengenakan pakaian compang camping lalu mampir di persinggahan para sufi. Sebagai seorang sufi, sepenuh hati ia membaktikan diri dengan kewajiban-kewajiban spiritual. Tetapi para sufi yang berada di persinggahan itu meragukan ketulusan Ahmad bin Khazruya.
“Orang ini tidak tingggal di persinggahan ini.” Mereka berbisik kepada syeikh mereka.
Pada suatu hari Ahmad bin Khazruya pergi ke sumur dan timbanya terjatuh. Para sufi di tempat itu mencaci maki Ahmad bin Khazruya. Ahmad bin Khazruya segera berkata kepada ketua mereka dan berkata kepadanya.
“Bacalah Fatihah agar timba yang terjatuh itu keluar dari dalam sumur.”
“Permintaan apakah ini?.” Seru sang syeikh dengan heran.
“Jika engkau tidak mau, izinkanlah aku yang membacakannya,”
Syeikh lalu memberikan izin, Ahmad bin Khazruya membacakan fathihah dan timba itupun muncullah ke permukaan air. Menyaksikan kejadian ini si syeikh melepaskan topinya dan bertanya :
“Anak muda, siapakah engkau ini sebenarnya sehingga gudang gandumku hanya seperti dedak dibanding dengan sebutir gandum mu?.”
Ahmad bin Khazruya menjawab, “Sampaikan kepada sahabat-sahabatmu agar mereka menghargai musafir.”
oooOOOooo
Seorang lelaki mendatangi Ahmad bin Khazruya dan berkata : “Aku sakit dan miskin. Ajarilah aku suatu cara sehingga aku terlepas dari cobaan-cobaan ini.”
“Tuliskanlah setiap macam usaha yang engkau ketahui di atas secarik kertas. Taruhlah kertas itu di dalam sebuah kantong dan bawalah kantong itu kepadaku,” jawab Ahmad bin Khazruya.
Lelaki itu menuliskan setiap macam usaha pada sehelai kertas lalu ia masukan ke dalam sebuah kantong, kemudian di berikannya kepada Ahmad bin Khazruya. Ahmad bin Khazruya memasukan tangannya ke dalam kantong itu dan mengeluarkan secarik kertas. Ternyata di atas kertas itu tertulis perkataan “merampok”.
“Engkau harus menjadi seorang perampok,” ujar Ahmad bin Khazruya.
Lelaki itu terheran-heran, namun ia segera meninggalkan tempat itu dan bergabung dengan sekawanan perampok.
“Aku suka melakukan pekerjaan seperti ini, tetapi apakah yang harus ku lakukan?” tanyanya kepada mereka.
“Ada satu peraturan yang harus ditaati di dalam pekerjaan seperti ini,” perampok-perampok itu menerangkan. “Apa pun pekerjaan yang kami perintahkan kepadamu, harus engkau laksanakan.”
“Akan ku taati perintah kalian.” Ia meyakinkan para perampok itu.
Beberapa hari ia bergabung dengan mereka. Pada suatu hari lewatlah sebuah kafilah. Perampok-perampok itu menghadang, dan membawa salah seorang kafilah itu, yaitu seorang yang kaya raya kepada sahabat baru mereka.
“Potong lehernya,” perintah mereka.
Lelaki itu tertegun. Iapun berkata dalam hati “Kepala perampok ini telah membunuh banyak manusia. Lebih baik jika dia sendirilah yang ku bunuh daripada saudagar ini.”
“Jika engkau menghendaki pekerjaan ini, taatilah perintah kami,” kepala perampok itu berkata kepadanya. “Jika tidak, pergilah dari sini da carilah pekerjaan lain.”
“Jika harus mentaati perintah, maka perintah Allah-lah yang harus ku taati, bukan perintah perampok-perampok,” lelaki itu berkata sambil menghunus pedangnya dan melayangkannya ke leher kepala perampok, dia lepaskan saudagar tersebut dan melayanglah kepala ketua perampok itu. Melihat ini perampok-perampok lain segera mengambil langkah seribu, barang-barang rampasan kafilah itu mereka tinggalkan dan saudagar itu selamat. Si saudagar memberinya emas dan perak sedemikian banyaknya sehingga ia dapat hidup dengan tenang sesudahnya.
oooOOOooo
Pada suatu ketika Ahmad bin Khazruya menjamu seorang guru sufi. Untuk  itu Ahmad bin Khazruya menyalakan tujuh puluh batang lilin. Melihat pelayanan yang mewah ini, si guru sufi mencela.
“Aku tak senang menyaksikan semua ini. Tetek bengek seperti ini tidak ada hubungannya dengan sufisme.”
Ahmad bin Khazruya menjawab : “Jika demikian padamkanlah lilin-lilin yang telah kunyalakan bukan karena Allah.”
Sepanjang malam si guru sufi sibuk menyiramkan air dan pasir tetapi tak satupun di antara ketujuh puluh lilin itu dapat dipadamkannya. Keesokan harinya Ahmad bin Khazruya berkata kepada si guru sufi,
“Mengapa engkau begitu terheran-heran. Mari ikutilah aku, akan kutunjukan hal yang benar-benar menakjubkan.”
Mereka lalu pergi dan sampai di pintu sebuah gereja. Ketika melihat Ahmad bin Khazruya beserta sahabat-sahabatnya, pengurus gereja itu mempersilahkan mereka masuk. Kemudian ia mempersiapkan jamuan di atas meja dan mempersilahkan Ahmad bin Khazruya bersantap.
“Orang-orang yang bermusuhan tidak bersantap bersama-sama,” ujar Ahmad bin Khazruya.
“Jika demikian, Islamkanlah kami,” jawab kepala pengurus gereja itu.
Ahmad bin Khazruya mengIslamkan mereka yang semuanya berjumlah tujuh puluh orang itu. Pada malam itu Ahmad bin Khazruya bermimpi dan di dalam mimpi itu Allah berkata kepadanya :
“Ahmad, engkau telah menyalakan tuju puluh lilin untuk-Ku dan karena itu untukmu Ku nyalakan tujuh puluh jiwa dengan api iman.”


Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar


Malaikat Kiraman Katiban

Malaikat Kiraman Katiban


Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa setiap manusia selalu disertai oleh dua malaikat, yaitu satu malaikat yang berada di sebelah kanannya sebagai pencatat segala amal kebaikan tanpa disaksikan yang lain. Dan malaikat yang kedua berada di sebelah kirinya sebagai pencatat segala amal kejahatannya dan tidaklah dicatat segala amal kejelekan tersebut sebelum disaksikan malaikat yang berada di sebelah kanan. Apabila seorang manusia sedang duduk, maka malaikat yang satu berada di sebelah kanannya dan malaikat yang satu lagi berada di sebelah kirinya. Apabila seorang manusia sedang berjalan, maka malaikat yang satu berada di mukanya, dan yang satunya lagi berada di belakangnya. Dan apabila seorang manusia sedang tidur, maka malaikat yang satu berada di atas kepalanya dan yang satunya lagi berada di bawah kakinya.

Disebutkan pula dalam hadits yang lain, bahwa ada lima malaikat yang serupa dengan dua malaikat tersebut. Yaitu dua malaikat yang selalu menyertai manusia di malam hari, dua malaikat yang selalu menyertai di siang hari, dan satu malaikat lagi tidak terpisahkan dari seorang manusia.

Hal ini diterangkan dalam Al Quran surat Ar-Ra’d:11 yang artinya sebagai berikut: “Bagi manusia selalu ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah”.

Maksud dari firman Allah tersebut adalah malaikat yang menyertai manusia, jin serta syetan pada waktu siang dan malam. Sedangkan dua malaikat yang mencatat amal kebaikan dan kejahatan berada di antara dua bahu manusia. Lidah sebagai pena bagi kedua malaikat tersebut, mulut sebagai tempat tintanya, dan air ludah sebagai tintanya. Kedua malaikat tersebut mencatat amal perbuatan setiap manusia sampai waktu ajalnya.

Ada sebuah hadits yang diriwayatkan Nabi Muhammad saw beliau bersabda; “Sesungguhnya pencatat amal perbuatan pada sebelah kanan dipercayai oleh pencatat amal perbuatan sebelah kiri yang mencatat amal kejelekan seorang hamba. Dan ketika seorang hamba melakukan kejelekan di saat malaikat sebelah kiri akan mencatat kejelekannya, maka malaikat yang sebelah kanan berkata, “Tahanlah dulu sebentar”. Lalu malaikat yang sebelah kiri menahan hingga 7 jam. Apabila hamba tersebut memohon ampun kepada Allah SWT, maka malaikat yang sebelah kiri tidak akan mencatat kejelekannya. Dan apabila hamba tersebut tidak memohon ampun kepada Allah SWT selama 7 jam itu, maka malaikat yang sebelah kiri akan mencatat amal kejelekannya”.

Jika telah dicabut ruh dari jasad seorang hamba, kemudian jasad tersebut diletakkan di dalam kubur, maka malaikat kiraman katibin berkata: “Ya Tuhan kami, telah Engkau serahkan hamba-Mu kepada kami, telah kami tulis segala amal perbuatannya dan Engkau cabut ruhnya, maka izinkanlah kami naik ke langit.” Lalu Allah berfirman, “Langit ini telah dipenuhi oleh para malaikat yang sama-sama mebaca tasbit, maka kembalilah kalian berdua dan bacalah tasbih untukku di atas kubur hamba-Ku, bacalah takbir dan tahlil serta tulislah semua itu untuk nya…”


Disadur dari Misteri Malam Pertama di Alam Kubur karya Abu Khalid MA.

Minggu, 14 Februari 2016

Sari As-Saqathi

SARI AS-SAQATHI

 Orang-orang mengatakan bahwa Abul Hasan Sari bin al-Mughallis as-Saqathi adalah murid Ma’rufak-Karkhi dan paman Junaid. Ia adalah seorang tokoh sufi yang terkemuka di Baghdad dan pernah mendapat tantangan dari Ahmad bin Hambali. Mula-mula ia mencari nafkah dengan berdagang barang-barang bekas dan ia meninggal pada tahun 253 H/867 M. Dalam usia 98 tahun.

KEHIDUPAN SARI AS. SAQATHI                                   
Sari as-Saqathi adalah orang yang pertama sekali mengajarkan kebenaran mistik dan “Peleburan” sufi di kota Baghdad. Kebanyakan syeikh-syeikh sufi di negeri Irak adalah murid-murid Sari as-Saqathi. Ia adalah paman Junaid dan murid Ma’ruf al-Karkhi. Ia juga pernah bertemu dengan Habib ar-Ra’i.
Pada mulanya Sari as-Saqathi tinggal di kota Baghdad di mana ia mempunyai sebuah toko. Setiap hari apabila hendak shalat, digantungkannya sebuah tirai di depan pintu tokonya.
Pada suatu hari datanglah seseorang dari gunung Lukam mengunjunginya. Dengan menyibakkan tirai itu ia mengucapkan salam kepada Sari as-Saqathi dan berkata :
“Syeikh dari Gunung Lukam mengirim salam kepadamu.”
Sari as-Saqathi menyahut : “Si syeikh hidup menyepi di atas gunung dan oleh karena itu segala jerih payahnya tidak bermanfaat. Seorang manusia harus dapat hidup di tengah keramaian dan mengkhusukkan diri kepada Allah sehingga kita tidak pernah lupa kepada-Nya walau sesaatpun.”
Diriwayatkan, di dalam berdagang itu Sari as-Saqathi tidak pernah menarik keuntungan melebihi lima persen. Pada suatu ketika Sari as-Saqathi membeli buah badam seharga enam puluh dinar. Pada waktu harga buah badam sedang naik, seorang pedagang perantara datang menemui Sari as-Saqathi.
“Buah-buah badam ini hendak kujual,” Sari as-Saqathi berkata kepadanya.
“Berapakah harganya?.” Tanya si perantara.
“Enampuluh enam dinar.”
“Tetapi harga buah badam pada saat ini sembilan puluh dinar.” Si perantara berkeberatan.
“Sudah menjadi peraturan bagi diriku untuk tidak menarik keuntungan lebih dari lima persen. “ jawab Sari as-Saqathi, dan aku tidak akan melanggar peraturan sendiri.”
“Dan aku pun tidak merasa pantas untuk menjual barang-barangmu dengan harga kurang dari sembilan puluh dinar,” sahut si pedagang perantara.
Akhirnya si perantara tidak jadi menjualkan buah-buahan Sari as-Saqathi.
oooOOOooo
Pada mulanya Sari as-Saqathi menjual barang-barang bekas. Pada suatu hari pasar kota Baghdad terbakar.
“Pasar terbakar!,” orang-orang berteriak.
Mendengar teriakan-teriakan itu berkatalah Sari as-Saqathi : “Bebaslah aku sudah!.”
Setelah api reda ternyata toko Sari as-Saqathi tidak termakan api. Ketika mendapatkan kenyataan ini Sari as-Saqathi menyerahkan segala harta bendanya kepada orang-orang miskin. Kemudian ia mengambil jalan kesufian.
oooOOOooo
“Apakah yang menyebabkan engkau menjalani kehidupan spiritual ini,” seseorang bertanya kepada Sari as-Saqathi.
Sari as-Saqathi menjawab:
“Pada suatu hari Habib ar-Ra’i lewat di depan tokoku. Kepadanya kuberikan sesuatu untuk disampaikan kepada orang-orang miskin. “Semoga Allah memberkahi engkau,” Habib ar.Ra’i mendoakan diriku. Setelah ia mengucapkan doa itu dunia ini tidak menarik hatiku lagi.”
“Keesokan harinya datanglah Ma’ruf Karkhi beserta seorang anak yatim. “Berikanlah pakaian untuk anak ini,” pinta Ma’ruf kepadaku. Maka anak itu pun kuberi pakaian. Kemudian Ma’ruf berkata : “Semoga Allah membuat hatimu benci kepada dunia ini dan membebaskanmu dari pekerjaan ini,”. Karena kemakbulan doa Ma’ruf itulah aku dapat meninggalkan semua harta kekayaan di dunia ini.”
SARI AS-SAQATHI DAN SEORANG ANGGOTA ISTANA
Pada suatu hari ketika Sari as-Saqathi sedang memberikan ceramah. Salah seorang di antara sahabat-sahabat dekat khalifah, Ahmad Yazid si juru tulis lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi oleh para hamba dan pelayan-pelayannya.
“Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya,” kata Yazid kepada para pengiringnya. “Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi.” Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sari as-Saqathi.
Sari as-Saqathi berkata : “Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga malaekat-malaekat sendiri iri kepadanya. Jika ia jahat, maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa.”
Kata-kata ini bagaikan anak panah dibidikan Sari as-Saqathi ke jantung Ahmad. Ahmad menangis dengan sedihnya, sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah sadar ia masih menangis, Ahmad bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Sari as-Saqathi berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang  ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sari as-Saqathi.
“Guru,” ucap Ahmad kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukanlah kepadaku jalan yang ditempuh para khalifah.”
“Jalan manakah yang engkau inginkan,” tanya Sari as-Saqathi. “Jalan para sufi atau jalan hukum? Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?.”
“Tunjukan kedua jalan itu kepadaku,” Yazid meminta kepada Sari as-Saqathi. Maka berkatalah Sari as-Saqathi :
“Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah shalat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah zakat, Jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap dua puluh dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan, berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terperosok ke dalam perangkap-pereangkapnya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah terima. Demikianlah kedua jalan tersebut.”
Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang belantara. Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sari as-Saqathi dan berkata :
“Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putera yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa hari ini ia tidak pulang  dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia. Tolong, lakukanlah sesuatu untuk diriku.”
Permohonan wanita tua itu  menggugah hati Sari as-Saqathi. Maka berkatalah ia: “Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya.”
Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad kembali kepada Sari as-Saqathi. Sari as-Saqathi memerintahkan kepda pelayannya, “Kabarkanlah kepada ibunya,” Kemudian ia memandang Ahmad. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.
“Wahai guru yang budiman,” Ahmad bekata kepada Sari as-Saqathi, “Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamaian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, Aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugrahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan akhirat.”
Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan isterinya Ahmad masuk. Mereka juga membawa puteranya yang masih kecil. Ketika si Ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya, ia pun menubruk dada Ahmad. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sari as-Saqathi sendiri pun tidak dapat menahan air matanya. Si anak merebahkan diri ke haribaan ayahnya. Tetapi betapapun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau pulang ke rumah.
“Wahai imam kaum Muslimin, “ Ahmad berseru kepada Sari as-Saqathi, “Mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada meraka?” Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku.”
Sari as-Saqathi menjawab : “Ibumu terus menerus memohon seihingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau datang.”
Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir, isterinya meratap : “Belum lagi mati, engkau telah membuatku jadi janda dan puteramu jadi yatim. Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan ku lakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu.”
“Baiklah,” jawab Ahmad.
Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya dan digantinya dengan bulu domba. Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anak itu :
“Sekarang pergilah engkau seorang diri.”
Melhat hal ini si isteri menjerit : “Aku tidak sampai hati membiarkannya,” dan anak itu ditariknya ke dalam dekapnnya.
“Aku memberikan kuasa kepadamu,” kata Ahmad kepada isterinya, “Jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian.”
Maka kembalilah Ahmad ke padang belantara. Bertahun-tahun telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat ‘Isa, seseorang mendatangi Sari as-Saqathi di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sari as-Saqathi :
“Ahmad mengutus aku untuk menjumpai engkau. Ia berpesan, “Hidupku hampir berakhir. Tolonglah aku.”
Sari as-Saqathi pergi ke tempat Ahmad. Ia menemukan Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di dalam sebuah pemakaman. Ia sedang menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak.  Sari as-Saqathi mendengar bahwa Ahmad sedang membacakan ayat yang berbunyi : “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para pekerja,” Sari as-Saqathi mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan mendekapkan ke dadanya. Ahmad membuka matanya, terlihatlah olehnya sang Syeikh, dan berkatalah ia :
“Guru, engkau datang tepat pada waktunya. Hidupku akan berakhir sesaat lagi.”
Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Sambil menangis Sari as-Saqathi kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan-urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ini ia menyaksikan orang ramai berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota.
“Hendak ke manakah kalian?” Sari as-Saqathi bertanya kepada mereka.
“Tidak tahukah engkau?” jawab mereka. “Kemarin malam terdengar sebuah seruan dari atas langit : “Barang siapa ingin menshalatkan jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SARI
Junaid meriwayatkan sebagai berikut :
Pada suatu hari aku mengunjungi Sari as-Saqathi dan kutemui ia sedang mencucurkan air mata. Aku bertanya kepadanya. “Apakah yag telah terjadi?.”
Sari as-Saqathi menjawab : “Aku telah berniat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan. Di dalam mimpi aku bertemu dengan seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia amenjawab : “Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi,”. Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah. Saksikanlah olehmu sendiri!.”
Kulihat pecahan-pecahan kendi yang berserakan di atas tanah. Pecahan-pecahan itu dibiarkan saja di situ untuk waktu yang lama.
oooOOOooo
Dalam kisah lain Junaid meriwayatkan, “Pada suatu malam aku tertidur nyenyak. Ketika aku terjaga, batinku mendesak agar aku pergi ke Masjid Syuniziyah. Maka pergilah aku. Tetapi di depan masjid itu terlihatlah olehku seseorang yang berwajah ssangat menakutkan. Aku menjadi gentar. Orang itu menegurku :
“Junaid, takutkah engkau kepadaku?.”
“Ya,’ jawabku.
“Seandainya engkau mengenal Allah sebagaimana yang seharusnya, niscaya tak ada sesuatu pun yang engkau takutkan selain dari pada Dia.”
“Siapakah engkau?.” Aku bertanya.
“Iblis,” jawabnya.
“Aku pernah ingin bertemu dengan engkau,” aku berkata kepadanya.
“Bagaimana engkau berpikir tentang aku, tanpa engkau sadari engkau lupa kepada Allah. Apapun maumu untuk bertemu dengan aku?.” Tanya si iblis.
“Ingin kutanyakan kepadamu, apakah engkau dapat memperdayakan orang-orang miskin?”
“Tidak,” jawab si iblis.
“Mengapakah?” demikian?.”
Si iblis menjawab : “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat. Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi.”
“Dapatkah engkau melihat manusia-manusia yang tak dapat engkau perdayakan?.”
“Ya, aku melihat mereka,” jawab si iblis, “dan apabila mereka berada di dalam keadaan ekstase, dapatlah kulihat sumber keluh kesah mereka itu.”
Setelah berkata demikian, si iblis menghilang. Aku masuk ke dalam masjid dan di sana ku dapati Sari as-Saqathi yang sedang menekurkan kepala ke atas kedua lututnya.
“Dia telah berdusta, seteru Allah itu,” Sari as-Saqathi berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau disayangi Allah untuk diperlihatkan kepada iblis.”
oooOOOooo
Sari as Saqathi mempunyai seorang saudara perempuan yang pernah meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya.
 Hidupku tidak patut diperlakukan seperti itu,” Sari as-Saqathi berkata kepada saudara perempuannya itu.
Pada suatu hari ia masuk kamar Sari as-Saqathi dan terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu.
“Sari as-Saqathi, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak familimu.

Sari as-Saqathi menjawab. “Jangan engkau salah sangka. Dia adalah penduduk alam kubur. Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak. Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku.”
Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar

Tags:
Riwayat Sari as-Saqathi, sari assaqathi, kisah sari assaqathi, kisah singkat sari assaqathi, cerita sari assaqothi, kata-kata hikmah sari assaqathi, sari assaqathi dari kitab tadzkirotul auliya, warisan para auliya, warisan para auliya sari as-saqathi .


Minggu, 07 Februari 2016

Ma'ruf Al-Karkhi

MA’RUF AL-KARKHI


Diriwayatkan bahwa kedua orang tua Abu Mahfuzh Ma’ruf bin Firuz al-Karkhi, adalah penganut agama Kristen. Pengisahan seorang imam Syiah yang bernama ‘Ali bin Musa ar –Razi mengenai bagaimana Ma’ruf sampai memeluk agama Islam umumnya kurang dipercayai. Ma’ruf adalah seorang tokoh sufi yang terkemuka di Baghdad. Ia meninggal dunia pada tahun 200H/815 M.

MENGAPA MA’RUF AL KARKHI MENGANUT AGAMA ISLAM?

Kedua orang tua Ma’ruf al-Karkhi beragama Kristen. Di sekolah, gurunya pernah berkata: “Tuhan adalah yang ketiga dari yang ketiga.”

Ma’ruf al-Karkhi membantah : “Tidak, Tuhan itu adalah Allah Yang Esa.”

Si Guru memukul Ma’ruf al-Karkhi, tetapi ia tetap dengan bantahannya. Pada suatu hari kepala sekolah memukul Ma’ruf al-Karkhi habis-habisan. Karena itu Ma’ruf al-Karkhi melarikan diri dan tidak seorang pun tahu ke mana perginya. Kedua orang tua Ma’ruf al-Karkhi berkata :

“Asalkan dia mau pulang, agama apa pun yang hendak dianutnya akan kami anut pula.”

Ma’ruf al-Karkhi menghadap ‘Ali bin Musa ar-Razi yang kemudian membimbingnya ke dalam Islam. Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu hari Ma’ruf al-Karkhi pulang dan mengetuk pintu rumah orang tuanya.

“Siapakah itu?” tanya kedua orang tuanya.

“Ma’ruf,” jawabnya.

“Agama apakah yang telah engkau anut?.”

“Agama Muhammad Rasulullah.”

Ayah bundahnya segera menganut agama Islam pula.

oooOOOooo

Setelah itu Ma’ruf al-Karkhi belajar di bawah bimbingan Daud at-Ta’i dan menjalani disiplin diri yang keras. Terbuktilah bahwa ia sedemikian taat beragama dan mempraktekkan disiplin yang sedemikian kerasnya sehingga ketabahannya itu menjadi termasyhur ke mana-mana.

Muhammad bin Manshur at-Tusi meriwayatkan pertemuannya dengan Ma’ruf al-Karkhi di kota Baghdad. “Kulihat di wajahnya ada goresan bekas luka. Aku bertanya kepadanya: Kemarin aku bersamamu tetapi tidak terlihat oleh ku bekas luka ini. Bekas apakah ini?” Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Jangan hiraukan segala sesuatu yang  bukan urusanmu. Tanyakanlah hal-hal yang berfaedah bagi dirimu. Tetapi aku terus mendesak Ma’ruf al-Karkhi: Demi hak Allah yang kita sembah, jelaskanlah kepadaku.

Maka berkatalah Ma’ruf al-Karkhi : “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekkah dan mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul. Ketika hendak minum di sumur zamzam aku tergelincir dan mukaku terbentur ke sumur itu. Itulah yang menyebabkan bekas luka itu.”

Pada suatu ketika Ma’ruf al-Karkhi turun ke sungai Tigris dengan maksud hendak bersuci. Al-Qur’an dan sajadahnya tertinggal di masjid. Seorang wanita tua masuk ke masjid, mengambil dan membawa kabur Al-Qur’an beserta sajadah itu. Ma’ruf al-Karkhi segera mengejarnya. Setelah wanita itu tersusul, sambil menundukkan kepala agar tidak sampai memandang wajah wanita itu, Ma’ruf al-Karkhi bertanya :

“Apakah engkau mempunyai seorang putera yang dapat membaca Al-Qur’an?.”

“Tidak”, jawab wanita itu.

“Kalau begitu, kembalikanlah al-Qur’an itu kepadaku. Sajadah itu biarlah untukmu.

Perempuan itu terheran-heran akan kemurahan hati Ma’ruf al-Karkhi, maka baik al-Qur’an maupun sajadah itu diserahkannya kembali.

Tetapi Ma’ruf al-Karkhi mendesak : “Tidak, ambillah sajadah ini. Sajadah ini adalah hakmu yang halal..”

Si wanita bergegas meninggalkan tempat itu dengan perasaan malu dan tak habis pikir.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI MA’RUF

Pada suatu hari ketika Ma’ruf al-Karkhi berjalan bersama murid-muridnya, mereka bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke tujuan yang sama. Di sepanjang perjalanan sampai ke sungai Tigris anak-anak muda itu menunjukkan tingkah laku yang memuakkan.

Sahabat-sahabat Ma’ruf al-Karkhi mendesaknya : “Guru, mintalah kepada Allah Yang Maha Besar untuk membenamkan mereka semua sehingga bumi  ini bersih dari kehadiran mereka yang menjijikkan.”

Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Tengadahkanlah tangan kalian!.”

Setelah itu berdoalah Ma’ruf al-Karkhi: “Ya Allah, karena Engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di atas dunia ini, maka berikan pulalah mereka kebahagiaan di akhirat nanti.” Sahabat-sahabat Ma’ruf al-Karkhi terheran-heran dan berkata :

“Guru, kami tak mengetahui rahasia yang terkandung di dalam doamu itu.”

Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Dia, kepada siapa aku berdoa tadi, mengetahui rahasianya. Tunggulah sebentar. Sesaat ini juga rahasia itu akan terbuka.”

Ketika remaja-remaja itu melihat syeikh Ma’ruf al-Karkhi, mereka segera memecahkan kecapi-kecapi mereka dan menumpahkan anggur yang sedang mereka minum. Dengan tubuh gemetar mereka menjatuhkan diri di depan syeikh dan bertaubat.

Kemudian Ma’ruf al-Karkhi berkata kepda sahabat-sahabatnya. “Kalian saksikan betapa kehendak kalian telah dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang jua-pun.”

oooOOOooo

Pada suatu hari raya terlihat olehku Ma’ruf al-Karkhi sedang memungut biji-biji kurma.

“Apakah yang sedang engkau lakukan?.”

Aku bertanya kepadanya.

“Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Tadi aku menemui seorang anak yang sedang menangis. Aku bertanya kepadanya. “Apakah yang engkau tangiskan?.” Anak itu menjawab : “Aku seorang anak yatim piatu, tiada punya ayah bunda. Anak-anak lain mempunyai pakaian baru, tetapi aku tidak. Anak-anak lain mempunyai kacang, tetapi aku tidak.” Maka biji-biji kurma ini ku kumpulkan untuk ku jual dan uangnya untuk membeli kacang sehingga ia dapat bersuka-suka dan bermain-main seperti anak-anak lain.”

Aku pun berkata : “Serahkanlah hal ini kepadaku dan tak usahlah engkau bersusah payah.”
Sari melanjutkan kisahnya : “Anak itu ku bawa pulang dan ku berikan pakaian. Kemudian ku belikan kacang dan ku bessarkan hatinya. Seketika itu juga terlihatlah oleh ku cahaya terang benderang yang memancar dari dalam lubuk hatiku dan aku sangat berbahagia.”

oooOOOooo

Ma’ruf al-Karkhi mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur di suatu kota. Pada suatu hari ketika si paman lewat di sebuah padang, ia melihat Ma’ruf al-Karkhi sedang makan roti. Di depan Ma’ruf al-Karkhi ada seekor anjing. Secara berganti-ganti Ma’ruf al-Karkhi memasukan sekerat roti ke mulutnya sendiri dan ke mulut anjing itu. Menyaksikan perbuatannya itu si paman berseru :
” Tidak malukan engkau memakan roti bersama-sama dengan seekor anjing?.”

Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Karena mempunyai rasa malulah aku memberikan roti kepada yang miskin.”

Kemudian Ma’ruf al-Karkhi menengadahkan kepalanya dan memanggil seekor burung yang sedang terbang di angkasa. Si burung menukik, hinggap di tangannya, sedang sayap-sayapnya menutupi kepala dan mata Ma’ruf al-Karkhi. Setelah itu Ma’ruf al-Karkhi berkata kepada pamannya.
“Jika seseorang malu terhadap Allah, maka segala sesuatu akan malu terhadap dirinya.”
Mendengar kata-kata ini si paman terdiam dan tak dapat berkata apa-apa.

oooOOOooo

Pada suatu hari wudhu Ma’ruf al-Karkhi batal. Segera ia bersuci dengan pasir. Melhat hal ini orang-orang menegurnya :

“Lihatlah, di situ  sungai Tigris, tetapi mengapakah engkau bersuci dengan pasir?.”

Ma’ruf al-Karkhi menjawab : “Mungkin sekali aku telah mati sebelum sampai ke situ.”

oooOOOooo

Pada sutu hari beberapa orang Syi’ah mendobrak pintu rumah Riza dan menyerang Ma’ruf al-Karkhi sehingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf al-Karkhi tergeletak dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan.

Sari as Saqathi berkata kepada Ma’ruf al-Karkhi. “Sampaikanlah wasiatmu yang terakhir.”
Ma’ruf al-Karkhi bekata : “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku dan sedekahkanlah. Aku ingin meninggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika aku dilahirkan dari rahim ibuku.”
Ketika Ma’ruf al-Karkhi meninggal, prikemanusiaan dan kerendahan hatinya sedemikian harum sehingga semua kaum, baik yang beragama Yahudi, Kristen maupun Islam mengakuinya sebagai salah seorang di antara mereka.

Pelayannya menyampaikan bahwa Ma’ruf al-Karkhi pernah berpesan : “Jika ada suatu kaum yang dapat mengangkat peti matiku nanti, maka aku adalah salah seorang di antara mereka.”

Kemudian ternyatalah bahwa orang-orang Kristen tidak dapat mengangkat peti matinya. Begitu pula dengan orang-orang Yahudi. Ketika tiba giliran orang-orang Muslim ternyata mereka berhasil. Kemudian mereka men-shalat-kan jenazah dan menguburnya di tempat itu juga.

oooOOOooo

Sari meriwayatkan sebagai berikut  ini : Setelah Ma’ruf al-Karkhi meninggal, dalam suatu mimpi aku bertemu dengan dia. Ma’ruf al-Karkhi sedang berdiri di bawah tahta. Matanya terbuka lebar seperti seorang yang terkesima dan berputus asa. Kemudian terdengarlah seruan Allah kepada malaikat-malaikatnya.

“Siapakah dia ini?.”

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Yang Maha Tahu,” Malaikat-malaikat itu menjawab.

“Dia inilah Ma’ruf al-Karkhi,” terdengar sabda-Nya. “Ia terkesima dan terpesona karena cinta kasih kami. Hanya dengan memandang Kami sajalah ia dapat sadar kembali. Hanya dengan menemui Kami ssajalah ia akan menemukan dirinya kembali.”
Sumber : Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar

Sabtu, 06 Februari 2016

Sahl bin Abdullah At-Tustari

SAHL BIN ‘ABDULLAH AT-TUSTARI


Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari, lahir di Tustar (Ahwaz) di sekitar tahun 200H/815 M. Ia belajar dari Sofyan ats-Tsauri dan pernah bertemu dengan Dzun Nun al-Mishri. Kehidupannya yang tenang terganggu pada tahun 261 H/874M. Ketika terpaksa mengungsi ke Bashrah, dan meninggal dunia di sana pda tahun 282 H/896 M. Sebuah komentar singkat mengenai Al-Qur’an diduga sebagai karyanya dan ia telah memberikan sumbangan-sumbangan yang penting bagi perkembangan  teori sufisme. Ia menjadi tokoh yang berpengaruh besar berkat jasa muridnya Ibnu Salim yang mendirikan mazhab Salimiyah.

MASA REMAJA SAHL BIN ‘ABDULLAH AT-TUSTARI

Mengenai dirinya sendiri, Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari berkisah sebagai berikut :
Aku masih ingat ketika Allah bertanya, “Bukankah Aku Tuhanmu.” Dan aku  menjawab, “Ya, sesungguhnya Engkau-lah Tuhanku.” Akupun masih ingat ketika berada di dalam rahim ibuku.
Umurku baru tiga tahun ketika aku mulai beribadah sepanjang malam. Pamanku yang bernama Muhammad bin Shawwar pernah menangis karena terharu menyaksikan perbuatanku itu dan berkata kepadaku : "Tidurlah Shahl! Engkau membuatku cemas".
Secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan aku senantiasa mematuhi anjuran-anjuran paman. Pada suatu hari aku berkata kepadanya. “Paman, aku mendapatkan sebuah pengalaman yang sangat aneh. Aku seolah-olah melihat kepalaku bersujud di depan tahta.”
“Rahasiakanlah pengalaman ini dan jangan katakan kepada siapa pun juga,” paman menasehatiku. Kemudian ia menambahkan, “Apabila di dalam tidur tubuhmu gelisah, ingatlah dirimu. Dan apabila lidahmu bergerak ucapkanlah: “Allah besertaku, Allah memelihara diriku, Allah menyaksikan diriku.
Saran ini kulaksanakan dan hal ini kusampaikan kepadanya.
“Ucapkanlah kata-kata itu tujuh kali setiap malam,” paman menyarankan.
Kemudianku sampaikan kepadanya bahwa saran itu telah kulaksanakan.
“Ucapkanlah kata-kata itu lima belas kali setiap malam,”
Saran paman kulaksanakan dan kesyahduan memenuhi qalbuku. Setahun telah berlalu. Kemudian paman berkata kepadaku :
“Laksanakanlah saran-saranku itu terus menerus hingga ke liang kuburmu. Hasilnya adalah milikmu sendiri baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.”
Beberapa tahun berlalu. Aku senantiasa melakukan hal yang serupa sehingga kesyahduan itu menembus ke dalam lubuk hatiku yang terdalam. Paman berkata kepadaku :
“Sahl, Jika Allah menyertai seseorang manusia dan menyaksikan dirinya, bagaimanakah ia dapat mengingkari-Nya? Allah menjaga dirimu sehingga engkau tidak dapat mengingkari-Nya.”
Setelah itu aku pergi mengasingkan diri. Kemudian tiba waktunya aku hendak disekolahkan. Aku berkata, “Aku kuatir kalau konsentrasiku akan buyar. Buatlah sebuah persyaratan dengan guru, bahwa aku akan hadir selama satu jam dan belajar dengan sedapat-dapatnya, tetapi setelah itu aku boleh pergi untuk melakukan urusanku yang sesungguhnya.”
Dengan syarat itu barulah aku mau disekolahkan dan memperlajari al-Qur’an. Pada waktu itu usia ku baru tujuh tahun. Sejak itu aku terus menerus berpuasa, sedang makananku satu-satunya adalah roti. Ketika berusia duabelas tahun aku dihadapkan kepada sebuah masalah yang belum terpecahkan oleh siapapun juga. Maka aku memohon agar aku dikirimkan ke Bashrah untuk mencari jawaban masalah ini.
Aku tiba di Bashrah, bertanya-tanya kepada para cendekia di kota itu, tetapi tak seorangpun  di antara mereka dapat menjawab pertanyaanku. Dari Bashrah aku melanjutkan perjalanan ke Abdan untuk menemui seorang yang bernama Habib bin Hamzah. Dia lah yang dapat menjawab pertanyaanku itu. Untuk beberapa lamanya aku tinggal bersama Habib bin Hamzah dan banyak faedah yang ku petik dari pelajaran-pelajarannya.
Kemudian aku pergi ke Tustar. Pada waktu itu makananku sehari-hari sudah sedemikian sederhana : Dengan uang satu dirham untuk membeli tepung yang kemudian digiling dan dibakar menjadi roti. Setiap malam menjelang fajar tiba aku berbuka puasa dengan sedikit roti tawar. Dengan cara yang seperti ini uang satu dirham itu dapat kumanfaatkan untuk setahun.

Setelah itu aku bertekad hendak berbuka puasa sekali dalam tiga hari. Kemudian sekali dalam lima hari. Kemudian sekali dalam tujuh hari, dan demikianlah seterusnya sehingga sekali dalam dua puluh hari. (menurut salah satu riwayat, Sahl menyatakan bahwa ia pernah berbuka puasa sekali dalam tujuh puluh hari.) Kadang-kadang aku hanya memakan satu buah badan untuk setiap empat puluh hari.
Untuk beberapa tahun aku melakukan percobaan-percobaan dengan rasa kenyang dan lapar. Pada awal mulanya aku mendapatkan bahwa aku merasa lemah karena lapar dan merasa kuat karena kenyang. Tetapi di kemudian hari aku mendapatkan bahwa aku merasa kuat karena lapar dan merasa lemah karena kenyang. Maka memohonlah aku kepada Allah, “Ya Allah, tutuplah kedua mata Sahl, sehingga ia melihat kenyang di dalam lapar dan melihat lapar di dalam kenyang, karena keduanya berasal dari Engkau juga.”
oooOOOooo
Pada suatu hari Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari berkata, “Taubat adalah kewajiban setiap manusia di setiap saat, tanpa peduli apakah ia manusia yang telah dimuliakan Allah ataupun manusia kebanyakan, dan tanpa peduli apakah ia patuh atau ingkar kepada Allah.”
Pada masa itu di Tustar ada seorang yang mengaku sebagai seorang terpelajar dan pertapa. Orang ini menyangkal pernyataan Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari di atas, “Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari menyatakan bahwa seorang yang ingkar harus bertaubat karena keingkarannya dan seorang yang patuh harus bertobat karena kepatuhannya.
Akhirnya berhasilan orang itu membuat orang banyak menentang Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari. Kemuidan ia menuduh Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari sebagai seorang bid’ah dan kafir. Maka semua pihak, dari rakyat biasa sampai kaum bangsawan, menyerang Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari. Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari menahan dirinya, Ia tidak mau berbantahan dengan mereka untuk membenarkan kesalahpahaman mereka itu. Dengan kobaran api suci agama, dituliskannya semua harta benda yang dimilikinya yaitu : kebun-kebun, rumah-rumah, perabot-perabot, permadani-permadani, jembangan-jembangan, emas dan perak, masing-masing di atas secarik kertas. Kemudian ia memanggil orang-orang berkumpul dan setelah berkumpul kertas-kertas tadi dilemparkannya kepada mereka untk menjadi rebutan. Kepada setiap orang yang berhasil mendapatkan sehelai di antara kertas-kertas itu, Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari memberikan harta benda miliknya yang tertulis di situ. Hal ini dilakukannya sebagai tanda terima kasihnya kepada mereka karena membebaskan dirinya dari harta benda dunia ini. Setelah menyerahkan segala harta kekayaannya itu berangkatlah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari menuju Hijaz. Ia berkata kepada dirinya sendiri :
“Wahai diriku, kini tiada sesuatu pun yang masih ku miliki. Janganlah menerima apa-apa lagi dari diriku karena akan sia-sia belaka.”
Hatinya setuju untuk tidak meminta apapu juga. Tetapi ketika sampai di kota Kufah, hatinya berkata : “Hingga sejauh ini aku tidak pernah meminta sesuatu pun jua darimu. Tetapi pada saat ini aku ignin sekerat roti dan sepotong ikan. Berikanlah roti dan ikan kepadaku, dan engkau tidak akan ku usik lagi di sepanjang perjalanan menuju Mekkah.”
Ketika memasuki kota Kufah, Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari melihat sebuah penggilingan yang sedang digerakkan oleh seekor unta. Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari bertanya : “Berapakah yang kalian bayar untuk mempekerjakan unta ini?.”
“Dua dirham.”
“Lepaskanlah unta ini dan ikatlah aku sebagai penggantinya. Berikanlah aku satu dirham untuk kerjaku hingga waktu isa nanti.”
Unta itu pun dilepasan dan tubuh Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari menjadi penggantinya. Setelah malam tiba ia pun memperoleh upahnya sebesar satu dirham. Dengan uang itu dibelinya sekerat roti dan sepotong ikan yang kemudian ditaruhnya di depan dirinya. Maka berkatalah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari kepada dirinya sendiri : “Wahai hatiku, setiap kali engkau menghendaki makanan ini, camkanlah olehmu bahwa engkau harus melakukan pekerjaan seekor keledai dari pagi hingga matahari terbenam untuk mendapatkannya.”
Kemudian Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari meneruskan perjalannya ke Ka’bah, dimana ia bertemu dengan banyak tokoh-tokoh sufi. Dan dari Ka’bah ia kembali ke Tustar, dimana Dzun Nun sudah menantikan kedatangannya.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SAHL

Amr bin Laits  jatuh sakit dan semua tabib tidak berdaya untuk menyembuhkannya. Maka dikeluarkannya sebuah pengumuman yang berbunyi: “Adakah seseorang yang dapat menyembuhkan penyakit melalui doa?.”
Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari adalah seorang manusia yang makbul doanya,” orang-orang berkata.
Maka dimintalah pertolongan Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari. Karena ingat perintah Allah yang berbunyi : “Turutilah perintah orang-orang yang memegang pemerintahan,” Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari memenuhi permintaan itu. Setelah duduk di depan Amr, berkatalah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari kepadanya :
“Sebuah doa hanya makbul bagi seorang yang menyesal. Di dalam penjaramu ada orang-orang yang dihukum karena tuduhan-tuduhan palsu.”
Amr segera membebaskan orang-orang yang dimaksudkan Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari itu dan kemudian ia bertaubat. Setelah itu barulah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari berdoa :
“Ya Allah, seperti kehinaan yang telah Engkau tunjukan kepadanya karena keingkarannya, maka tunjukan pulalah kepadanya Kemuliaan karena kepatuhanku. Ya Allah, seperti batinnya yang telah Engkau beri selimut taubat, maka berikan pulalah kepada raganya selimut kesehatan.”
Begitu Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari  selesai mengucapkan doa itu Amr bin Laits segar bugar kembali. Banyak uang yang hendak diberikannya kepada Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari, tepi Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari menolak dan meninggalkan tempat itu. Sehubungan dengan sikapnya ini salah seorang muridnya tiak setuju dan berkata kepada Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari  :
“Bukankah lebih baik apabila uang itu engkau terima sehingga bisa dapat menggunakannya untuk melunasi hutang-hutang kita?.”
“Apakah engkau menginginkan emas?” jawab Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari, nah saksikannlah olehmu!.”
Maka terlihatlah oleh si murid betapa seluruh padang pasir dipenuhi oleh emas dan permata merah delima. Kemudian Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari  berkata :
“Mengapakah seseorang yang telah memperoleh karunia Allah yang seperti ini harus menerima pemberian hamba-hamba-Nya?”
Setiap kali melakukan  latihan mistik. Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari  akan mengalami ekstase selama lima hari terus menerus dan selama itu pula ia tidak makan. Jika latihan itu dilakukannya di musim dingin, keringatnya mengucur dan membasahi pakainnya. Jika di dalam keadaan ekstase ini para ulama bertanya kepadanya, maka Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari  akan menjawab : “Janganlah kalian bertanya kepadaku karena di dalam saat-saat mistis seperti ini kalian tidak akan dapat memetik manfaat dari diriku dan dari kata-kataku.”
oooOOOooo
 Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari sering berjalan di atas air tanpa sedikitpun kakinya menjadi basah. Seseorang berkata kepada Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari :
“Orang-orang berkata bahwa engkau dapat berjalan di atas air.”
“Tanyakanlah kepada Muazzin di masjid ini,” jawab Sahl bin ‘Abdullah at.Tustari. “Ia adalah orang yang dapat dipercaya.”
Kemudian orang itu mengisahkan :
“Telah kutanyakan  si Muazzin dan ia menjawab : “Aku tak pernah menyaksikan hal itu. Tetapi beberapa hari yang lalu, ketika hendak bersuci, Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari tergelincir ke dalam kulah, dan seandainya aku tidak ada di tempat itu niscaya ia telah binasa.”
Ketika Abu Ali bin Daqqaq mendengar kisah ini, ia pun berkata :
“Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari mempunyai berbagai kesaktian, tetapi ia ingin menyembunyikan hal itu.”
oooOOOooo
Pada suatu ketika Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari duduk di dalam masjid. Seekor burung dara jatuh dari udara karena udara yang terlampau panas. Menyaksikan hal ini Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari berseru :
“Syah al-Kiramni telah meninggal dunia!.”
Ketika diselediki ternyata benarlah kata-katanya itu.
oooOOOooo
Singa-singa dan banyak binatang buas lain sering mengunjungi tampat kediaman Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari. Dan Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari akan memberi makan dan merawat mereka. Sampai hari ini pun rumah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari di Tutsar itu disebut orang sebagai “rumah binatang-binatang buas”.
oooOOOooo
Setelah lama bertirakat malam dan melakukan disiplin diri yang keras, kesehatan Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari terganggu, ia menderita penyakit blennorrhoea yang parah, sehingga setiap sebentar ia harus ke kamar kecil. Karena itu ia selalu menyediakan sebuah guci di dekatnya. Tetapi menjelang waktu-waktu shalat penyakit itu reda dan ia dapat bersuci dan melakukan ibadah. Apabila ia naik ke atas mimbar, ia sama sekali menjadi segar bugar tanpa keluhan sedikit pun juga. Tetapi begitu ia turun dari mimbar, penyakit itu datang kembali. Walau dalam keadaan seperti ini tapi ia tak pernah melalaikan perintah Allah.
Menjelang ajalnya ia ditemani oleh keempat ratus orang muridnya. Mereka bertanya kepada Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari :
“Siapakah yang akan duduk ditempatmu dan siapakah yang akan berkhotbah di atas mimbar sebagai penggantimu?.”
Pada waktu itu ada seorang penganut agama Zoroaster yang berenama Syadh-Dil.
“Yang akan menggantikanku adalah Syadh-Dil,” jawab Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari, sambil membuka matanya.
“Syeikh sudah tidak dapat berpikir waras lagi,” murid-muridnya saling berbisik.
“Ia mempunyai empat ratus orang murid, semuanya orang-orang terpelajar dan taat beragama, tetapi yang diangkatnya sebagai penggantinya adalah seorang penganut agama Zoroaster.”
“Hentikan omelan-omelan kalian. Bawalah Syadh-Dil kepadaku,” teriak Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari.
Murid-murid Sahl  bin ‘Abdullah at-Tustari segera menjemput si penganut agama Zoroaster itu. Ketika melihat Syadh-Dil berkatalah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari kepadanya:
“Tiga hari setelah kematianku, setelah shalat ‘Ashar, naiklah ke atas mimbar dan berkhotbahlah sebagai pengantiku.”
 Setelah mengucapkan kata-kata itu Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tiga hari kemudian setelah Shalat “Ashar, masjid semakin penuh sesak. Syadh-Dil masuk dan naik ke atas mimbar, semua orang melongo menyaksikannya.
“Apakah arti semua ini? Seorang penganut agama Zoroaster yang mengenakan topi Majusi dan sabuk pinggang Majusi!.”
Syadh-Dil mulai berkhotbah.
“Pemimpin kalian telah mengangkat diriku sebagai wakilnya. Dia bertanya kepadaku: Syadh-Dil, belum tiba kah saatnya engkau memutus sabuk Majusi dari pinggangmu?” Kini saksikanlah oleh kalian semua, akan ku putuskan sabukku ini.”
Dikeluarkannya sebuah pisau dan diputuskannya sabuk pinggang yang dikenakannya itu. Kemudian Syadh-Dil meneruskan :
“Pemimpin kalian kemudian bertanya pula : “Belum tiba kah saatnya engkau melepaskan topi Majusi dari kepalamu?. Kini saksikanlah oleh kalian semua, kulepaskan topi ini dari kepalaku.”
Kemudian Syadh-Dil berseru :
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Syeikh juga menyuruhku untuk mengatakan kepada kalian : “Dia yang menjadi Syeikh dan guru kalian telah memberikan nasehat yang baik kepada kalian, dan kewajiban seorang murid adalah menerima nasehat gurunya. Saksikanlah oleh kalian betapa Syadh-Dil telah memutuskan sabuknya yang terlihat. Jika kalian ingin bersua dengan aku di hari Hari Berbangkit nanti, kepada setiap orang di antara kalian aku serukan, putuskanlah sabuk di dalam hatimu,”
Semua jama’ah menjadi gempar ketika Syadh-Dil selesai berkhotbah dan manifestasi-manifestasi spiritual yang mengherankan terjadilah.
oooOOOooo
Ketika jenazah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari diusung ke pemakaman, jalan-jalan penuh sesak dengan manusia. Pada waktu itu di Tustar ada seorang Yahudi yang berusia tujuh puluh tahun. Ketika mendengar suara orang ramai itu ia pun berlari keluar rumahnya untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Ketika rombongan itu lewat di depannya, si Yahudi tua berseru :
“Kalian lihatlah apa yang aku lihat? Malaikat-malaikat turun dari langit dan mengelus-ngeluskan sayap mereka ke peti matinya.”
Seketika itu juga ia mengucapkan syahadah dan menjadi seorang Muslim.
oooOOOooo
Pada suatu hari ketika Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari sedang duduk beserta sahabat-sahabatnya, lewatlah seorang lelaki. Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari berkata kepada sahabat-sahabatnya : “Orang itu mempunyai sebuah rahasia.”
Ketika mereka menoleh, orang itu telah berlalu.
Setelah Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari meninggal, ketika salah seorang muridnya duduk di makam Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari, lelaki tadi lewat pula di situ. Murid Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari menegurnya :
“Syeikh yang terbaring di dalam makam ini pernah mengatakan bahwa engkau mempunyai sebuah rahasia. Demi Allah yang telah memberikan rahasia itu kepadamu, tunjukkanlah kepadaku.”
Lelaki itu menunjuk ke makam Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari dan berseru :
“Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari, berbicaralah!.”
Dari dalam kuburan terdengarlah suara yang lantang :
“Tiada Tuhan Kecuali Allah Yang Esa dan Tiada Bersekutu.”
Lelaki itu kemudian bertanya :
“Telah dikatakan : Barangsiapa yakin bahwa Tiada Tuhan Selain Allah, maka tiadalah gelap baginya di dalam alam kubur. Benarkah demikian Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari?.”
Dari dalam kuburan itu terdengar jawaban Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari :
“Benar!.”
 Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar.
Tags: Sahl bin abdullah, kisah sahl bin abdullah, riwayat sahl bin abdullah at-tustari, riwayat singkat sahl bin abdullah, kisah sufi sahl bin abdullah at-tustari.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More