Minggu, 14 Februari 2016

Sari As-Saqathi

SARI AS-SAQATHI

 Orang-orang mengatakan bahwa Abul Hasan Sari bin al-Mughallis as-Saqathi adalah murid Ma’rufak-Karkhi dan paman Junaid. Ia adalah seorang tokoh sufi yang terkemuka di Baghdad dan pernah mendapat tantangan dari Ahmad bin Hambali. Mula-mula ia mencari nafkah dengan berdagang barang-barang bekas dan ia meninggal pada tahun 253 H/867 M. Dalam usia 98 tahun.

KEHIDUPAN SARI AS. SAQATHI                                   
Sari as-Saqathi adalah orang yang pertama sekali mengajarkan kebenaran mistik dan “Peleburan” sufi di kota Baghdad. Kebanyakan syeikh-syeikh sufi di negeri Irak adalah murid-murid Sari as-Saqathi. Ia adalah paman Junaid dan murid Ma’ruf al-Karkhi. Ia juga pernah bertemu dengan Habib ar-Ra’i.
Pada mulanya Sari as-Saqathi tinggal di kota Baghdad di mana ia mempunyai sebuah toko. Setiap hari apabila hendak shalat, digantungkannya sebuah tirai di depan pintu tokonya.
Pada suatu hari datanglah seseorang dari gunung Lukam mengunjunginya. Dengan menyibakkan tirai itu ia mengucapkan salam kepada Sari as-Saqathi dan berkata :
“Syeikh dari Gunung Lukam mengirim salam kepadamu.”
Sari as-Saqathi menyahut : “Si syeikh hidup menyepi di atas gunung dan oleh karena itu segala jerih payahnya tidak bermanfaat. Seorang manusia harus dapat hidup di tengah keramaian dan mengkhusukkan diri kepada Allah sehingga kita tidak pernah lupa kepada-Nya walau sesaatpun.”
Diriwayatkan, di dalam berdagang itu Sari as-Saqathi tidak pernah menarik keuntungan melebihi lima persen. Pada suatu ketika Sari as-Saqathi membeli buah badam seharga enam puluh dinar. Pada waktu harga buah badam sedang naik, seorang pedagang perantara datang menemui Sari as-Saqathi.
“Buah-buah badam ini hendak kujual,” Sari as-Saqathi berkata kepadanya.
“Berapakah harganya?.” Tanya si perantara.
“Enampuluh enam dinar.”
“Tetapi harga buah badam pada saat ini sembilan puluh dinar.” Si perantara berkeberatan.
“Sudah menjadi peraturan bagi diriku untuk tidak menarik keuntungan lebih dari lima persen. “ jawab Sari as-Saqathi, dan aku tidak akan melanggar peraturan sendiri.”
“Dan aku pun tidak merasa pantas untuk menjual barang-barangmu dengan harga kurang dari sembilan puluh dinar,” sahut si pedagang perantara.
Akhirnya si perantara tidak jadi menjualkan buah-buahan Sari as-Saqathi.
oooOOOooo
Pada mulanya Sari as-Saqathi menjual barang-barang bekas. Pada suatu hari pasar kota Baghdad terbakar.
“Pasar terbakar!,” orang-orang berteriak.
Mendengar teriakan-teriakan itu berkatalah Sari as-Saqathi : “Bebaslah aku sudah!.”
Setelah api reda ternyata toko Sari as-Saqathi tidak termakan api. Ketika mendapatkan kenyataan ini Sari as-Saqathi menyerahkan segala harta bendanya kepada orang-orang miskin. Kemudian ia mengambil jalan kesufian.
oooOOOooo
“Apakah yang menyebabkan engkau menjalani kehidupan spiritual ini,” seseorang bertanya kepada Sari as-Saqathi.
Sari as-Saqathi menjawab:
“Pada suatu hari Habib ar-Ra’i lewat di depan tokoku. Kepadanya kuberikan sesuatu untuk disampaikan kepada orang-orang miskin. “Semoga Allah memberkahi engkau,” Habib ar.Ra’i mendoakan diriku. Setelah ia mengucapkan doa itu dunia ini tidak menarik hatiku lagi.”
“Keesokan harinya datanglah Ma’ruf Karkhi beserta seorang anak yatim. “Berikanlah pakaian untuk anak ini,” pinta Ma’ruf kepadaku. Maka anak itu pun kuberi pakaian. Kemudian Ma’ruf berkata : “Semoga Allah membuat hatimu benci kepada dunia ini dan membebaskanmu dari pekerjaan ini,”. Karena kemakbulan doa Ma’ruf itulah aku dapat meninggalkan semua harta kekayaan di dunia ini.”
SARI AS-SAQATHI DAN SEORANG ANGGOTA ISTANA
Pada suatu hari ketika Sari as-Saqathi sedang memberikan ceramah. Salah seorang di antara sahabat-sahabat dekat khalifah, Ahmad Yazid si juru tulis lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi oleh para hamba dan pelayan-pelayannya.
“Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya,” kata Yazid kepada para pengiringnya. “Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi.” Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sari as-Saqathi.
Sari as-Saqathi berkata : “Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga malaekat-malaekat sendiri iri kepadanya. Jika ia jahat, maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa.”
Kata-kata ini bagaikan anak panah dibidikan Sari as-Saqathi ke jantung Ahmad. Ahmad menangis dengan sedihnya, sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah sadar ia masih menangis, Ahmad bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Sari as-Saqathi berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang  ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sari as-Saqathi.
“Guru,” ucap Ahmad kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukanlah kepadaku jalan yang ditempuh para khalifah.”
“Jalan manakah yang engkau inginkan,” tanya Sari as-Saqathi. “Jalan para sufi atau jalan hukum? Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?.”
“Tunjukan kedua jalan itu kepadaku,” Yazid meminta kepada Sari as-Saqathi. Maka berkatalah Sari as-Saqathi :
“Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah shalat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah zakat, Jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap dua puluh dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan, berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terperosok ke dalam perangkap-pereangkapnya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah terima. Demikianlah kedua jalan tersebut.”
Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang belantara. Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sari as-Saqathi dan berkata :
“Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putera yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa hari ini ia tidak pulang  dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia. Tolong, lakukanlah sesuatu untuk diriku.”
Permohonan wanita tua itu  menggugah hati Sari as-Saqathi. Maka berkatalah ia: “Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya.”
Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad kembali kepada Sari as-Saqathi. Sari as-Saqathi memerintahkan kepda pelayannya, “Kabarkanlah kepada ibunya,” Kemudian ia memandang Ahmad. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.
“Wahai guru yang budiman,” Ahmad bekata kepada Sari as-Saqathi, “Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamaian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, Aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugrahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan akhirat.”
Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan isterinya Ahmad masuk. Mereka juga membawa puteranya yang masih kecil. Ketika si Ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya, ia pun menubruk dada Ahmad. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sari as-Saqathi sendiri pun tidak dapat menahan air matanya. Si anak merebahkan diri ke haribaan ayahnya. Tetapi betapapun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau pulang ke rumah.
“Wahai imam kaum Muslimin, “ Ahmad berseru kepada Sari as-Saqathi, “Mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada meraka?” Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku.”
Sari as-Saqathi menjawab : “Ibumu terus menerus memohon seihingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau datang.”
Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir, isterinya meratap : “Belum lagi mati, engkau telah membuatku jadi janda dan puteramu jadi yatim. Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan ku lakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu.”
“Baiklah,” jawab Ahmad.
Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya dan digantinya dengan bulu domba. Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anak itu :
“Sekarang pergilah engkau seorang diri.”
Melhat hal ini si isteri menjerit : “Aku tidak sampai hati membiarkannya,” dan anak itu ditariknya ke dalam dekapnnya.
“Aku memberikan kuasa kepadamu,” kata Ahmad kepada isterinya, “Jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian.”
Maka kembalilah Ahmad ke padang belantara. Bertahun-tahun telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat ‘Isa, seseorang mendatangi Sari as-Saqathi di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sari as-Saqathi :
“Ahmad mengutus aku untuk menjumpai engkau. Ia berpesan, “Hidupku hampir berakhir. Tolonglah aku.”
Sari as-Saqathi pergi ke tempat Ahmad. Ia menemukan Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di dalam sebuah pemakaman. Ia sedang menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak.  Sari as-Saqathi mendengar bahwa Ahmad sedang membacakan ayat yang berbunyi : “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para pekerja,” Sari as-Saqathi mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan mendekapkan ke dadanya. Ahmad membuka matanya, terlihatlah olehnya sang Syeikh, dan berkatalah ia :
“Guru, engkau datang tepat pada waktunya. Hidupku akan berakhir sesaat lagi.”
Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Sambil menangis Sari as-Saqathi kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan-urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ini ia menyaksikan orang ramai berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota.
“Hendak ke manakah kalian?” Sari as-Saqathi bertanya kepada mereka.
“Tidak tahukah engkau?” jawab mereka. “Kemarin malam terdengar sebuah seruan dari atas langit : “Barang siapa ingin menshalatkan jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!.”
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SARI
Junaid meriwayatkan sebagai berikut :
Pada suatu hari aku mengunjungi Sari as-Saqathi dan kutemui ia sedang mencucurkan air mata. Aku bertanya kepadanya. “Apakah yag telah terjadi?.”
Sari as-Saqathi menjawab : “Aku telah berniat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan. Di dalam mimpi aku bertemu dengan seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia amenjawab : “Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi,”. Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah. Saksikanlah olehmu sendiri!.”
Kulihat pecahan-pecahan kendi yang berserakan di atas tanah. Pecahan-pecahan itu dibiarkan saja di situ untuk waktu yang lama.
oooOOOooo
Dalam kisah lain Junaid meriwayatkan, “Pada suatu malam aku tertidur nyenyak. Ketika aku terjaga, batinku mendesak agar aku pergi ke Masjid Syuniziyah. Maka pergilah aku. Tetapi di depan masjid itu terlihatlah olehku seseorang yang berwajah ssangat menakutkan. Aku menjadi gentar. Orang itu menegurku :
“Junaid, takutkah engkau kepadaku?.”
“Ya,’ jawabku.
“Seandainya engkau mengenal Allah sebagaimana yang seharusnya, niscaya tak ada sesuatu pun yang engkau takutkan selain dari pada Dia.”
“Siapakah engkau?.” Aku bertanya.
“Iblis,” jawabnya.
“Aku pernah ingin bertemu dengan engkau,” aku berkata kepadanya.
“Bagaimana engkau berpikir tentang aku, tanpa engkau sadari engkau lupa kepada Allah. Apapun maumu untuk bertemu dengan aku?.” Tanya si iblis.
“Ingin kutanyakan kepadamu, apakah engkau dapat memperdayakan orang-orang miskin?”
“Tidak,” jawab si iblis.
“Mengapakah?” demikian?.”
Si iblis menjawab : “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat. Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi.”
“Dapatkah engkau melihat manusia-manusia yang tak dapat engkau perdayakan?.”
“Ya, aku melihat mereka,” jawab si iblis, “dan apabila mereka berada di dalam keadaan ekstase, dapatlah kulihat sumber keluh kesah mereka itu.”
Setelah berkata demikian, si iblis menghilang. Aku masuk ke dalam masjid dan di sana ku dapati Sari as-Saqathi yang sedang menekurkan kepala ke atas kedua lututnya.
“Dia telah berdusta, seteru Allah itu,” Sari as-Saqathi berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau disayangi Allah untuk diperlihatkan kepada iblis.”
oooOOOooo
Sari as Saqathi mempunyai seorang saudara perempuan yang pernah meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya.
 Hidupku tidak patut diperlakukan seperti itu,” Sari as-Saqathi berkata kepada saudara perempuannya itu.
Pada suatu hari ia masuk kamar Sari as-Saqathi dan terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu.
“Sari as-Saqathi, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak familimu.

Sari as-Saqathi menjawab. “Jangan engkau salah sangka. Dia adalah penduduk alam kubur. Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak. Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku.”
Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar

Tags:
Riwayat Sari as-Saqathi, sari assaqathi, kisah sari assaqathi, kisah singkat sari assaqathi, cerita sari assaqothi, kata-kata hikmah sari assaqathi, sari assaqathi dari kitab tadzkirotul auliya, warisan para auliya, warisan para auliya sari as-saqathi .


0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More