ABU
YAZID AL-BUSTHAMI
ABU YAZID AL-BUSTHAMI : LAHIR DAN MASA REMAJANYA
Kakek Abu Yazid al-Busthami adalah
seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah seorang di antara orang-orang
terkemuka Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia berada
di dalam kandungan ibunya.
“Setiap kali aku menyuap makanan
yang kuragukan kehalalannya,” ibunya sering berkata kepada Abu Yazid. “engkau
yang masih beraa di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum
makanan itu ku muntahkan kembali.”
Pernyataan si ibu dibenarkan oleh
Abu Yazid sendiri.
Kepada Abu Yazid pernah
ditanyakan, “Apakah yang terbaik bagi seorang manusia di atas jalan
ini.”
“Kebahagiaan yang merupakan bakat
sejak lahir,” jawab Abu Yazid.
“Jika kebahagiaan seperti itu tidak ada?”
“Sebuah tubuh yang sehat dan kuat.”
“Jika tidak memiliki tubuh yang
sehat dan kuat?”
“Pendengaran yang tajam.”
“”Jika tidak memiliki pendengaran
yang tajam?”
“Hati yang mengetahui.”
“Jika tidak memiliki hati yang
mengetahui?”
“Mata yang melihat.”
“Jika tidak memiliki mata yang
melihat?”
“Kematian yang segera.”
Setelah sampai waktunya, si ibu
mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari al-Qur’an. Pada suatu
hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surah Lukman yang berbunyi : “Berterimakasihlah
kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu,” Ayat ini sangat menggetarkan hati
Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya :
“Izinkan aku pulang! Ada yang hendak kukatakan kepada ibuku.”
Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu
pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata :
“Thaifur, mengapa engkau sudah
pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah suatu kejadian yang
istimewa?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid. “Pelajaranku
sampai pada ayat di mana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan
kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua buah rumah dalam waktu bersamaan.
Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Mintalah diriku ini kepada Allah
sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata
sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata.”
“Anakku”, jawab ibunya. “aku serahkan
engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajiban terhadapku.
Pergilah engkau dan jadilah sorang hamba Allah.”
Di kemudian hari Abu Yazid berkata :
“Kewajiban yang kukira sebagai
kewajiban yang paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan
kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di
dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni
segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan
pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut : Pada suatu malam,
ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun pergi mengambilnya, ternyata di dalam
tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong.
Oleh karena itu pergilah aku ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air.
Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur.”
“Malam itu udara terasa dingin.
Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang
kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi
itu telah membuat tanganku kaku.
“Mengapa engkau tetap memegang kendi
itu?”, ibu bertanya, “Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”,
jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku : “Biarkan saja pintu itu setengah
terbuka.”
“Sepanjang malam aku berjaga-jaga
agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak
melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu,
begitulah yang sering kulakukan berkali-kali.”
Setelah si ibu memasrahkan anaknya
kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke
negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus
menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di
bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat
dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada
seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk di hadapannya,
tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya.
“Abu Yazid, ambilkan buku yang di
jendela itu.”
“Jendela? Jendela mana?” tanya Abu
Yazid.
“Telah sekian lama engkau belajar di
sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah
peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal
lain. Aku tidak datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini.”
“Jika demikian,” kata si guru,
“kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai.”
oooOOOooo
Abu Yazid mendengar bahwa di suatu
tempat tertentu ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk
menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang
termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah, karena itu segera ia memutar
langkahnya.
“Jika ia memang telah memperoleh
semua kemajuan itu dari jalan Allah,” Abu Yazid berkata mengenai guru tadi.
“Niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang telah dilakukannya.”
Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid
hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah
ke arah jalan dan menghormati masjid tersebut.
oooOOOooo
Perjalanan Abu Yazid menuju Ka’bah
memakan waktu dua belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bersua
dengan seorang pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu.
Abu Yazid segera membentangkan sajadahnya dan melakukan shalat sunnat dua
raka’at. Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan “Ka’bah, bukanlah seperti
serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap
saat.”
Akhirnya sampailah ia ke Ka’bah
tetapi ia tak pergi ke Madinah pada tahun itu juga.
“Tidaklah pantas perkunjungan ke
Madinah hanya sebab pelengkap saja,” Abu Yazid menjelaskan. “Saya akan
mengenakan pakaian haji yang berbeda untuk mengunjungi Madinah.”
Tahun berikutnya, sekali lagi ia
menunaikan ibadah haji. Ia mengenakan pakain yang berbeda untuk setiap tahap
perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam
perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia
meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya.
“Siapakah orang-orang ini?” ia
bertanya sambil melihat ke belakang.
“Mereka ingin berjalan bersamamu,”
terdengar sebuah jawaban.
“Ya Allah!.” Abu Yazid bermohon, “Janganlah
Engkau tutup penglihatan hamba-hamba-Mu karenaku.”
Untuk
menghilangkan kecintaan mereka kepada dirinya dan agar dirinya tidak menjadi
penghalang bagi mereka, maka setelah selesai melakukan shalat Shubuh, Abu Yazid
berseru kepada mereka : “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan, tiada Tuhan selain Aku
dan karena itu sembahlah Aku.”
: Abu Yazid sudah gila!.” Seru
mereka kemudian meninggalkannya.
Abu Yazid meneruskan perjalanannya.
Di tengah perjalanan ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertuliskan :
Tuli, bisu, buta....... mereka tidak memahami.
Sambil menangis Abu Yazid memungut
tengkorak itu lalu menciuminya. “Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi.” gumamnya.
“yang menjadi lebur di dalam Allah.... ia tidak lagi mempunyai telinga untuk
mendengar suara abadi, tidak lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan
abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran Allah, dan tidak lagi
mempunyai akal walaupun untuk merenungi secuil pengetahuan Allah yang sejati.
Tulisan ini adalah mengenai dirinya.”
Suatu hari Abu Yazid melakukan
perjalanan. Ia membawa seekor unta sebagai tungggangan dan pemikul
perbekalannya.
“Binatang yang malang, betapa berat
beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!.” Seseorang berseru.
Setelah mendengar suara ini berulang
kali, akhirnya Abu Yazid menjawab.
“Wahai anak muda, sebenarnya bukan
unta ini yang memikul beban.”
Kemudian si pemuda meneliti apakah
beban itu benar-benar berada di atas punggung unta tersebut, barulah ia percaya
setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan
binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut.
“Maha Besar Allah, benar-benar
menkajubkan!”, seru si pemuda.
“Jika ku
sembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan
melontarkan celaan kepadaku,” kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan
kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana
seharusnya sikapku kepadamu?!”
oooOOOooo
Setelah Abu Yazid mengunjungi kota
Madinah, datang sebuah perintah yang menyuruhnya pulang untuk merawat ibunya.
Ditemani serombongan oarang, ia pun berangkat menuju Bustham. Berita kedatangan
Abu Yazid tersebar di kota Bustham dan para penduduk kota datang untuk
menyongsongnya. Pasti Abu Yazid akan sibuk melayani mereka dan membuat ia akan
terhalang untuk menyegerakan perintah Allah itu. Oleh karena itu ketika
penduduk kota telah hampu sampai, dari lengan bajunya ia mengeluarkan sepotong
roti, sedang saat itu adalah Bulan Ramadhan, tetapi dengan tenang Abu Yazid
memakan roti tersebut. Begitu penduduk Bustham menyaksikan perbuatan Abu Yazid,
mereka lalu berpaling darinya.
“Tidakkah kalian saksikan,” kata Abu
Yazid kepada sahabat-sahabatnya. “betapa aku mematuhi sebuah perintah dari
hukum suci, tapi semua orang berpaling dariku.”
Dengan sabar Abu Yazid menunggu
samapai malam tiba. Tengah malam barulah ia memasuki kota Bustham. Ketika
sampai di depan rumah ibunya, untuk beberapa lama ia berdiri mendengarkan
ibunya yang sedang bersuci lalu shalat.
“Ya Allah, periharalah dia yang
terbuang.” Terdengar doa ibunya,”cenderungkanlah hati para syeikh kepada
dirinya dan berikanlah petunjuk kepadanya untuk melakukan hal-hal yang baik.”
Mendengar doa ibunya itu Abu Yazid
menangis. Kemudian ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?” tanya ibunya dari
dalam.
“Anakmu yang terbuang,” sahut Abu
Yazid.
Dengan menangis si ibu membukakan
pintu. Ternyata penglihatan ibunya sudah kabur.
“Thaifur,” si ibu berkata kepada
puteranya. “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur seperti ini?” Karena
aku telah sedemikian banyaknya meneteskan air mata sejak berpisah denganmu. Dan
punggungku telah bongkok karena beban duka yang kutanggungkan itu.”
MI’RAJ ABU YAZID
Abu Yazid mengisahkan : Dengan
tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari
semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan cahaya-Nya, membukakan
keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukan kebesaran-Nya kepadaku.
Setelah menatap Allah kau pun
memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hahekat diriku ini. Cahaya
diriku adalah kegelapan jika dibanding dengan cahaya-Nya: Kebesaran diriku
sangat kecil jika dibanding dengan kebesaran-Nya; kemuliaan diriku hanyalah
kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemulian-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di
dalam ddiriku segalanya kotor dan cemar.
Bila ku renungi kembali, maka
tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku
bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah ku lakukan,
hanyalah karena ke Maha Kuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata
lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan
realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah., bukan dari diriku sendiri,
sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya.
Aku bertanya : “Ya Allah, apakah
ini?”
Dia menjawab : “Semuanya adalah Aku,
tidak ada sesuatu pun juga kecuali Aku.”
Kemudian Ia menjahit mataku sehingga
aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan,
yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia
memuliakan diriku. Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikit pun
tidak tergoyahkan oleh karena adaku. Demikian lah Allah, kebenaran Yang Tunggal
menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang
Allah, dan kulihat Allah di dalam realitas-Nya.
Di sana aku berdiam dan beristirahat
untuk beberapa saat lamanya. Ku tutup telinga dari derap perjuangan. Lidah yang
meminta-minta, ku telan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Ku campakkan pengetahuan
yang telah ku tuntut dan ku bungkamkan kata hati yang menggoda kepada
perbuatan-perbuatan aniaya. Di sana aku berdiam dengan teenang. Dengan karunia
Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip
dasar.
Allah menaruh belah kasihan
kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengeteahuan abadi dan menanam lidah
kebajikan-Nya ke dalam tenggorokan ku. Untuk ku diciptakan-Nya sebuah mata dari
cahaya-Nya, semua makhluk ku lihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu, aku
berkata-kata kepada Allah dengan pengetahuan Allah ku peroleh sebuah
pengetahuan, dan dengan cahaya Allah aku menatap kepada-Nya.
Allah berkata kepada ku : Wahai
engkau yang tak memiliki sesutau pun jua namun telah memperoleh segalanya, yang
tak memiliki perbekalan namun telah mempunyai kekayaan!.”
“Ya Allah,”, jawabku. “Jangan
biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku
sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milik
ku tanpa aku, daripada aku menjadi milik ku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik
jika aku berkata-kata kepada-Mu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata
kepada diriku sendiri tanpa Engkau.”
Allah berkata : “Oleh karena itu,
perhatikanlah Hukum-Ku dan janganlah engkau melanggar perintah serta
larangan-Ku, agar kami berterima kasih akan segala jerih payahmu.”
“Aku telah membuktikan imanku
kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas
untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri daripada kepada hamba-Mu. Bahkan
seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan
aniaya.”
“Dari siapakah engkau belajar?”
tanya Allah.
“Ia yang Bertanya lebih tahu dari ia
yang ditanya,” jawabku. “karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang
Menghassratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab.”
Setelah ia menyaksikan kesucian
hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku
dengan cap kepuasan-Nya. Dia menerangi diriku, menyelamatkanku dari kegelapan
hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dia-lah aku hidup dan
karena kelimpahan-Nya lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam
hatiku.
“Mintalah kepada-Ku segala sesuatu
yang engkau kehendaki!”, kata Allah.
“Engkaulah yang ku inginkan,”
jawabku,” karena Engkau lebih dari kelimpahan, lebih dari kemurahan dan melalui
Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku,
telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Jangan Engkau jauhkan
aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih
rendah daripada Engkau.”
Beberapa lama Dia tak menjawab.
Kemudian sambil meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah
Dia :
“Kebenaranlah yang engkau ucapkan
dan realitas yang engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan
kebenaran.”
“Jika aku telah melihat,” kataku
pula, “melalui Engkaulah aku melihat, dan jika aku telah mendengar, melalui
Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau, barulah aku mendengar.”
Kemudian kuucapkan berbagai pujian
kepda-Nya. Karena itu Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehingga aku dapat
melayang-layang memandangi alam kebesaran-Nya, dan hal-hal menakjubkan dari
ciptaan-Nya. Karena mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia
menguatkan diriku dengan kekuatan-Nya sendiri dan mendandani diriku dengan
perhiasan-perhiasan-Nya sendiri.
Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke
atas kepalaku dan membuka pintu istana keleburan untukku. Setelah Ia melihat
betapa sifat-sifatku lebur ke dalam sifat-sifat-Nya, dihadiahkan-Nya kepadaku
dalam wujud-Nya sendiri. Maka terciptalah keleburan dan punahlah perpisahan.
“Kepusan Kami adalah kepuasanmu.”
Katan-Nya, “dan kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak mengandung
kecemaran dan tak seorang pun akan menghukummu karena ke aku-anmu.”
Kemudian Dia menyuruhku untuk
merasakan hunjaman rasa cemburu dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali.
Dari dalam api pengujian itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia
bertanya :
“Siapakah yang memiliki kerajaan
ini?”
“Engkau,” jawabku.
“Siapakah yang memiliki kekuasaan?”
“Engkau,” jawabku.
“Siapakah yang memiliki kehendak?”
“Engkau,” jawabku.
Karena jawaban-jwabanku itu persis
seperti yang didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukan-Nya kepadaku
betapa jika bukan karena belaskasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang,
dan jika bukan karena cinta-Nya segala sesuatu telah di binasakan oleh ke-Maha
Perkasaan-Nya. Dia memandang ku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium
Yang Maha Memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat.
Di dalam kemabukan itu setiap lembah
ku terjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Ku
pacu kuda pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak
ada yang lebih baik daripada kepapan dan tidak ada yang lebih baik daripada
ketidakberdayaan. Tiada pelita yang lebih terang daripada keheningandan tiada kata-kata
yang lebih merdu daripada kebisuan. Aku menghuni istana keheningan, aku
mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat sampai ke
akar-akarnya. Dia amelihat bertapa jasmani dan rohaniku bersih dari kilasan
hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam
dan diberikan-Nya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan.
Kini telah ku miliki sebuah
lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan nur Ilahi, dan mata yang
telah ditempa oleh tangan-Nya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan
kekuasaan-Nya-lah aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, maka aku tidak
akan pernah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku
adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah
tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan. Aku tidak berbicara melalui diriku
sendiri sebagi seorang pemberi peringatan. Dia-lah yang menggerakkan lidahku
sesuai dengan kehendak-Nya sedangkan aku hanyalah seseorang yang menyampaikan.
Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku.
Setelah memuliakan diriku, Dia
berkata : “Hamba-hamba Ku ingin bertemu denganmu.”
“Bukanlah keinginanku untuk menemui
mereka.” Jawabku.
“Tetapi jika Engkau menghendakiku
untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menentang kehendak-Mu. Hiasilah
diriku dengan ke Esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang
terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta
semata-mata, bukan diriku ini.”
Keinginanku ini dikabulkanNya. Ditaruh-Nya
mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan
jasmaniku.
Setelah itu Dia berkata : “Temuilah
hamba-hamba-Ku itu.”
Aku pun berjalan selangkah menjauhi
hadirat-Nya, Tetapi pada langkah yang ke dua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah
olehku seruan :
“Bawalah kembali kekasih-Ku kemari.
Ia tidak dapat hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalan pun yang diketahuinya
keculi jalan yang menuju Aku.”
Setelah aku mencapai taraf peleburan
ke dalam keesaan ... itulah saat pertama aku menatap Yang Esa ---
bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada di kaki bukit
pemahaman : Kisah Abu Yazid. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh
yang berasal dari keesaan dan dengan sayap keabadian. Setelah terlepas dari
segala sesuatu yang diciptakan-Nya, akupun berkata : “Aku telah sampai kepada
Sang Pencipta.”
Kemudian kutengadahkan kepalaku dari
lembah kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pernah terulang di
sepanjang zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam
keleburan-Nya yang luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan-Nya dan
selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan-Nya. Setelah berakhir masa
sembilan puluh ribu tahun terlihatlah olehku Abu Yazid, dan segala yang
terpandang olehku adalah aku sendiri.
Kemudian aku jelajahi empat ribu
padang belantara. Ketika sampai ke akhir penjelajahan itu terlihatlah olehku
bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka ku lanjutkan pula
pengebaraan yang tak berkwsudahan itu untuk beberapa lama, aku katakan: “Tidak
ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi
daripada yang telah ku capai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi
daripada ini.”
Tetapi ketika ku tajamkan pandangan
ternyata kepalaku masih berada di tapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku
bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah
sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian
tidak dapat ku bayangkan.
Kemudian ruhku menembus segala
penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukan kepada ruhku itu
tetapi ia tidak perduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya perduli?
Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak diperdulikannya. Ketika ruhku
mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad saw. Terlihatlah olehku
seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya
kucercahkan kaki ke dalam yang pertama di antara lautan-alutan api itu, niscaya
aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehingga aku jadi sirna.
Tetapi betapa pun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang
perkemahan Muhammad, Rasulullah. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah,
tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad.
Kemudian Abu Yazid berkata : “Ya
Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku
tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat
menembus ke akuan ini. Apakah yang harus ku lakukan.?”
Maka terdengarlah perintah : “Untuk
melepaskan ke akuan itu, ikutilah kekasih Kami, Muhammad si orang Arab. Usaplah
matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya.”
ABU YAZID DAN YAHYA BIN MU’ADZ
Yahya bin Mu’adz menulis surat
kepada Abu Yazid : “Apakah katamu mengenai seseorang yang telah mereguk secawan
arak dan menjadi mabuk tiada henti-hentinya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Abu Yazid.
“Yang ku ketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah
mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga,”
“Yahya bin Mu’adz menyurati lagi :
“Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita
adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan
rahasia itu kepadamu.”
Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong
roti dengan pesan : “Syeikh harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya
dari air zamzam.”
Di dalam jawabannya Abu Yazid
berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya bin Mu’adz itu :
“Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya,
pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan pohon Tuba. Tetapi roti yang
engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang mengatakan air apa
yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa
yang telah engkau taburkan.”
Maka Yahya bin Mu’adz ingin sekali
mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu shalat ‘Isa. Yahya bin Mu’adz
berkisah sebagai berikut :
Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu
Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke
suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti
yang dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku
Abu Yazid sedang Shalat “Isa. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya
sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam
kudengar Abu Yazid berdoa. Ketika fajar tiba, kudengar Abu Yazid berkata di
dalam doanya : “Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima
kehormatan-kehormatan ini.”
Setelah sadar , Yahya mengucapkan
salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam
tadi. Abu Yazid menjawab : “Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan
kepadaku. Tetapi tak satu pun yang kuinginkan karena semuanya adalah
kehormatan-kehormatan yang membutakan mata.”
“Guru mengapakah engkau tidak
meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja di antara sekalian raja
dan pernah berkata : “Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki?”
Yahya bertanya.
“Diamlah,” sela Abu Yazid. “Aku
cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada
sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya apakah
peduliku. Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya. Yahya. Hanya Dia, dan bukan
siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.”
“Demi keagungan Allah,” Yahya
bermohon, “berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah
ditawarkan kepadamu malam tadi.”
“Seandainya engkau memperoleh
kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada
Allah, kekudusan “Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa
belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala
sesuatu.” Jawab Abu Yazid. “Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan
rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada
sesuatu hal; maka hal itu yang akan membutakan matamu.”
ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA
Ada seorang pertapa di antara
tokoh-tokoh suci terkenal di Bustham. Ia mempunyai banyak pengikut dan
pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang
diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu
Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau.
Pada suatu hari berkatalah ia kepada
Abu Yazid : “Pada hari ini genaplah tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan
memanjatkan doa sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun
pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau
demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan
ceramah-ceramahmu.”
“Walaupun engkau berpuasa siang
malam selama tiga ratus tahun, sedikit pun dari ceramah-ceramah ku ini tidak
akan dapat engkau hayati.”
“Mengapakah demikian?” tanya si
murid.
“Karena matamu tertutup oleh dirimu
sendiri,” jawab Abu Yazid.
“Apakah yang harus ku lakukan?,
tanya si murid pula.
“Jika ku katakan, pasti engkau tidak
mau menerimanya.”
“Akan ku terima! Katakanlah kepadaku
agar ku lakukan seperti yang engkau petuahkan.”
“Baiklah!, jawab Abu Yazid.
“Sekarang ini juga cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang
sedang engkau kenakan ini dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu
domba. Gantungkan sebungkus kacang di lehermu, kemudian pergilah ke tempat
ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan kepada mereka : “Akan
ku berikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku.” Dengan
cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat-tempat di
mana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan.”
“Maha Besar Allah! Tiada Tuhan
kecuali Allah,” cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu.
“Jika seorang kafir mengucapkan
kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim,” kata Abu Yazid. “Tetapi
dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah.”
“Mengapa begitu?”, tanya si murid.
“Karena engkau merasa bahwa dirimu
terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah ku katakan tadi. Kemudian engkau
mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukan bahwa engkau adalah seorang
penting, bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah
mempersekutukan Allah.”
“Saran-saran mu tadi tidak dapat ku
laksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain.” Si murid berkeberatan.
“Hanya itulah yang dapat ku sarankan,”
Abu Yazid menegaskan.
“Aku tak sanggup melaksanakannya,”
si murid mengulangi kata-katanya.
“Bukankah telah kukatakan bahwa
engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti
kata-kataku?, kata Abu Yazid.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI ABU YAZID
Abu Yazid berkata : Dua belas tahun
lamanya aku menjadi pandai besi diriku sendiri. Ku lemparkan diriku sendiri ke
dalam tungku disiplin sampai merah membara dan dalam nyala ikhtiar yang keras.
Kemudian ku taruh diriku ke atas alas penyesalan. Lalu ku pukul dengan martil
pengutukan diri sendiri, sehingga akhirnya dapatlah ku tempa sebuah cermin
diriku sendiri dan cermin itu senantiasa kupoles dengan segala macam kebaktian
dan kepatuhan kepada Allah. Setelah itu setahun lamanya aku menatapi bayanganku
sendiri di dalam cermin itu dan terlihatlah olehku betapa di pinggangku melilit
sabuk kesesatan, kegenitan dan pemujaan diri sendiri yang hanya dimiliki oleh
orang-orang kafir. Hal itu adalah karena aku membanggakan kepatuhan-kepatuhanku
itu dan memuji perbuatan-perbuatanku tersebut. Lima thaun lamanya aku bersusah
payah sehingga sabuk itu terlepas dari pinggangku, dan jadilah aku seorang
Muslim yang baru. Aku memandang semua hamba Allah dan tampaklah olehku bahwa
mereka semua mati. Empat kali kuucapkan Allahu Akbar di atas jasad-jasad
mereka, dan setelah dengan pertolongan Allah aku menguburkan mereka tanpa
menyeret-nyeret tubuh mereka, berjumpalah aku dengan Allah.”
oooOOOooo
Setiap kali Abu Yazid tiba di depan
masjid, sesaat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.
“Mengapa engkau selalu berlaku
demikian?” tanya seseorang kepadanya.
“Aku merasa diriku sebagai seorang
wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid,”
jawabnya.
oooOOOooo
Suatu ketika Abu Yazid melakukan
perjalanan ke Hijaz, tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi.
“Di waktu yang sudah-sudah engkau
tidak pernah membatalkan niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?”,
seseorang bertanya kepada Abu Yazid.
“Baru saja aku palingkan wajahku ke
jalan”, jawab Abu Yazid, “terlihatlah olehku seorang hitam yang menghadang
dengan pedang terhunus dan berkata : “Jika engkau kembali, selamat dan
sejahtera lah engkau. Jika tidak, akan ku tebas kepalamu. Engkau telah
meninggalkan Allah di Bustham untuk pergi ke rumahnya.”
oooOOOooo
Abu Yazid mengisahkan : Di tengah
jalan, aku bertemu dengan seorang lelaki. Ia bertanya kepadaku :
“Hendak kemanakah engkau?”
“Ke Tanah Suci” jawabku.
“Berapa banyakkah uang yang engkau
bawa?”
“Dua ratus dirham.”
“Berikanlah uang itu kepadaku,”
lelaki itu mendesak. “Aku adalah seorang yang telah berkeluarga. Kelilingilah
diriku sebanyak tujuh kali, maka selesailah ibadah hajimu itu.”
Aku menuruti kata-katanya kemudian
kembali ke rumah.
oooOOOooo
‘Umar meriwayatkan bahwa apabila Abu
Yazid ingin menyendiri, baik untuk beribadah maupun utuk menerungi Allah, maka
ia masuk ke dalam kamarnya dan dengan cermat menutupi setiap celah dan lobang
di dinding kamar itu. Mengenai tingkah lakunya ini Abu Yazid menjelaskan :
“Aku khawatir kalau ada suara atau
kebisingan yang akan mengganggu.”
Sudah pasti yang dikatakannya itu
hanya sebuah dalih semata-mata.
oooOOOooo
Isa al Busthami meriwayatkan :
Selama tiga belas tahun bergaul dengan Syaikh Abu Yazid, tak pernah terdengar
olehku ia mengucapkan sepatah kata pun. Demikianlah kebiasaannya, senantiasa
menekurkan kepala ke atas kedua lututnya, kadang menengadahkan, mengeluh dan
kembali ke dala perenungannya.
Mengenai hal ini Sahlagi
mengomentari, memang demikianlah tingkah laku Abu Yazid apabila berada dalam
keadaan “gundah” tetapi apabila berada dalam keadaan “lapang” setiap orang akan
mendapatkan manfaat dari ceramah-ceramahnya.
“Pada suatu ketika,” Sahlagi
bercerita : “Ketika Abu Yazid sedang berkhalwat, terdengarlah ia mengucapkan
kata-kata : “Maha besar aku, Betapa mulia diriku ini.” Ketika ia sadar, murid-muridnya menyampaikan kata-kata
yang diucapkan lidahnya tadi kepadanya. Maka, Abu Yazid menjawab : “Memusuhi
Allah adalah sama dengan memusuhi Abu Yazid. Jika aku mengucapkan kata-kata
seperti itu sekali lagi, cincanglah tubuhku ini.”
“Kemudian kepada setiap muridnya
diberikannya sebuah pisau dengan pesan : “Jika kata-kata tadi kuucapkan lagi,
bunuhlah aku dengan pisau ini.”
“Tetapi apa nyana, untuk
keduakalinya Abu Yazid mengucapkan kata-kata yang sama. Murid-muridnya hendak
membunuhnya. Tetapi seketika itu juga tubuh Abu Yazid menggelembung dan
memenuhi seluruh ruangan. Para sahabat melepaskan bata-bata dari dinding
ruangan itu sambil menghujamkan pisau ke tubuh Abu Yazid. Tetapi pisau-pisau
itu bagai menikam air dan pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak berakibat
apa-apa. Beberapa saat kemudian tubuh yang menggelembung tadi menciut kembali dan
terlihatlah Abu Yazid yang bertubuh kecil seperti seekor burung pipit sedang
duduk di sajadah. Sahabat-sahabatnya menghampirinya dan mengatakan apa yang
telah terjadi. Abu Yazid berkata :
“Yang kalian saksikan sekarang
inilah Abu Yazid, yang tadi bukan Abu Yazid.
oooOOOooo
Suatu ketika Abu Yazid memegang
sebuah apel merah di tangannya dan memandanginya.
“Satu buah apel yang indah,” kata
Abu Yazid. Di saat itu juga sebuah suara lberkata di dalam batinnya :
“Abu Yazid, tidakkah engkau
mempunyai malu untuk memberikan nama-Ku kepada sebuah apel!?”
Maka, empat puluh hari lamanya
lupalah Abu Yazid akan segala sesuatu kecuali nama Allah.
“Aku telah bersumpah,” Syeikh Abu
Yazid menyatakan, “bahwa aku tidak akan memakan buah-buahan dari Bustham selama
hidupku.”
oooOOOooo
Abu Yazid mengisahkan : Suatu hari
ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku
adalah syeikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan
olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit
dan berangkat ke Khurasan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah
tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk
membukakan diriku.
Tiga hari tiga malam aku tinggal di
persinggahan itu. Pada hari yang keempat kulihat seseorang yang bermata satu
dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah
mengamati dirinya dengan seksasma, terlihatlah olehku tanda-tanda kesadaran
Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu
segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku.
“Sejauh ini engkau memanggilku,”
katanya, hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang
terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?.”
Aku jatuh lunglai. Kemudian aku
bertanya kepada orang itu : “Dari manakah engkau datang?.”
“Sejak engkau bersumpah itu telah
beribu-ribu mil yang ku tempuh,” kemudian ia menambahkan,” Berhati-hatilah Abu
Yazid! Jagalah hatimu!.”
Setelah berkata demikian ia
berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu.
oooOOOooo
Dzun Nun mengirimkan sebuah sajadah
kepada Abu Yazid. Tetapi Abu Yazid mengembalikannya kepada Dzun Nun sambil
berpesan : “Apakah perluku dengan sebuah sajadah?” Kirimkanlah sebuah bantal
sebagai tempatku bersandar!.” Dengan ucapan tersebut Abu Yazid ingin mengatakan
bahwa ia telah berhasil mencapai tujuan.
Maka Dzun Nun mengirimkan sebuah
bantal yang empuk. Tetapi bantal itu pun dikembalikan Abu Yazid karena pada
saat itu ia telah bertaubat dan tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang.
Mengenai perbuatannya ini Abu Yazid mengatakan : “Manusia yang berbantalkan
karunia dan kasih Allah tidak membutuhkan bantal dari salah seorang di antara
hamba-Nya.”
oooOOOooo
Abu Yazid berkisah : Suatu ketika
aku bermalam di padang pasir. Ku tutupi kepalaku dengan pakaian dan aku pun
tertidur. Tanpa disangka-sangka aku mengalami sesuatu (yang dimaksudkan adalah
mimpi berahi) sehingga aku harus mandi. Tetapi malam itu terlampau dingin, dan
ketika terjaga aku merasa enggan sekali untuk bersuci dengan air dingin.
“Tunggulah sampai matahari tinggi!.” Batinku berkata.
Setelah menyadari betapa diriku
enggan dan tidak memperdulikan kewajiban-kewajiban agama itu, aku segera
bangkit, kulumerkan salju dengan jubahku lalu aku mandi. Jubah yang basah itu
kukenaan kembali sehingga aku jatuh pingsan kedinginan. Beberapa saat kemudian
aku siuman, ternyata jubahku telah kering.
oooOOOooo
Abu Yazid sering berjalan-jalan
dalam sebuah pekuburan. Pada suatu malam ketika ia pulang dari pekuburan itu ia
berpapasan dengan seorang pemuda bangsawan yang memainkan sebuah kecapi.
“Semoga Allah melindungi kita!.” Seru Abu Yazid.
Mendengar seruan itu si pemuda
menyerang Abu Yazid dan memukulkan kecapi itu ke kepala Abu Yazid sehingga
kepalanya berdarah dan kecapi itu sendiri pecah. Ternyata si pemuda dalam
keadaan mabuk dan tidak menyadari siapakah yang diserangnya itu.
Abu Yazid terus pulang dan ketika
hari telah siang, dipanggilnyalah salah seorang di antara murid-muridnya.
“Berapakah harga sebuah kecapi?”,
tanya Abu Yazid kepadanya.
Si murid memberitahu harganya.
Dengan secarik kain dibungkusnya uang seharga kecapi ditambah dengan makanan
yang manis-manis, lalu dikirimkannya kepada si pemuda.
“Sampaikan kepada si pemuda itu
bahwa Abu Yazid meminta maaf kepadanya. Katakan kepadanya bahwa tadi malam ia
menyerang Abu Yazid dengan kecapinya sehingga kecapi itu pecah. Sebagai
gantinya terimalah uang ini dan belilah kecapi yang baru. Sedangkan
makanan-makanan yang manis ini adalah untuk menawarkan kedukaan hatimu karena
kecapi milikmu itu telah pecah.”
Ketika si pemuda bangsawan itu
menyadari perbuatan yang telah dilakukannya, ia pun mendatangi Abu Yazid untuk
memohon maaf. Ia bertaubat. Begitu pula banyak pemuda-pemuda lain yang
menyertainya.
oooOOOooo
Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan
dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari
arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir ke pinggir
untuk memberi jalan kepada binatang itu.
Salah seorang murid tidak menyetujui
perbuatan Abu Yazid ini dan berkata : “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan
manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah raja di antara
kaum mistik,” tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya
yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan
seperti itu?”
Abu Yazid menjawab : “Anak muda,
anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku : “Apakah dosaku dan apakah
pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau
mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik?”
Begitulah yang sampai ke dalam
pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya.”
oooOOOooo
Pada suatu hari Abu Yazid sedang menyusuri
sebuah jalan ketika seekor anjing berlari-lari di sampingnya. Melihal hal ini
Abu Yazid segera mengangkat jubahnya, tetapi anjing berkata :
“Tubuhku kering dan aku tidak
melakukan kesalahan apa-apa. Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya
dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, selesailah persoalan di antara
kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi, dirimu
tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dalam tujuh samudera.”
Abu Yazid menjawab : “Engkau kotor
secara lahiriah tetapi aku kotor secara batiniah. Marilah kita bersama-sama
berusaha agar kita berdua menjadi bersih.”
Tetapi si anjing menyahut : “Engkau
tidak pantas untuk berjalan bersama-sama dengan diriku dan menjadi sahabatku,
karena semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun
yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu tetapi siapa pun yang
bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak
pernah menyimpan sepotong tulang tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk
makanan esok hari.
Abu Yazid berkata : “Aku tidak
pantas berjalan bersama seekor anjing! Bagaimana aku dapat berjalan bersama Dia
Yang Abadi dan Kekal?” Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada
yang termulia di antara makhluk-Nya melalui yang terhina di antara semuanya!.”
Kemudian Abu Yazid meneruskan
kisahnya :
“Aku sangat berduka, bagaimana aku
dapat menjadi hamba Allah yang patuh? Aku berkata pada diriku sendiri : “Aku
akan pergi kepasar untuk membeli ikat pinggang (yang dikenakan oleh orang-orang
bukan Muslim), dan ikat pinggang itu akan kupakai sehingga namaku menjadi hina
di dalam pandangan orang! Maka pergilah aku ke pasar hendak membeli sebuah ikat
pinggan . Di dalam sebuah toko terlihat olehku ikat pinggang yang sedang
terpajang. “Harganya paling-paling satu dirham.” Kataku dalam hati. Kemudian
aku bertanya kepada pelayan toko itu : “berapa harga ikat pinggang ini?.
“Seribu dinar,” jawabnya. Aku tak dapat berbuat apa-apa, hanya berdiri dengan
kepala tertunduk. Pada saat itu terdengar olehku sebuah seruan dari atas langit
: “Tidak tahukah engkau bahwa dengan harga di bawah seribu dinar orang-orang
tidak akan menjual sebuah sabuk untuk diikatkan ke pinggang seorang manusia
seperti engkau? Mendengar seruan itu hatiku bersorak girang karena tahulah aku
bahwa Allah masih memperhatikan hamba-Nya ini.”
oooOOOooo
Suatu malam Abu Yazid bermimpi
malaikat-malaikat dari langit pertama turun ke bumi. Kepada Abu Yazid mereka
berseru : “Bangkitlah dan marilah berzikir kepada Allah!.”
Abu Yazid menjawab : “Aku tidak
mempunyai lidah untuk berzikir kepada-Nya.”
Malaikat-malaikat dari langit yang
kedua turun pula ke bumi. Mereka menyerukan kata-kata yang sama dan Abu Yazid
memberikan jawaban yang sama, Begitulah seterusnya sehingga malaikat-malaikat
dari langit yang ke tujuh turun. Namun kepada mereka ini pun Abu Yazid
memberikan jawaban yang itu-itu juga. Maka malaikat-malaikat itu bertanya
kepada Abu Yazid :
“Kapankah engkau akan memiliki lidah
untuk berzikir kepada Allah?”
“Apabila penduduk neraka telah tetap
di neraka dan penduduk surga telah tetap di dalam surga dan hari Berbangkit
telah lewat, maka Abu Yazid akan mengelilingi tahta Allah
sambil berseru : “Allah, Allah!.”
oooOOOooo
Di dekat rumah Abu Yazid tinggal
seorang penganut agama Zoroaster. Ia mempunyai seorang anak yang selalu
menangis karena rumah mereka gelap tidak berlampu. Abu Yazid sendiri telah
membawakan sebuah pelita untuk mereka. Si anak segera reda dari tangisnya.
Mereka berkata :
“Karena cahaya Abu Yazid telah
memasuki rumah ini, maka sangat disayangkan apabila kita tetap berada di dalam
kegelapan.”
Mereka segera memeluk agama Islam.
oooOOOooo
Pada suatu malam Abu Yazid tidak
memeproleh kekhusyukan dalam shalatnya. Maka berkatalah ia kepada muridnya :
“Carilah jika ada barang berharga di
dalam rumah ini.”
Murid-muridnya mencari-cari lalu
menemukan setengah tandan anggur. Kemudian Abu Yazid memerintahkan :
“Bawalah anggur-anggur itu dan
berikan kepada orang-orang lain. Rumahku ini bukan toko buah-buahan.”
Setelah itu Abu Yazid dapat
melakukan shalat dengan khusyuk.
oooOOOooo
Pada suatu hari seseorang berkata
kepada Abu Yazid : “Sewaktu ada orang yang meninggal dunia di Tabaristan,
kulihat engkau di sana bersama Khidir as. Dia merangkulkan tangannya ke lehermu
sedang engkau menaruh tanganmu ke punggungnya. Ketika para pengantar pulang
dari pemakaman, kulihat engkau terbang ke angkasa.”
“Ya, segala yang engkau katakan itu
benar-benar terjadi,” jawab Abu Yazid.
oooOOOooo
Pada suatu hari seorang lelaki yang
tidak mempercayai Abu Yazid datang berkunjung untuk mengujinya.
“Katakanlah kepadaku jawaban sesuatu
masalah,” katanya kepada Abu Yazid.
Abu Yazid melihat betapa lelaki itu
tidak mempercayainya di dalam hati. Maka berkatalah Abu Yazid : “Di atas sebuah
gunung ada sebuah gua dan di dalam gua itu ada seorang sahabatku. Mintalah
padanya untuk menjelaskan masalah itu kepadamu.”
Lelaki itu segera pergi ke gua yang
dikatakan Abu Yazid. Tetapi yang dijumpainya di sana adalah seekor naga yang
besar dan sangat menakutkan. Menyaksikan hal ini ia pun jatuh pingsan dan
pakaiannya menjadi kotor. Begitu kembali siuman cepat-cepat ia meninggalkan
tempat itu, tetapi sepatunya tertinggal. Ia lalu kembali kepada Abu Yazid :
Sambil bersujud di kaki Abu Yazid ia bertaubat, lalu Abu Yazid berkata kepaanya
:
“Maha Besar Allah! Engkau tidak
berani mengambil sepatumu hanya karena takut kepada makhluk-Nya. Apabila engkau
takut kepada Allah, bagaimanakah engkau berani mengambil “Rahasia” yang engkau
cari di dalam keingkaranmu?”
oooOOOooo
Pada suatu hari seorang lelaki
datang dan menanyai Abu Yazid tentang hal rasa malu. Abu Yazid memberikan
jawaban dan seketika itu juga orang tersebut berubah menjadi air. Saat kemudian
masuk pula seorang lelaki, setelah melihat genangan air itu ia bertanya kepada
Abu Yazid : “Guru, apakah itu?”
Abu Yazid menjawab : “Seorang lelaki
masuk lalu bertanya tentang rasa malu. Aku memberikan jawaban. Mendengar
penjelasanku itu ia tidak dapat menahan dirinya dan karena sngat malu tubuhnya
berubah menjadi air.”
oooOOOooo
Hatim Tuli berkata kepada
murid-muridnya :
“Barang siapa di antara kamu yang
tidak memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari Berbangkit nanti, ia bukan
muridku,”
Perkataan Hatim ini disampaikan
orang kepada Abu Yazid. Kemudian Abu Yazid menambahkan :
“Barang siapa yang berdiri di tebing
neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian
mengantarkannya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, maka
ia adalah muridku.”
oooOOOooo
Suatu ketika pasukan kaum Muslimin
berperang melawan Bizantium. Mereka hampir dapat dikalahkan musuh. Tiba-tiba
mereka mendengar sebuah seruan : “Abu Yazid, tolonglah!.”
Seketika itu juga api menyembur dari
arah Khurasan sehingga pasukan orang-orang kafir mati ketakutan dan pasukan
kaum Muslimin dapat memenangkan pertempuran.
oooOOOooo
Abu Yazid ditanya orang : “Bagaimana
engkau dapat mencapai tingkat kesalehan yang seperti ini?”
“Pada suatu malam ketika aku masih
kecil,” jawab Abu Yazid, “Aku keluar dari kota Bustham. Bulan bersinar terang
dan bumi tertidur tenang. Tiba-tiba ku lihat suatu kehadiran. Di sisinya ada
delapan belas ribu dunia yang tampaknya sebagai sebuah debu belaka. Hatiku
bergetar kencang lalu hanyut dilanda gelombang ekstase yang dahsyat. Aku
berseru : “Ya Allah, sebuah istana yang sedemikian besarnya tapi sedemikan
kosong. Hasil karya yang sedemikian agung, tapi begitu sepi?! Lalu terdengar
olehku sebuah jawaban dari langit : “Istana ini kosong bukan karena tak seorang
pun memasukinya tetapi karena Kami tidak memperkenankan setiap orang untuk
memasukinya. Tak seorang manusia yang tak mencuci muka pun yang pantas menghuni
istana ini.”
“Maka aku lalu bertekad untuk
mendoakan semua manusia. Kemudian terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk
menjadi penengah manusia adalah Muhammad saw. Oleh karena itu aku hanya
memperhatikan tingkah lakunya sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang
menyeruku : “Karena engkau berjaga-jaga untuk selalu bertingkah laku baik, maka
Aku muliakan namamu sampai hari Berbangkit nanti dan ummat manusia akan
menyebutmu raja para mistik (sufi).”
oooOOOooo
Abu Yazid menyatakan : Sewaktu
pertama kali memasuki Rumah Suci, yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu.
Ketika untuk kedua kalinya memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku adalah
Pemilik Rumah Suci. Tetapi ketika untuk yang ketiga kalinya memasuki Rumah
Suci, baik si Pemilik maupun Rumah Suci itu sendiri tidak terlihat olehku.
Yang dimaksudkan Abu Yazid adalah :
“Aku hilang di dalam Allah sehingga tak sesuatu pun yang terlihat olehku
tentulah Allah.”
Kebenaran penafsiran yang seperti
ini terbukti di dalam anekdot yang berikut ini.
Pada suatu malam seorang lelaki
datang ke rumah Abu Yazid dan memanggilnya.
“Siapakah yang engkau cari?” tanya
Abu Yazid.
“Abu Yazid,” jawab lelaki itu.
“Orang malang! Aku sendiri telah
mencari Abu Yazid selama tiga puluh tahun tetapi tiada jejak atau tanda-tanda
mengenai dirinya yang dapat kutemui,” sahut Abu Yazid.
Ketika pernyataan Abu Yazid itu
disampaikan kepada Dzun Nun, ia berkata :
“Ya Allah, limpahkanlah kasih-Mu
kepada saudaraku Abu Yazid! Ia telah hilang beserta orang-orang yang telah
hilang di dalam Allah.”
oooOOOooo
Sedemikian sempurna kekusyukan Abu
Yazid berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya
yang senantiasa menyertainya selama dua puluh tahun, ia akan bertanya :
“Anakku, siapakah namamu?”
Suatu hari si murid berkata kepada
Abu Yazid : “Guru, engkau mengolok-olokanku. Telah dua puluh tahun aku mengabdi
kepadamu tetapi setiap hari engkau menanyakan namaku!.”
“Anakku,” Abu Yazid menjawab, “aku
tidak memperolok-olokanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah
menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang
lain, segeralah nama itu terlupakan oleh ku.”
oooOOOooo
Abu Yazid berkata : “Allah Yang Maha
Besar telah berkenan menerimaku di dalam dua ribu tingkatan, di dalam setiap
tingkatan itu Dia menawarkan sebuah kerajaan kepadaku tetapi ku tolak. Allah
berkata kepadaku : “Abu Yazid, apakah yang engkau inginkan?”. Aku menjawab “Aku
ingin tidak menginginkan.”
oooOOOooo
“Engkau dapat berjalan di atas
air!”. Orang-orang berkata kepada Abu Yazid.
“Sepotong kayu pun dapat melakukan
hal itu,” jawab Abu Yazid.
“Engkau dapat terbang di angkasa!.”
“Seekor burung pun dapat melakukan
itu.”
“Engkau dapat pergi ke Ka’bah dalam
satu malam!.”
“Setiap orang sakti dapat melakukan
perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam.”
“Jika demikian apakah yang harus
dilakukan oleh manusia-manusia sejati?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid.
Abu Yazid menjawab : “Seorang
manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapa pun kecuali kepada
Allah.”
oooOOOooo
Abu Yazid berkata : “Dunia
telah ku talak tiga. Kemudian seorang diri aku berjalan menuju Yang Sendiri.
Aku berdiri di hadapan hadirat-Nya dan berseru : “Ya Allah, kecuali Engkau
tidak sesuatu pun yang ku inginkan. Apabila Engkau telah kuperoleh, maka
semuanya telah ku peroleh.
“Setelah Allah mengetahu ketulusan
hatiku itu, maka karunia pertama yang diberikan-Nya kepadaku adalam membukakan
selubung keakuan dari depan mataku.”
oooOOOooo
“Apa yang dimaksud dengan Tahta
Allah?” seseorang bertanya kepada Abu Yazid.
“Tahta itu adalah aku,” jawab Abu
Yazid.
“Apakah yang dimaksud dengan
ganjalan kaki Allah?”
“Ganjalan kaki itu adalah aku.”
“Apakah yang dimaksud dengan luh
(tanda peringatan) dan pena Allah?”
“Luh dan pena itu adalah aku.”
“Allah mempunyai hamba-hamba seperti
Ibrahim, Musa dan Isa.”
“Mereka itu adalah aku.”
“Allah mempunyai hamba-hamba seperti
Jibril, Mikail dan Israfil.
“Mereka itu adalah aku.”
Lelaki yang bertanya itu terdiam.
Kemudian Abu Yazid berkata : “Barang siapa yang telah lebur di dalam Allah dan
telah mengetahui realitas mengenai segala sesuatu yang ada, maka segala sesuatu
baginya adalah Allah.”
oooOOOooo
Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah
tujuh puluh kali diterima Allah ke Hadirat-Nya. Setiap kali kembali dari
perjumpaan dengan Allah itu Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang
lantas diputuskannya pula.
Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid
memasuki tempat shalat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya
yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia
berkata kepada Allah :
“Ya Allah, aku tidak membanggakan
disiplin dari yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan
shalat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang
telah kulakukan selam hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku
menamatkan Al-Qur’an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman spiritual
yang telah kualami, doa-doa yang telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan
antara Engkau dan aku. Engkau pun mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala
sesuatu yang telah ku lakukan itu. Semua yang ku katakan ini bukanlah untuk
membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini ku katakan kepada Mu karena
aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu
sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak berarti, anggaplah
tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Torkoman yang berusaha tujuh puluh
tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam kejahilan. Dari padang pasir
aku datang sambil berseru-seru : “Tangri, Tangri! Baru sekarang inilah aku
dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat
melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakan
lidah untuk mengucapkan Syahadah. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah
tanpa sebab. Engkau tidak menerima ummat manusia karena kepatuhan mereka dan
Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu
yang ku lakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan
kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku
karena aku pun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu.”
Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karangan Fariduddin Attar
0 comments:
Posting Komentar