Selasa, 29 Desember 2015

Abu Yazid Al Busthomi Full- Kitab Tadzkirotul Auliya

ABU YAZID AL-BUSTHAMI


ABU YAZID AL-BUSTHAMI : LAHIR DAN MASA REMAJANYA
Kakek Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah seorang di antara orang-orang terkemuka Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia berada di dalam kandungan ibunya.
“Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya,” ibunya sering berkata kepada Abu Yazid. “engkau yang masih beraa di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu ku muntahkan kembali.”
Pernyataan si ibu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
Kepada Abu Yazid pernah ditanyakan, “Apakah yang terbaik bagi seorang manusia di atas jalan ini.”
“Kebahagiaan yang merupakan bakat sejak lahir,” jawab Abu Yazid.
“Jika kebahagiaan seperti itu tidak ada?”
“Sebuah tubuh yang sehat dan kuat.”
“Jika tidak memiliki tubuh yang sehat dan kuat?”
“Pendengaran yang tajam.”
“”Jika tidak memiliki pendengaran yang tajam?”
“Hati yang mengetahui.”
“Jika tidak memiliki hati yang mengetahui?”
“Mata yang melihat.”
“Jika tidak memiliki mata yang melihat?”
“Kematian yang segera.”
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari al-Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surah Lukman yang berbunyi : “Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu,” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya : “Izinkan aku pulang! Ada yang hendak kukatakan kepada ibuku.”
Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata :
“Thaifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah suatu kejadian yang istimewa?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid. “Pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua buah rumah dalam waktu bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata.
“Anakku”, jawab ibunya. “aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajiban terhadapku. Pergilah engkau dan jadilah sorang hamba Allah.”
Di kemudian hari Abu Yazid berkata :
“Kewajiban yang kukira sebagai kewajiban yang paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut : Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun pergi mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong. Oleh karena itu pergilah aku ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur.”
“Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku.
“Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?”, ibu bertanya, “Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku : “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka.”
“Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali.”
Setelah si ibu memasrahkan anaknya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk di hadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya.
“Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.”
“Jendela? Jendela mana?” tanya Abu Yazid.
“Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”
“Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini.”
“Jika demikian,” kata si guru, “kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai.”
oooOOOooo
Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat tertentu ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah, karena itu segera ia memutar langkahnya.
“Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah,” Abu Yazid berkata mengenai guru tadi. “Niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang telah dilakukannya.”
Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid tersebut.
oooOOOooo
Perjalanan Abu Yazid menuju Ka’bah memakan waktu dua belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bersua dengan seorang pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu. Abu Yazid segera membentangkan sajadahnya dan melakukan shalat sunnat dua raka’at. Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan “Ka’bah, bukanlah seperti serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap saat.”
Akhirnya sampailah ia ke Ka’bah tetapi ia tak pergi ke Madinah pada tahun itu juga.
“Tidaklah pantas perkunjungan ke Madinah hanya sebab pelengkap saja,” Abu Yazid menjelaskan. “Saya akan mengenakan pakaian haji yang berbeda untuk mengunjungi Madinah.”
Tahun berikutnya, sekali lagi ia menunaikan ibadah haji. Ia mengenakan pakain yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya.
“Siapakah orang-orang ini?” ia bertanya sambil melihat ke belakang.
“Mereka ingin berjalan bersamamu,” terdengar sebuah jawaban.
“Ya Allah!.” Abu Yazid bermohon, “Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hamba-Mu karenaku.”
Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah selesai melakukan shalat Shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka : “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan, tiada Tuhan selain Aku dan karena itu sembahlah Aku.”
: Abu Yazid sudah gila!.” Seru mereka kemudian meninggalkannya.
Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah perjalanan ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertuliskan : Tuli, bisu, buta....... mereka tidak memahami.
Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak itu lalu menciuminya. “Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi.” gumamnya. “yang menjadi lebur di dalam Allah.... ia tidak lagi mempunyai telinga untuk mendengar suara abadi, tidak lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran Allah, dan tidak lagi mempunyai akal walaupun untuk merenungi secuil pengetahuan Allah yang sejati. Tulisan ini adalah mengenai dirinya.”
Suatu hari Abu Yazid melakukan perjalanan. Ia membawa seekor unta sebagai tungggangan dan pemikul perbekalannya.
“Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!.” Seseorang berseru.
Setelah mendengar suara ini berulang kali, akhirnya Abu Yazid menjawab.
“Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban.”
Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada di atas punggung unta tersebut, barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut.
“Maha Besar Allah, benar-benar menkajubkan!”, seru si pemuda.
“Jika ku sembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku,” kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?!”
oooOOOooo
Setelah Abu Yazid mengunjungi kota Madinah, datang sebuah perintah yang menyuruhnya pulang untuk merawat ibunya. Ditemani serombongan oarang, ia pun berangkat menuju Bustham. Berita kedatangan Abu Yazid tersebar di kota Bustham dan para penduduk kota datang untuk menyongsongnya. Pasti Abu Yazid akan sibuk melayani mereka dan membuat ia akan terhalang untuk menyegerakan perintah Allah itu. Oleh karena itu ketika penduduk kota telah hampu sampai, dari lengan bajunya ia mengeluarkan sepotong roti, sedang saat itu adalah Bulan Ramadhan, tetapi dengan tenang Abu Yazid memakan roti tersebut. Begitu penduduk Bustham menyaksikan perbuatan Abu Yazid, mereka lalu berpaling darinya.
“Tidakkah kalian saksikan,” kata Abu Yazid kepada sahabat-sahabatnya. “betapa aku mematuhi sebuah perintah dari hukum suci, tapi semua orang berpaling dariku.”
Dengan sabar Abu Yazid menunggu samapai malam tiba. Tengah malam barulah ia memasuki kota Bustham. Ketika sampai di depan rumah ibunya, untuk beberapa lama ia berdiri mendengarkan ibunya yang sedang bersuci lalu shalat.
“Ya Allah, periharalah dia yang terbuang.” Terdengar doa ibunya,”cenderungkanlah hati para syeikh kepada dirinya dan berikanlah petunjuk kepadanya untuk melakukan hal-hal yang baik.”
Mendengar doa ibunya itu Abu Yazid menangis. Kemudian ia mengetuk pintu.
“Siapakah itu?” tanya ibunya dari dalam.
“Anakmu yang terbuang,” sahut Abu Yazid.
Dengan menangis si ibu membukakan pintu. Ternyata penglihatan ibunya sudah kabur.
“Thaifur,” si ibu berkata kepada puteranya. “Tahukah engkau mengapa mataku menjadi kabur seperti ini?” Karena aku telah sedemikian banyaknya meneteskan air mata sejak berpisah denganmu. Dan punggungku telah bongkok karena beban duka yang kutanggungkan itu.”


MI’RAJ ABU YAZID
Abu Yazid mengisahkan : Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukan kebesaran-Nya kepadaku.
Setelah menatap Allah kau pun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hahekat diriku ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibanding dengan cahaya-Nya: Kebesaran diriku sangat kecil jika dibanding dengan kebesaran-Nya; kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemulian-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam ddiriku segalanya kotor dan cemar.
Bila ku renungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah ku lakukan, hanyalah karena ke Maha Kuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah., bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya.
Aku bertanya : “Ya Allah, apakah ini?”
Dia menjawab : “Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatu pun juga kecuali Aku.”
Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan diriku. Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikit pun tidak tergoyahkan oleh karena adaku. Demikian lah Allah, kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di dalam realitas-Nya.
Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya. Ku tutup telinga dari derap perjuangan. Lidah yang meminta-minta, ku telan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Ku campakkan pengetahuan yang telah ku tuntut dan ku bungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya. Di sana aku berdiam dengan teenang. Dengan karunia Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar.
Allah menaruh belah kasihan kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengeteahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokan ku. Untuk ku diciptakan-Nya sebuah mata dari cahaya-Nya, semua makhluk ku lihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu, aku berkata-kata kepada Allah dengan pengetahuan Allah ku peroleh sebuah pengetahuan, dan dengan cahaya Allah aku menatap kepada-Nya.
Allah berkata kepada ku : Wahai engkau yang tak memiliki sesutau pun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah mempunyai kekayaan!.”
“Ya Allah,”, jawabku. “Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milik ku tanpa aku, daripada aku menjadi milik ku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepada-Mu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau.”
Allah berkata : “Oleh karena itu, perhatikanlah Hukum-Ku dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar kami berterima kasih akan segala jerih payahmu.”
“Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri daripada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya.”
“Dari siapakah engkau belajar?” tanya Allah.
“Ia yang Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya,” jawabku. “karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghassratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab.
Setelah ia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasan-Nya. Dia menerangi diriku, menyelamatkanku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dia-lah aku hidup dan karena kelimpahan-Nya lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku.
“Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki!”, kata Allah.
“Engkaulah yang ku inginkan,” jawabku,” karena Engkau lebih dari kelimpahan, lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Jangan Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau.”
Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia :
“Kebenaranlah yang engkau ucapkan dan realitas yang engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan kebenaran.”
Jika aku telah melihat,” kataku pula, “melalui Engkaulah aku melihat, dan jika aku telah mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau, barulah aku mendengar.”
Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepda-Nya. Karena itu Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehingga aku dapat melayang-layang memandangi alam kebesaran-Nya, dan hal-hal menakjubkan dari ciptaan-Nya. Karena mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia menguatkan diriku dengan kekuatan-Nya sendiri dan mendandani diriku dengan perhiasan-perhiasan-Nya sendiri.
Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan membuka pintu istana keleburan untukku. Setelah Ia melihat betapa sifat-sifatku lebur ke dalam sifat-sifat-Nya, dihadiahkan-Nya kepadaku dalam wujud-Nya sendiri. Maka terciptalah keleburan dan punahlah perpisahan.
“Kepusan Kami adalah kepuasanmu.” Katan-Nya, “dan kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak mengandung kecemaran dan tak seorang pun akan menghukummu karena ke aku-anmu.”
Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman rasa cemburu dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api pengujian itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya :
“Siapakah yang memiliki kerajaan ini?”
“Engkau,” jawabku.
“Siapakah yang memiliki kekuasaan?”
“Engkau,” jawabku.
“Siapakah yang memiliki kehendak?”
“Engkau,” jawabku.
Karena jawaban-jwabanku itu persis seperti yang didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukan-Nya kepadaku betapa jika bukan karena belaskasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika bukan karena cinta-Nya segala sesuatu telah di binasakan oleh ke-Maha Perkasaan-Nya. Dia memandang ku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium Yang Maha Memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat.
Di dalam kemabukan itu setiap lembah ku terjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Ku pacu kuda pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada kepapan dan tidak ada yang lebih baik daripada ketidakberdayaan. Tiada pelita yang lebih terang daripada keheningandan tiada kata-kata yang lebih merdu daripada kebisuan. Aku menghuni istana keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat sampai ke akar-akarnya. Dia amelihat bertapa jasmani dan rohaniku bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam dan diberikan-Nya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan.
Kini telah ku miliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan nur Ilahi, dan mata yang telah ditempa oleh tangan-Nya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaan-Nya-lah aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, maka aku tidak akan pernah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan. Aku tidak berbicara melalui diriku sendiri sebagi seorang pemberi peringatan. Dia-lah yang menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya sedangkan aku hanyalah seseorang yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku.
Setelah memuliakan diriku, Dia berkata : “Hamba-hamba Ku ingin bertemu denganmu.”
“Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka.” Jawabku.
“Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menentang kehendak-Mu. Hiasilah diriku dengan ke Esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku ini.”
Keinginanku ini dikabulkanNya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku.
Setelah itu Dia berkata : “Temuilah hamba-hamba-Ku itu.”
Aku pun berjalan selangkah menjauhi hadirat-Nya, Tetapi pada langkah yang ke dua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah olehku seruan :
“Bawalah kembali kekasih-Ku kemari. Ia tidak dapat hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalan pun yang diketahuinya keculi jalan yang menuju Aku.”
Setelah aku mencapai taraf peleburan ke dalam keesaan ... itulah saat pertama aku menatap Yang Esa --- bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada di kaki bukit pemahaman : Kisah Abu Yazid. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal dari keesaan dan dengan sayap keabadian. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, akupun berkata : “Aku telah sampai kepada Sang Pencipta.”
Kemudian kutengadahkan kepalaku dari lembah kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam keleburan-Nya yang luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan-Nya dan selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan-Nya. Setelah berakhir masa sembilan puluh ribu tahun terlihatlah olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku adalah aku sendiri.
Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai ke akhir penjelajahan itu terlihatlah olehku bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka ku lanjutkan pula pengebaraan yang tak berkwsudahan itu untuk beberapa lama, aku katakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah ku capai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini.”
Tetapi ketika ku tajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di tapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat ku bayangkan.
Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukan kepada ruhku itu tetapi ia tidak perduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya perduli? Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak diperdulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad saw. Terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kucercahkan kaki ke dalam yang pertama di antara lautan-alutan api itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehingga aku jadi sirna. Tetapi betapa pun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad, Rasulullah. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad.
Kemudian Abu Yazid berkata : “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus ke akuan ini. Apakah yang harus ku lakukan.?”
Maka terdengarlah perintah : “Untuk melepaskan ke akuan itu, ikutilah kekasih Kami, Muhammad si orang Arab. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya.”

ABU YAZID DAN YAHYA BIN MU’ADZ
Yahya bin Mu’adz menulis surat kepada Abu Yazid : “Apakah katamu mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada henti-hentinya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Abu Yazid. “Yang ku ketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga,”
“Yahya bin Mu’adz menyurati lagi : “Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu.”
Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan : “Syeikh harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zamzam.”
Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya bin Mu’adz itu : “Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan pohon Tuba. Tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan.”
Maka Yahya bin Mu’adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu shalat ‘Isa. Yahya bin Mu’adz berkisah sebagai berikut :
Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti yang dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang Shalat “Isa. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berdoa. Ketika fajar tiba, kudengar Abu Yazid berkata di dalam doanya : “Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini.”
Setelah sadar , Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab : “Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satu pun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan mata.”
“Guru mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja di antara sekalian raja dan pernah berkata : “Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki?” Yahya bertanya.
“Diamlah,” sela Abu Yazid. “Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya apakah peduliku. Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya. Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.”
“Demi keagungan Allah,” Yahya bermohon, “berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi.”
“Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan “Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu.” Jawab Abu Yazid. “Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal; maka hal itu yang akan membutakan matamu.”

ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA
Ada seorang pertapa di antara tokoh-tokoh suci terkenal di Bustham. Ia mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau.
Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid : “Pada hari ini genaplah tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan doa sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu.”
“Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikit pun dari ceramah-ceramah ku ini tidak akan dapat engkau hayati.”
“Mengapakah demikian?” tanya si murid.
“Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri,” jawab Abu Yazid.
“Apakah yang harus ku lakukan?, tanya si murid pula.
“Jika ku katakan, pasti engkau tidak mau menerimanya.”
“Akan ku terima! Katakanlah kepadaku agar ku lakukan seperti yang engkau petuahkan.”
“Baiklah!, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan ini dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang di lehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan kepada mereka : “Akan ku berikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku.” Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat-tempat di mana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan.”
“Maha Besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah,” cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu.
“Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim,” kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah.”
“Mengapa begitu?”, tanya si murid.
“Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah ku katakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukan bahwa engkau adalah seorang penting, bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah.”
“Saran-saran mu tadi tidak dapat ku laksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain.” Si murid berkeberatan.
“Hanya itulah yang dapat ku sarankan,” Abu Yazid menegaskan.
“Aku tak sanggup melaksanakannya,” si murid mengulangi kata-katanya.
“Bukankah telah kukatakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku?, kata Abu Yazid.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI ABU YAZID
Abu Yazid berkata : Dua belas tahun lamanya aku menjadi pandai besi diriku sendiri. Ku lemparkan diriku sendiri ke dalam tungku disiplin sampai merah membara dan dalam nyala ikhtiar yang keras. Kemudian ku taruh diriku ke atas alas penyesalan. Lalu ku pukul dengan martil pengutukan diri sendiri, sehingga akhirnya dapatlah ku tempa sebuah cermin diriku sendiri dan cermin itu senantiasa kupoles dengan segala macam kebaktian dan kepatuhan kepada Allah. Setelah itu setahun lamanya aku menatapi bayanganku sendiri di dalam cermin itu dan terlihatlah olehku betapa di pinggangku melilit sabuk kesesatan, kegenitan dan pemujaan diri sendiri yang hanya dimiliki oleh orang-orang kafir. Hal itu adalah karena aku membanggakan kepatuhan-kepatuhanku itu dan memuji perbuatan-perbuatanku tersebut. Lima thaun lamanya aku bersusah payah sehingga sabuk itu terlepas dari pinggangku, dan jadilah aku seorang Muslim yang baru. Aku memandang semua hamba Allah dan tampaklah olehku bahwa mereka semua mati. Empat kali kuucapkan Allahu Akbar di atas jasad-jasad mereka, dan setelah dengan pertolongan Allah aku menguburkan mereka tanpa menyeret-nyeret tubuh mereka, berjumpalah aku dengan Allah.”
oooOOOooo
Setiap kali Abu Yazid tiba di depan masjid, sesaat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.
“Mengapa engkau selalu berlaku demikian?” tanya seseorang kepadanya.
“Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid,” jawabnya.
oooOOOooo
Suatu ketika Abu Yazid melakukan perjalanan ke Hijaz, tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi.
“Di waktu yang sudah-sudah engkau tidak pernah membatalkan niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?”, seseorang bertanya kepada Abu Yazid.
“Baru saja aku palingkan wajahku ke jalan”, jawab Abu Yazid, “terlihatlah olehku seorang hitam yang menghadang dengan pedang terhunus dan berkata : “Jika engkau kembali, selamat dan sejahtera lah engkau. Jika tidak, akan ku tebas kepalamu. Engkau telah meninggalkan Allah di Bustham untuk pergi ke rumahnya.”
oooOOOooo
Abu Yazid mengisahkan : Di tengah jalan, aku bertemu dengan seorang lelaki. Ia bertanya kepadaku :
“Hendak kemanakah engkau?”
“Ke Tanah Suci” jawabku.
“Berapa banyakkah uang yang engkau bawa?”
“Dua ratus dirham.”
“Berikanlah uang itu kepadaku,” lelaki itu mendesak. “Aku adalah seorang yang telah berkeluarga. Kelilingilah diriku sebanyak tujuh kali, maka selesailah ibadah hajimu itu.”
Aku menuruti kata-katanya kemudian kembali ke rumah.
oooOOOooo
‘Umar meriwayatkan bahwa apabila Abu Yazid ingin menyendiri, baik untuk beribadah maupun utuk menerungi Allah, maka ia masuk ke dalam kamarnya dan dengan cermat menutupi setiap celah dan lobang di dinding kamar itu. Mengenai tingkah lakunya ini Abu Yazid menjelaskan :
“Aku khawatir kalau ada suara atau kebisingan yang akan mengganggu.”
Sudah pasti yang dikatakannya itu hanya sebuah dalih semata-mata.
oooOOOooo
Isa al Busthami meriwayatkan : Selama tiga belas tahun bergaul dengan Syaikh Abu Yazid, tak pernah terdengar olehku ia mengucapkan sepatah kata pun. Demikianlah kebiasaannya, senantiasa menekurkan kepala ke atas kedua lututnya, kadang menengadahkan, mengeluh dan kembali ke dala perenungannya.
Mengenai hal ini Sahlagi mengomentari, memang demikianlah tingkah laku Abu Yazid apabila berada dalam keadaan “gundah” tetapi apabila berada dalam keadaan “lapang” setiap orang akan mendapatkan manfaat dari ceramah-ceramahnya.
“Pada suatu ketika,” Sahlagi bercerita : “Ketika Abu Yazid sedang berkhalwat, terdengarlah ia mengucapkan kata-kata : “Maha besar aku, Betapa mulia diriku ini.” Ketika ia sadar, murid-muridnya menyampaikan kata-kata yang diucapkan lidahnya tadi kepadanya. Maka, Abu Yazid menjawab : “Memusuhi Allah adalah sama dengan memusuhi Abu Yazid. Jika aku mengucapkan kata-kata seperti itu sekali lagi, cincanglah tubuhku ini.”
“Kemudian kepada setiap muridnya diberikannya sebuah pisau dengan pesan : “Jika kata-kata tadi kuucapkan lagi, bunuhlah aku dengan pisau ini.”
“Tetapi apa nyana, untuk keduakalinya Abu Yazid mengucapkan kata-kata yang sama. Murid-muridnya hendak membunuhnya. Tetapi seketika itu juga tubuh Abu Yazid menggelembung dan memenuhi seluruh ruangan. Para sahabat melepaskan bata-bata dari dinding ruangan itu sambil menghujamkan pisau ke tubuh Abu Yazid. Tetapi pisau-pisau itu bagai menikam air dan pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak berakibat apa-apa. Beberapa saat kemudian tubuh yang menggelembung tadi menciut kembali dan terlihatlah Abu Yazid yang bertubuh kecil seperti seekor burung pipit sedang duduk di sajadah. Sahabat-sahabatnya menghampirinya dan mengatakan apa yang telah terjadi. Abu Yazid berkata :
“Yang kalian saksikan sekarang inilah Abu Yazid, yang tadi bukan Abu Yazid.
oooOOOooo
Suatu ketika Abu Yazid memegang sebuah apel merah di tangannya dan memandanginya.
“Satu buah apel yang indah,” kata Abu Yazid. Di saat itu juga sebuah suara lberkata di dalam batinnya :
“Abu Yazid, tidakkah engkau mempunyai malu untuk memberikan nama-Ku kepada sebuah apel!?”
Maka, empat puluh hari lamanya lupalah Abu Yazid akan segala sesuatu kecuali nama Allah.
“Aku telah bersumpah,” Syeikh Abu Yazid menyatakan, “bahwa aku tidak akan memakan buah-buahan dari Bustham selama hidupku.”
oooOOOooo
Abu Yazid mengisahkan : Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah syeikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurasan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan diriku.
Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang keempat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dirinya dengan seksasma, terlihatlah olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku.
“Sejauh ini engkau memanggilku,” katanya, hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?.”
Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu : “Dari manakah engkau datang?.”
“Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang ku tempuh,” kemudian ia menambahkan,” Berhati-hatilah Abu Yazid! Jagalah hatimu!.”
Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu.
oooOOOooo
Dzun Nun mengirimkan sebuah sajadah kepada Abu Yazid. Tetapi Abu Yazid mengembalikannya kepada Dzun Nun sambil berpesan : “Apakah perluku dengan sebuah sajadah?” Kirimkanlah sebuah bantal sebagai tempatku bersandar!.” Dengan ucapan tersebut Abu Yazid ingin mengatakan bahwa ia telah berhasil mencapai tujuan.
Maka Dzun Nun mengirimkan sebuah bantal yang empuk. Tetapi bantal itu pun dikembalikan Abu Yazid karena pada saat itu ia telah bertaubat dan tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. Mengenai perbuatannya ini Abu Yazid mengatakan : “Manusia yang berbantalkan karunia dan kasih Allah tidak membutuhkan bantal dari salah seorang di antara hamba-Nya.”
oooOOOooo
Abu Yazid berkisah : Suatu ketika aku bermalam di padang pasir. Ku tutupi kepalaku dengan pakaian dan aku pun tertidur. Tanpa disangka-sangka aku mengalami sesuatu (yang dimaksudkan adalah mimpi berahi) sehingga aku harus mandi. Tetapi malam itu terlampau dingin, dan ketika terjaga aku merasa enggan sekali untuk bersuci dengan air dingin. “Tunggulah sampai matahari tinggi!.” Batinku berkata.
Setelah menyadari betapa diriku enggan dan tidak memperdulikan kewajiban-kewajiban agama itu, aku segera bangkit, kulumerkan salju dengan jubahku lalu aku mandi. Jubah yang basah itu kukenaan kembali sehingga aku jatuh pingsan kedinginan. Beberapa saat kemudian aku siuman, ternyata jubahku telah kering.
oooOOOooo
Abu Yazid sering berjalan-jalan dalam sebuah pekuburan. Pada suatu malam ketika ia pulang dari pekuburan itu ia berpapasan dengan seorang pemuda bangsawan yang memainkan sebuah kecapi. “Semoga Allah melindungi kita!.” Seru Abu Yazid.
Mendengar seruan itu si pemuda menyerang Abu Yazid dan memukulkan kecapi itu ke kepala Abu Yazid sehingga kepalanya berdarah dan kecapi itu sendiri pecah. Ternyata si pemuda dalam keadaan mabuk dan tidak menyadari siapakah yang diserangnya itu.
Abu Yazid terus pulang dan ketika hari telah siang, dipanggilnyalah salah seorang di antara murid-muridnya.
“Berapakah harga sebuah kecapi?”, tanya Abu Yazid kepadanya.
Si murid memberitahu harganya. Dengan secarik kain dibungkusnya uang seharga kecapi ditambah dengan makanan yang manis-manis, lalu dikirimkannya kepada si pemuda.
“Sampaikan kepada si pemuda itu bahwa Abu Yazid meminta maaf kepadanya. Katakan kepadanya bahwa tadi malam ia menyerang Abu Yazid dengan kecapinya sehingga kecapi itu pecah. Sebagai gantinya terimalah uang ini dan belilah kecapi yang baru. Sedangkan makanan-makanan yang manis ini adalah untuk menawarkan kedukaan hatimu karena kecapi milikmu itu telah pecah.”
Ketika si pemuda bangsawan itu menyadari perbuatan yang telah dilakukannya, ia pun mendatangi Abu Yazid untuk memohon maaf. Ia bertaubat. Begitu pula banyak pemuda-pemuda lain yang menyertainya.
oooOOOooo
Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu.
Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata : “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah raja di antara kaum mistik,” tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu?”
Abu Yazid menjawab : “Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku : “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik?”
Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya.”
oooOOOooo
Pada suatu hari Abu Yazid sedang menyusuri sebuah jalan ketika seekor anjing berlari-lari di sampingnya. Melihal hal ini Abu Yazid segera mengangkat jubahnya, tetapi anjing berkata :
“Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi, dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dalam tujuh samudera.”
Abu Yazid menjawab : “Engkau kotor secara lahiriah tetapi aku kotor secara batiniah. Marilah kita bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih.”
Tetapi si anjing menyahut : “Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama dengan diriku dan menjadi sahabatku, karena semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu tetapi siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari.
Abu Yazid berkata : “Aku tidak pantas berjalan bersama seekor anjing! Bagaimana aku dapat berjalan bersama Dia Yang Abadi dan Kekal?” Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Nya melalui yang terhina di antara semuanya!.”
Kemudian Abu Yazid meneruskan kisahnya :
“Aku sangat berduka, bagaimana aku dapat menjadi hamba Allah yang patuh? Aku berkata pada diriku sendiri : “Aku akan pergi kepasar untuk membeli ikat pinggang (yang dikenakan oleh orang-orang bukan Muslim), dan ikat pinggang itu akan kupakai sehingga namaku menjadi hina di dalam pandangan orang! Maka pergilah aku ke pasar hendak membeli sebuah ikat pinggan . Di dalam sebuah toko terlihat olehku ikat pinggang yang sedang terpajang. “Harganya paling-paling satu dirham.” Kataku dalam hati. Kemudian aku bertanya kepada pelayan toko itu : “berapa harga ikat pinggang ini?. “Seribu dinar,” jawabnya. Aku tak dapat berbuat apa-apa, hanya berdiri dengan kepala tertunduk. Pada saat itu terdengar olehku sebuah seruan dari atas langit : “Tidak tahukah engkau bahwa dengan harga di bawah seribu dinar orang-orang tidak akan menjual sebuah sabuk untuk diikatkan ke pinggang seorang manusia seperti engkau? Mendengar seruan itu hatiku bersorak girang karena tahulah aku bahwa Allah masih memperhatikan hamba-Nya ini.”
oooOOOooo
Suatu malam Abu Yazid bermimpi malaikat-malaikat dari langit pertama turun ke bumi. Kepada Abu Yazid mereka berseru : “Bangkitlah dan marilah berzikir kepada Allah!.”
Abu Yazid menjawab : “Aku tidak mempunyai lidah untuk berzikir kepada-Nya.”
Malaikat-malaikat dari langit yang kedua turun pula ke bumi. Mereka menyerukan kata-kata yang sama dan Abu Yazid memberikan jawaban yang sama, Begitulah seterusnya sehingga malaikat-malaikat dari langit yang ke tujuh turun. Namun kepada mereka ini pun Abu Yazid memberikan jawaban yang itu-itu juga. Maka malaikat-malaikat itu bertanya kepada Abu Yazid :
“Kapankah engkau akan memiliki lidah untuk berzikir kepada Allah?”
“Apabila penduduk neraka telah tetap di neraka dan penduduk surga telah tetap di dalam surga dan hari Berbangkit telah lewat, maka Abu Yazid akan mengelilingi tahta Allah sambil  berseru : “Allah, Allah!.”
oooOOOooo
Di dekat rumah Abu Yazid tinggal seorang penganut agama Zoroaster. Ia mempunyai seorang anak yang selalu menangis karena rumah mereka gelap tidak berlampu. Abu Yazid sendiri telah membawakan sebuah pelita untuk mereka. Si anak segera reda dari tangisnya. Mereka berkata :
“Karena cahaya Abu Yazid telah memasuki rumah ini, maka sangat disayangkan apabila kita tetap berada di dalam kegelapan.”
Mereka segera memeluk agama Islam.
oooOOOooo
Pada suatu malam Abu Yazid tidak memeproleh kekhusyukan dalam shalatnya. Maka berkatalah ia kepada muridnya :
“Carilah jika ada barang berharga di dalam rumah ini.”
Murid-muridnya mencari-cari lalu menemukan setengah tandan anggur. Kemudian Abu Yazid memerintahkan :
“Bawalah anggur-anggur itu dan berikan kepada orang-orang lain. Rumahku ini bukan toko buah-buahan.”
Setelah itu Abu Yazid dapat melakukan shalat dengan khusyuk.
oooOOOooo
Pada suatu hari seseorang berkata kepada Abu Yazid : “Sewaktu ada orang yang meninggal dunia di Tabaristan, kulihat engkau di sana bersama Khidir as. Dia merangkulkan tangannya ke lehermu sedang engkau menaruh tanganmu ke punggungnya. Ketika para pengantar pulang dari pemakaman, kulihat engkau terbang ke angkasa.”
“Ya, segala yang engkau katakan itu benar-benar terjadi,” jawab Abu Yazid.
oooOOOooo
Pada suatu hari seorang lelaki yang tidak mempercayai Abu Yazid datang berkunjung untuk mengujinya.
“Katakanlah kepadaku jawaban sesuatu masalah,” katanya kepada Abu Yazid.
Abu Yazid melihat betapa lelaki itu tidak mempercayainya di dalam hati. Maka berkatalah Abu Yazid : “Di atas sebuah gunung ada sebuah gua dan di dalam gua itu ada seorang sahabatku. Mintalah padanya untuk menjelaskan masalah itu kepadamu.”
Lelaki itu segera pergi ke gua yang dikatakan Abu Yazid. Tetapi yang dijumpainya di sana adalah seekor naga yang besar dan sangat menakutkan. Menyaksikan hal ini ia pun jatuh pingsan dan pakaiannya menjadi kotor. Begitu kembali siuman cepat-cepat ia meninggalkan tempat itu, tetapi sepatunya tertinggal. Ia lalu kembali kepada Abu Yazid : Sambil bersujud di kaki Abu Yazid ia bertaubat, lalu Abu Yazid berkata kepaanya :
“Maha Besar Allah! Engkau tidak berani mengambil sepatumu hanya karena takut kepada makhluk-Nya. Apabila engkau takut kepada Allah, bagaimanakah engkau berani mengambil “Rahasia” yang engkau cari di dalam keingkaranmu?”
oooOOOooo
Pada suatu hari seorang lelaki datang dan menanyai Abu Yazid tentang hal rasa malu. Abu Yazid memberikan jawaban dan seketika itu juga orang tersebut berubah menjadi air. Saat kemudian masuk pula seorang lelaki, setelah melihat genangan air itu ia bertanya kepada Abu Yazid : “Guru, apakah itu?”
Abu Yazid menjawab : “Seorang lelaki masuk lalu bertanya tentang rasa malu. Aku memberikan jawaban. Mendengar penjelasanku itu ia tidak dapat menahan dirinya dan karena sngat malu tubuhnya berubah menjadi air.”
oooOOOooo
Hatim Tuli berkata kepada murid-muridnya :
“Barang siapa di antara kamu yang tidak memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari Berbangkit nanti, ia bukan muridku,”
Perkataan Hatim ini disampaikan orang kepada Abu Yazid. Kemudian Abu Yazid menambahkan :
“Barang siapa yang berdiri di tebing neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian mengantarkannya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, maka ia adalah muridku.”
oooOOOooo
Suatu ketika pasukan kaum Muslimin berperang melawan Bizantium. Mereka hampir dapat dikalahkan musuh. Tiba-tiba mereka mendengar sebuah seruan : “Abu Yazid, tolonglah!.”
Seketika itu juga api menyembur dari arah Khurasan sehingga pasukan orang-orang kafir mati ketakutan dan pasukan kaum Muslimin dapat memenangkan pertempuran.
oooOOOooo
Abu Yazid ditanya orang : “Bagaimana engkau dapat mencapai tingkat kesalehan yang seperti ini?”
“Pada suatu malam ketika aku masih kecil,” jawab Abu Yazid, “Aku keluar dari kota Bustham. Bulan bersinar terang dan bumi tertidur tenang. Tiba-tiba ku lihat suatu kehadiran. Di sisinya ada delapan belas ribu dunia yang tampaknya sebagai sebuah debu belaka. Hatiku bergetar kencang lalu hanyut dilanda gelombang ekstase yang dahsyat. Aku berseru : “Ya Allah, sebuah istana yang sedemikian besarnya tapi sedemikan kosong. Hasil karya yang sedemikian agung, tapi begitu sepi?! Lalu terdengar olehku sebuah jawaban dari langit : “Istana ini kosong bukan karena tak seorang pun memasukinya tetapi karena Kami tidak memperkenankan setiap orang untuk memasukinya. Tak seorang manusia yang tak mencuci muka pun yang pantas menghuni istana ini.”
“Maka aku lalu bertekad untuk mendoakan semua manusia. Kemudian terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk menjadi penengah manusia adalah Muhammad saw. Oleh karena itu aku hanya memperhatikan tingkah lakunya sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang menyeruku : “Karena engkau berjaga-jaga untuk selalu bertingkah laku baik, maka Aku muliakan namamu sampai hari Berbangkit nanti dan ummat manusia akan menyebutmu raja para mistik (sufi).”
oooOOOooo
Abu Yazid menyatakan : Sewaktu pertama kali memasuki Rumah Suci, yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu. Ketika untuk kedua kalinya memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku adalah Pemilik Rumah Suci. Tetapi ketika untuk yang ketiga kalinya memasuki Rumah Suci, baik si Pemilik maupun Rumah Suci itu sendiri tidak terlihat olehku.
Yang dimaksudkan Abu Yazid adalah : “Aku hilang di dalam Allah sehingga tak sesuatu pun yang terlihat olehku tentulah Allah.”
Kebenaran penafsiran yang seperti ini terbukti di dalam anekdot yang berikut ini.
Pada suatu malam seorang lelaki datang ke rumah Abu Yazid dan memanggilnya.
“Siapakah yang engkau cari?” tanya Abu Yazid.
“Abu Yazid,” jawab lelaki itu.
“Orang malang! Aku sendiri telah mencari Abu Yazid selama tiga puluh tahun tetapi tiada jejak atau tanda-tanda mengenai dirinya yang dapat kutemui,” sahut Abu Yazid.
Ketika pernyataan Abu Yazid itu disampaikan kepada Dzun Nun, ia berkata :
“Ya Allah, limpahkanlah kasih-Mu kepada saudaraku Abu Yazid! Ia telah hilang beserta orang-orang yang telah hilang di dalam Allah.”
oooOOOooo
Sedemikian sempurna kekusyukan Abu Yazid berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya yang senantiasa menyertainya selama dua puluh tahun, ia akan bertanya : “Anakku, siapakah namamu?”
Suatu hari si murid berkata kepada Abu Yazid : “Guru, engkau mengolok-olokanku. Telah dua puluh tahun aku mengabdi kepadamu tetapi setiap hari engkau menanyakan namaku!.”
“Anakku,” Abu Yazid menjawab, “aku tidak memperolok-olokanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan oleh ku.”
oooOOOooo
Abu Yazid berkata : “Allah Yang Maha Besar telah berkenan menerimaku di dalam dua ribu tingkatan, di dalam setiap tingkatan itu Dia menawarkan sebuah kerajaan kepadaku tetapi ku tolak. Allah berkata kepadaku : “Abu Yazid, apakah yang engkau inginkan?”. Aku menjawab “Aku ingin tidak menginginkan.”
oooOOOooo
“Engkau dapat berjalan di atas air!”. Orang-orang berkata kepada Abu Yazid.
“Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu,” jawab Abu Yazid.
“Engkau dapat terbang di angkasa!.”
“Seekor burung pun dapat melakukan itu.”
“Engkau dapat pergi ke Ka’bah dalam satu malam!.”
“Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam.”
“Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid.
Abu Yazid menjawab : “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapa pun kecuali kepada Allah.”
oooOOOooo
Abu Yazid berkata : “Dunia telah ku talak tiga. Kemudian seorang diri aku berjalan menuju Yang Sendiri. Aku berdiri di hadapan hadirat-Nya dan berseru : “Ya Allah, kecuali Engkau tidak sesuatu pun yang ku inginkan. Apabila Engkau telah kuperoleh, maka semuanya telah ku peroleh.
“Setelah Allah mengetahu ketulusan hatiku itu, maka karunia pertama yang diberikan-Nya kepadaku adalam membukakan selubung keakuan dari depan mataku.”
oooOOOooo
“Apa yang dimaksud dengan Tahta Allah?” seseorang bertanya kepada Abu Yazid.
“Tahta itu adalah aku,” jawab Abu Yazid.
“Apakah yang dimaksud dengan ganjalan kaki Allah?”
“Ganjalan kaki itu adalah aku.”
“Apakah yang dimaksud dengan luh (tanda peringatan) dan pena Allah?”
“Luh dan pena itu adalah aku.”
“Allah mempunyai hamba-hamba seperti Ibrahim, Musa dan Isa.”
“Mereka itu adalah aku.”
“Allah mempunyai hamba-hamba seperti Jibril, Mikail dan Israfil.
“Mereka itu adalah aku.”
Lelaki yang bertanya itu terdiam. Kemudian Abu Yazid berkata : “Barang siapa yang telah lebur di dalam Allah dan telah mengetahui realitas mengenai segala sesuatu yang ada, maka segala sesuatu baginya adalah Allah.”
oooOOOooo
Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Allah ke Hadirat-Nya. Setiap kali kembali dari perjumpaan dengan Allah itu Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas diputuskannya pula.
Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat shalat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia berkata kepada Allah :
“Ya Allah, aku tidak membanggakan disiplin dari yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan shalat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang telah kulakukan selam hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku menamatkan Al-Qur’an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman spiritual yang telah kualami, doa-doa yang telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan antara Engkau dan aku. Engkau pun mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala sesuatu yang telah ku lakukan itu. Semua yang ku katakan ini bukanlah untuk membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini ku katakan kepada Mu karena aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak berarti, anggaplah tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Torkoman yang berusaha tujuh puluh tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam kejahilan. Dari padang pasir aku datang sambil berseru-seru : “Tangri, Tangri! Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakan lidah untuk mengucapkan Syahadah. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah tanpa sebab. Engkau tidak menerima ummat manusia karena kepatuhan mereka dan Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang ku lakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena aku pun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu.”


Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karangan Fariduddin Attar

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More