DZUN NUN AL MISHRI(Dari Kitab Tadzkirotul Auliya)
DZUN NUN SI ORANG MESIR DAN KISAH PERTAUBATANNYA
Mengenai pertaubatan Dzun Nun si
orang Mesir dikisahkannya sebagai berikut :
Suatu hari aku mendengar bahwa di
suatu tempat berdiam seorang pertapa. Maka pergilah aku ke pertapaan itu.
Sesampainya di sana kudapati si pertapa sedang bergantung pada sebatang pohon
dan berseru kepada dirinya sendiri :
“Wahai tubuh, bantulah aku dalam
mentaati perintah Allah. Kalau tidak, akan ku biarkan engkau tergantung seperti
ini sampai engkau mati kelaparan.”
Menyaksikan hal itu aku tak dapat
menahan tangis sehingga tangisku terdengar oleh si pertapa pengabdi Allah itu.
Maka bertanyalah ia:
“Siapakah itu yang telah menaruh
belas-kasihan kepada diriku yang tidak mempunyai malu dan banyak berbuat aniaya
ini?.”
Aku menghampirinya dan mengucapkan
salam kepadanya. Kemudian aku bertanya: “Mengapakah engkau berbuat seperti
ini?”
“Tubuhku ini telah
menghalang-halangiku untuk mentaati perintah Allah,” jawabnya. “Tubuhku ini
ingin bercengkerama dengan manusia-manusia lain.”
Tadi aku mengira bahwa ia telah
menumpahkan darah seorang Muslim atau melakukan dosa besar semacam itu.
Si pertapa melanjutkan : “Tidakkah
engkau menyadari bahwa begitu engkau bergaul dengan manusia-manusia ramai, maka
segala sesuatu dapat terjadi?”
“Engkau benar-benar seorang pertapa
yang kukuh!.” Kataku kepadanya.
“Maukah engkau menemui seorang
pertapa yang lebih dari padaku?” tanyanya kepadaku.
“Ya”, jawabku.
“Pergilah ke gunung yang berada di
sana itu. Di situlah engkau akan menemuinya”, si pertapa menjelaskan.
Maka pergilah aku ke gunung yang
ditunjukannya. Di sana ku jumpai seorang pemuda yang sedang duduk di dalam
sebuah pertapaan. Sebuah kakinya telah terkatung putus dan dilemparkan keluar,
cacing-cacing sedang menggerogotinya. Aku menghampirinya lalu mengucapkan
salam, kemudian ku tanyakan perihal dirinya.
Si Pertapa berkisah kepadaku : “Suatu
hari ketika aku sedang duduk di dalam pertapaan ini, seorang wanita kebetulan
lewat di tempat ini. Hatiku bergetar menginginkannya dan jasmaniku mendorongku
agar mengejarnya. Ketika sebuah kakiku telah melangkah ke luar dari ruangan
pertapaan ini terdengarlah olehku sebuah seruan : “Setelah mengabdi dan
mentaati Allah selama tiga puluh tahun, tidakkah engkau merasa malu untuk
mengikuti syaithan dan mengejar seorang wanita lacur? Karena menyesal kupotonglah
kaki yang telah kulangkahkan itu. Kini aku duduk menantikan apa yang akan
terjadi menimpa diriku. Tetapi apakah yang telah mendorong dirimu untuk menemui
orang berdosa seperti aku ini? “Jika engkau ingin menjumpai seorang hamba Allah
yang sejati, pergilah ke puncak gunung ini.”.
Puncak gunung itu terlampau tinggi
untuk kudaki. Oleh karena itu aku hanya dapat bertanya-tanya tentang dirinya.
Seseorang mengisahkan kepadaku :
“Memang ada seorang lelaki yang sudah sangat lama mengabdi kepada Allah di
dalam pertapaan di puncak gunung itu. Pada suatu hari seseorang mengunjunginya
dan berbantah-bantah dengannya. Orang itu berkata bahwa setiap manusia harus
mencari makanannya sendiri sehari-hari. Si Pertapa kemudian bersumpah tidak
akan memakan makanan yang telah diusahakan. Berhari-hari lamanya ia tidak makan
sesuatu pun. Tetapi akhirnya Allah mengutus sekawanan lebah yang
melayang-layang mengelilinginya kemudian memberikan madu kepadanya.”
Segala sesuatu yang telah kusaksikan
dan segala kisah yang telah kudengar itu sangat menyentuh hatiku. Sadarlah aku
bahwa barang siapa memasrahkan diri kepada Allah, niscaya Allah kan
memeliharanya dan tidak akan menyia-nyiakan penderitaannya. Di dalam perjalanan
menuruni gunung itu aku melihat seekor burung yang sedang bertengger di atas
pohon. Tubuhnya kecil dan setelah kuamati ternyata matanya buta. Aku lantas
berkata dalam hati : “Dari manakah makhluk lemah yang tak berdaya ini
memperoleh makanan dan minumannya?”.
Seketika itu juga si burung melompat
turun. Dengan mematuk-matukan paruhnya, diacungkannya tanah dan tidak berapa
lama kemudian terlihatlah olehku dua buah cawan. Yang sebuah dari emas dan
penuh biji gandum, sedang lainnya dari perak dan penuh dengan air mawar. Setelah
makan sepuasnya, burung itu meloncat kembali ke atas dahan sedang cawan-cawan
tadi hilang kembali tertimbun tanah. Dzun Nun sangat heran menyaksikan keanehan
tersebut. Sejak saat itulah ia mempercayakan jiwa raganya dan benar-benar
bertaubat kepada Allah.
Setelah beberapa lama berjalan, Dzun
Nun dan para sahabatnya sampai di sebuah padang pasir. Di sana mereka menemukan
sebuah guci berisi kepingan-kepingan emas dan batu permata dan di atas tutupnya
terdapat sebuah papan yang bertuliskan nama Allah. Sahabat-sahabatnya
membagi-bagi emas dan permata-permata tersebut di antara sesama mereka sedang
Dzun Nun hanya meminta : “Berikanlah kepadaku papan yang bertuliskan nama
Sahabatku itu!.”
Papan itu diterimanya, siang malam
diciuminya. Berkat papan itu ia memperoleh kemajuan yang sedemikian pesatnya
sehingga pada suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang
berseru kepadanya : “Semua sahabat-sahabatmu lebih suka memilih emas dan
permata karena benda-benda itu mahal harganya. Tetapi engkau telah memilih
nama-Ku yang lebih berharga daripada emas dan permata. Oleh karena itu Aku
bukakan untukmu pintu pengetahuan dan kebijaksanaan!.”
Setelah itu Dzun Nun kembali ke
kota. Kisahnya berlanjut pula, sebagai berikut ini.
Suatu hari aku berjalan-jalan sampai
ke tepian sebuah sungai. Di situ ku lihat sebuah villa. Di sungai itu aku bersuci,
setelah selesai, tanpa sengaja aku memandang loteng villa itu. Di atas balkon
sedang bediri seorang dara jelita. Karen ingin mempertegasnya aku pun bertanya
: “Upik, siapakah engkau ini?”.
Si dara menjawab : “Dzun Nun, dari
kejauhan ku kira engkau seorang gila, ketika agak dekat kukira engkau seorang
terpelajar. Dan ketika sudah dekat ku kira engkau seorang mistikus. Tetapi kini
jelas bagiku bahwa engkau bukan gila, bukan seorang terpelajar dan bukan pula
seorang mistikus.”
Aku bertanya : “Mengapa engkau
berkata demikian?.”
Si dara menjawab : “Seandainya
engkau gila, niscaya engkau tidak bersuci. Seandainya engkau terpelajar niscaya
engkau tidak memandang yang tak boleh dipandang. Dan seandainya engkau seorang
mistikus pasti engkau tidak akan memandang sesuatu pun juga selain Allah.”
Setelah berkata demikian dara itu
pun hilang. Sadarlah aku bahwa ia bukan manusia biasa. Sesungguhnya ia telah
diutus Allah untuk memberi peringatan kepada diriku. Api sesal membakar hatiku.
Maka aku teruskan pengembaraanku ke arah pantai.
Sesampainya di pantai aku melihat
orang-orang sedang naik ke atas sebuah kapal. Akupun berbuat seperti mereka.
Beberapa lama berlalu, seorang saudagar yang menumpang kapal itu kehilangan
permata miliknya. Satu persatu para penumpang digeledah. Akhirnya mereka
menarik kesimpulan bahwa permata itu ada di tanganku. Berulangkali mereka
menyiksaku dan memperlakuan diriku sedemikian hinanya, tetapi aku tetap membisu.
Akhirnya aku tak tahan lagi lalu berseru :
“Wahai Sang Pencipta, sesungguhnya
engkaulah Yang Maha Tahu!.” Seketika itu juga beribu-ribu ekor ikan
mendongakkan kepala ke atas permukaan air dan mesing-masing membawa sebuah
permata di mulutnya.
Aku mengambilnya sebuah dan memberikannya
kepada si saudagar. Menyaksikan keajaiban ini semua orang yang berada di atas
kapal berlutut dan meminta maaf padanya. Karena peristiwa inilah aku dijuluki
Dzun Nun (“Manusia Ikan”).
DZUN NUN DITANGKAP DAN DIBAWA KE KOTA BAGHDAD
Dzun Nun telah mencapai tingkat
keluhuran yang tinggi tetapi tak seorang pun menyadari ini. Orang-orang di
Negeri Mesir bahkan sepakat mencap dirinya bid’ah dan melaporkan segala
perbuatannya kepada Khalifah al-Mutawwakkil. Mutawwakil segera mengirim para
perwiranya untuk membawa Dzun Nun ke kota Baghdad. Ketika memasuki istana
khalifah, Dzun Nun berkata : “Baru saja kupelajari Islam yang sebenarnya dari
seorang wanita tua dan sikap satria tulen dari seorang kuli pemikul air.”
“Bagaimana?,” tanya mereka
kepadanya.
Dzun Nun menjawab : “Sesampainya di
istana khalifah dan menyaksikan kemegahan istana dengan para pengurus dan
pelayan yang hilir mudik di koridor-koridornya, aku berpikir alangkah baiknya
seandainya terjadi sedikit perubahan pada wajahku ini. Tiba-tiba seorang wanita
tua dengan sebuah tongkat di tangannya menghampiriku. Sambil menatapku dengan
tajam ia berkata kepadaku :Jangan engkau takuti jasad-jasad yang akan engkau
hadapi, karena mereka dan engkau adalah sama-sama hamba Allah Yang Maha Besar.
Kecuali apabila dikehendaki Allah, mereka tidak dapat berbuat sesuatu pun
terhadapmu.”
“Di tengah perjalanan tadi aku
bertemu dengan seorang pemikul air. Aku diberinya seteguk air yang menyegarkan.
Kepada seorang teman yang menyertaiku aku memberi isyarat agar ia memberikan
sekeping uang dinar kepadanya. Tapi si pemikul air menolak, tidak mau menerima
uang itu dan berkata kepadaku : “Engkau adalah seorang yang terpenjara dan
terbelenggu. Bukanlah suatu kesatria yang sejati apabila menerima sesuatu dari
seseorang yang terpenjara seperti engkau ini, seorang asing yang sedang
terbelenggu.”
Setelah itu diperintahkan supaya
Dzun Nun dijebloskan ke dalam penjara. Empat puluh hari empat puluh malam
lamanya ia mendekam dalam kurungan itu. Setiap hari saudara perempuannya
mengantarkan sekerat roti yang telah dibelinya dengan upah dari pekerjaan
memintal benang. Ketika Dzun Nun dibebaskan, ditemukan empat puluh potong roti
di kamar kurungannya dan tak satupun di antara roti-roti itu yang telah
disentuhnya. Katika saudara perempuan Dzun Nun mendengar hal ini, ia menjadi
sangat sedih.
“Engkau tahu bahwa roti-roti itu
adalah halal dan tidak ku peroleh dengan jalan meminta-minta. Mengapa engkau
tidak mau memakan roti-roti pemberianku itu.?”
“Karena pinggannya tidak bersih,”
jawab Dzun Nun. Yang dimaksudkannya adalah bahwa pinggan tersebut telah
terpegang oleh penjaga penjara.
Ketika keluar dari penjara itu, Dzun
Nun tergelincir dan dahinya terluka. Diriwayatkan bahwa lukanya itu banyak
mengeluarkan darah tetapi tak setetespun yag mengotori muka, rambut maupun
pakaiannya. Setiap tetes darah yang terjatuh ke tanah, seketika itu juga lenyap
dengan izin Allah.
Kemudian Dzun Nun dibawa menghadap
khalifah. Ia diharuskan menjawab tuduhan-tuduhan yang memberatkan dirinya. Maka
dijelaskannya doktrin-doktrinnya sedemikian rupa sehingga Mutawwakil menangis
tersedu-sedu, sedang menteri-mentrinya terpesona mendengar kefasihan Dzun Nun.
Khalifah menganugerahinya dengan kehormatan yang besar.
DZUN NUN DAN SEORANG MURID YANG SALEH
Dzun Nun mempunyai seorang murid
yang telah bertapa selama empat puluh kali, masing-masing selama empat puluh
hari. Empat puluh kali ia telah berdiri di Padang Arafah dan selama empat puluh
tahun ia telah mengendalikan hawa nafsunya. Suatu hari si murid datang
menghadap Dzun Nun dan berkata :
“Semua itu telah ku lakukan. Tetapi
untuk semua jerih payahku Sang Sahabat tidak pernah mengucapkan sepatah kata
pun dan tidak pernah memandang diriku. Dia tidak memperdulikanku dan tak mau
memperlihatkan keghaiban-keghaiban-Nya padaku. Semua itu ku katakan bukan untuk
memuji diriku sendiri, aku semata-mata menyatakan hal yang sebenarnya. Aku
telah melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan oeh diriku yang malang ini.
Aku tidak mengeluh kepada Allah. Aku haya menyatakan hal yang sebenarnya bahwa
aku telah mengabdikan jiwa ragaku untuk berbakti kepada-Nya. Aku hanya
meneyampaikan kisah sedih dari nasibku yang malang ini. Kisah ketidak-beruntungan
diriku ini. Semua itu kukemukakan bukan karena hatiku telah jemu utnuk mematuhi
Allah. Aku khawatir jika masa-masa mendatang aku mengalami hal yang sama.
Seumur hidup aku telah mengetuk dengan penuh harap, namun tak ada jawaban.
Sangat berat bagiku untuk lebih lama menanggungkan. Karena engkau adalah tabib
bagi orang-orang yang sedang berduka dan penasehat tertinggi bagi orang-orang
suci, sembuhkanlah duka citaku ini.”
“Malam ini makanlah dengan
sepuas-puasnya.” Kata Dzun Nun menasehati, “Tinggalkanlah shalat ‘Isa dan
tidurlah dengan nyenyak sepanjang malam. Dengan demikian jika Sang Sahabat
selama ini tidak memperlihatkan diri-Nya dengan kebajikan, maka
setidak-tidaknya Dia akan memperlihatkan diri-Nya dengan penyesalan terhadapmu.
Jika selama ini Dia tidak mau memandangmu dengan kasih sayang, maka Dia akam
memandangmu dengan kemurkaan.”
Si murid pun pergi dan pada malam
itu ia makan dengan sepuas-puasnya. Tetapi untuk melalaikan shalat “Isha
hatinya tidak mengijinkan. Ia tetap melakukan shalat dan setelah itu ia pun
tidur. Malam itu di dalam mimpinya ia bertemu dengan Nabi dan berkata kepadanya
:
“Sahabatmu mengucapkan salam
kepadamu. Dia berkata : “Hanya seorang malang yang lemah serta bukan manusia
sejatilah yang datang ke hadiratKu dan cepat merasa puas. Inti permasalahan
adalah hidup lurus tanpa keluhan.” Alllah yang Maha Besar menyatakan “Telah ku
berikan empat puluh tahun keinginan kapada hatimu dan Aku jamin bahwa engkau
akan memperoleh segala sesuatu yang engkau harapkan dan memenuhi segala
keinginanmu itu. Tetapi ssampaikan pula salam-Ku kepada Dzun Nun, si manusia
bajingan dan berpura-pura itu, Katakanlah kepadanya, wahai manusia pendusta
yang suka berpura-pura, Jika tidak Aku bukakan malumu kepada seluruh penduduk
kota, maka Aku bukanlah Tuhanmu. Awas, janganlah engkau sesatkan
kekasih-kekasih-Ku yang malang dan janganlah engkau jauhkan mereka dari
hadirat-Ku.”
Si murid terjaga dari tidurnya lalu
menangis. Kemudian ia pergi kepada Dzun Nun dan mengisahkan segala sesuatu yang
disaksikan dan didengarnya dalam mimpi itu. Ketika Dzun Nun mendengar kata-kata
“Tuhan mengirim salam dan menyatakan bahwa engkau adalah seorang pendusta yang
suka berpura-pura,” ia pun berguing-guling kegirangan dan menangis penuh
kebahagiaan.
ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI DZUN NUN
Dzun Nun mengisahkan : Ketika aku
sedang berjalan-jalan di gunung, terlihat olehku sekumpulan
orang-orang yang menderita sakit. Aku bertanya kepada mereka :
“Apakah yang telah terjadi terhadap kalian.?”
Mereka menjawab : “Di dalam
pertapaan yang terletak di tempat ini berdiam seorang yang saleh. Setahun
sekali ia keluar dari pertapaannya, meniup orang-orang ini. Lalu semuanya
sembuh. Setelah itu ia pun kembali ke dalam pertapaannya dan setahun kemudian barulah
ia keluar lagi.”
Dengan sabar aku menantikan si
pertapa itu keluar dari dalam pertapannya. Ternyata yang ku saksikan adalah
seorang lelaki berwajah pucat, berbadan kurus dan bermata cekung. Tubuhku
gemetar karena kagum memandang dirinya. Dengan penuh kasih si pertapa
memandangi orang banyak itu, kemudian menengadahkan pandangannya ke atas.
Setelah itu semua orang-orang yang menderita sakit itu ditiupnya beberapa kali.
Dan semuanya sembuh dari penyakitnya.
Ketika si pertapa hendak kembali ke
dalam pertapannya, aku segera meraih pakaiannya dan berseru :
“Demi kasih Allah engkau telah
menyembuhkan penyakit-penyakit lahiriah, tetapi sembuhkanlah sekarang penyakit
di dalam batinku ini.”
Sambil memandang diriku si pertapa
berkata :
“Dzun Nun lepaskanlah tanganmu
dariku. Sang Sahabat sedang mengawasi dari puncak kebesaran dan keagungan. Jika
Dia lihat betapa engkau bergantung kepada seseorang selain daripada-Nya, pasti
Dia akan meninggalkan dirimu bersama orang itu, maka celakalah engkau di tangan
orang itu.”
Setelah berkata demikian ia pun
kembali ke dalam pertapannya.
oooOOOooo
Suatu hari sahabat-sahabatnya
mendapati Dzun Nun sedang menangis.
“Mengapa engkau menangis?” tanya
mereka.
“Kemarin malam ketika bersujud di
dalam shalat, mataku tertutup dan aku pun tertidur. Terlihat olehku Allah dan
Dia berkata kepadaku : “Wahai Abu Faiz, Aku telah menciptakan semua makhluk
terbagi dalam sepuluh kelompok. Kepada mereka Aku berikan harta kekayaan dunia.
Semuanya berpaling kepada kekayaan dunia kecuali satu kelompok. Kelompok ini
terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka aku berikan surga.
Semuanya berpaling kepada surga kecuali satu kelompok. Kemudian kelompok ini
terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka aku tunjukan neraka. Semua
lari menghindar kecuali satu kelompok yaitu orang-orang yang tidak tergoda oleh
harta kekayaan dunia, tidak mendambakan surga dan tak takut pada neraka. Apakah
sebenarnya yang kalian kehendaki?” Semuanya menengadahkan kepalanya sambil
berseru :
Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui
apa yang kami kehendaki.!”.
oooOOOooo
Pada suatu hari seorang anak lelaki
menghampiri Dzun Nun lalu berkata : “Aku mempunyai uang seribu dinar. Aku ingin
menyumbangkan uang ini untuk kebaktianmu kepada Allah. Aku ingin agar uangku
ini dapat digunakan oleh murid-muridmu dan para guru sufi.”
“Apakah engkau sudah cukup umur?”
tanya Dzun Nun.
“Belum”, jawab anak itu.
“Jika demikian engkau belum berhak
untuk mengeluarkan uang tersebut. Bersabarlah hingga engkau cukup dewasa.” Dzun
Nun menjelaskan.
Setelah dewasa, anak itu kembali
menemui Dzun Nun. Dengan pertolongan Dzun Nun ia bertaubat kepada Allah dan
semua uang dinar emas itu diberikannya untuk para sufi, sahabat-sahabat Dzun
Nun.
Suatu ketika para sufi itu mengalami
kesulitan sedang mereka tak memiliki apa-apa lagi karena uang telah habis
dipergunakan.
Anak lelaki yang telah menyumbangkan
uangnya itu berkata : “Sayang sekali, aku tak mempunyai yang seratus ribu dinar
lagi untuk membantu manusia-manusia berbudi ini.”
Kata-kata ini terdengar oleh Dzun
Nun, maka sadarlah ia bahwa anak tersebut belum menyelami kebenaran sejati dari
kehidupan mistik karena kekayaan dunia masih penting dalam pandangannya. Anak
itu dipanggil Dzun Nun dan berkata kepadanya :
“Pergilah ke tabib anu, katakan
kepadanya bahwa aku menyuruh dia untuk menyerahkan obat seharga tiga ribu
dirham kepadamu.”
Si pemuda segera pergi ke tabib dan
tak lama kemudian ia telah kembali lagi.
“Masukanlah obat-obat itu kedalam
lumpang dan tumbuklah sampai lumat,” Dzun Nun menyuruh si pemuda. “Kemudian
tuangkanlah sedikit minyak sehingga obat-obat itu berbentuk pasta. Kemudian
kepal-kepallah ramuan itu menjadi tiga buah butiran, dan dengan sebuah jarum
lobangilah ketiga-tiganya. Setelah itu bawalah ketiga butirnya kepadaku.”
Si pemuda melaksanakan seperti yang
diperintahkan kepadanya. Setelah selesai, ketiga butiran itu dibawanya kepada
Dzun Nun. Butiiran-butiran tersebut diusap-usap oleh Dzun Nun kemudian
ditiupnya. Tiba-tiba bitur-butir itu berubah menjadi tiga buah batu merah delima
dari jenis yang belum pernah disaksikan manusia. Kemudian Dzun Nun berkata
kepada si pemuda :
“Bawalah permata-permata ini ke pasar
dan tanyakanlah harganya ketika sampai tetapi jangan engkau jual.”
Si pemuda membawa batu-batu permata
itu ke pasar. Ternyata setiap butirannya berharga seribu dinar. Si pemuda
kembali untuk mengabarkan hal ini kepada Dzun Nun. Dzun Nun berkata : “Sekarang
masukanlah permata-permata itu ke lesung, tumbuklah sampai halus dan setelah
itu lemparkanlah ke dalam air.”
Si pemuda melakukan seperti yang
disuruhkan, melemparkan tumbukan permata itu ke dalam air. Setelah itu Dzun Nun
berkata kepadanya : “Anakku, para guru sufi itu bukan lapar karena
kekurangan. Semua ini adalah kemauan mereka sendiri.”.
Si pemuda bertaubat lalu jiwanya
terjaga. Dunia ini tak berharga lagi dalam pandangannya.
oooOOOooo
Dzun Nun berkisah sebagai berikut :
Selama tiga puluh tahun aku mengajak
manusia untuk bertaubat, tetapi hanya seorang yang telah menghampiri Allah
dengan segala kepatuhan. Beginilah peristiwanya :
Pada suatu hari sewaktu aku berada
di pintu sebuah masjid, seorang pangeran beserta para pengiringnya lewat di
depanku. Kuucapkan kata-kata : “Tak ada yang lebih bodoh daripada si lemah yang
bergulat melawan si kuat.”
Si pangeran bertanya kepadaku :
“Apakah makna kata-katamu itu?.”
“Manusia adalah makhluk yang lemah,
tetapi ia bergulat melawan Allah Yang Maha Kuat,” jawab ku.
Wajah si pangeran remaja itu berubah
pucat. Ia bangkit lalu meninggalkan tempat itu. Keesokan harinya ia kembali
menemuiku dan bertanya : “Manakah jalan menuju Allah?”
“Ada jalan yang kecil dan ada jalan
yang besar, yang manakah yang engkau sukai?” Jika engkau menghendaki jalan yang
kecil, tinggalkanlah dunia dan hawa nafsu, setelah itu jangan berbuat dosa
lagi. Jika engkau menghendaki jalan yang besar, tinggalkanlah segala sesuatu
kecuali Allah lalu kosongkanlah hatimu.”
“Demi Allah akan ku pilih jalan yang
besar,” jawab si pangeran.
Esoknya ia mengenakan jubah yang
terbuat dari bulu domba dan mengambil jalan mistik. Di kemudian hari ia menjadi
seorang manusia suci.
oooOOOooo
Kisah berikut ini diriwayatkan oleh
Abu Ja’far yang bermata satu.
Aku bersama Dzun Nun dengan
sekelompok murid-muridnya berada di suatu tempat. Mereka sedang membicarakan
bahwa sesungguhnya manusia dapat memerintah benda-benda mati.
“Inilah sebuah contoh,” kata Dzun
Nun, “bahwa benda-benda mati mematuhi perintah-perintah manusia-manusia suci.
Jika kukatakan kepada sofa itu menarilah mengelilingi rumah ini, maka ia pun
menari.”
“Belum lagi Dzun Nun selesai dengan
kata-katanya, sofa itu mulai bergerak kemudian mengelilingi rumah lalu membalik
ke tempatnya semula. Seorang pemuda yang menyaksikan peristiwa ini tidak dapat
menahan ledakan tangisnya dan tak berapa lama kemudian menemui ajalnya. Mereka
memandikan mayat si pemuda di atas sofa itu kemudian menguburkannya.
oooOOOooo
Pada suatu ketika seorang lelaki
datang kepada Dzun Nun dan berkata :
“Aku mempunyai hutang tetapi aku
tidak mempunyai uang untuk melunasinya.”
Dzun Nun memungut sebuah batu. Batu
itu berubah menjadi zamrud. Dzun Nun menyerahkannya kepada lelaki itu. Ia
membawa nya ke pasar dan menjualnya dengan harga empat ratus dirham kemudian ia
melunasi hutangnya.
oooOOOooo
Ada seorang pemuda yang seringkali
mencemoohkan kaum sufi. Suatu hari Dzun Nun melepaskan cincin di jarinya
kemudian memberikan cincin itu kepada si pemuda sambil berkata:
“Bawalah cincin ini ke pasar dan gadaikanlah
dengan harga satu dinar.”
Si pemuda membawa cincin itu ke
pasar tetapi tak seorang pun mau menerimanya dengan harga di atas
satu dirham. Si Pemuda kembali dan menyampaikan hal itu kepada Dzun Nun.
“Sekarang bawalah cincin ini kepada
pedagang permata dan tanyakan harganya.” Dzun Nun berkata kepada si pemuda.
Ternyata pedagang-pedagang permata
menaksir harga cincin itu seribu dinar. Ketika si pemuda kembali, Dzun Nun
berkata kepadanya :
“Engkau hanya mengetahui kaum sufi
seperti pemilik-pemilik warung di pasar tadi mengetahui harga cincin ini.”
Si pemuda bertaubat dan ia tak mau
lagi mencemooh para sufi.
oooOOOooo
Telah sepuluh tahun lamanya Dzun Nun
ingin memakan Sekbaj, tetapi keinginan itu tak pernah dilampiaskannya.
Kebetulan esok hari adalah hari raya dan batinnya berkata: “Bagaimana jika esok
engkau memberi kami sesuap sekbaj sekedar untuk menyambut hari raya?”
“Wahai hatiku, jika demikian yang
engkau kehendaki, maka biarkanlah aku membaca seluruh ayat al-Qur’an di dalam
shalat sunnat dua raka’at malam nanti.”
Hatinya mengizinkan. Keesokan
harinya Dzun Nun mempersiapkan sekbaj di depannya. Ia telah membasuh tangan
tetapi sekbaj itu tidak disentuhnya; ia segera melakukan shalat.
“Apakah yang telah terjadi?”,
seseorang yang menyaksikan hal itu bertanya kepada Dzun Nun.
“Barusan, hatiku berkata kepadaku,”
jawab Dzun Nun. “Akhirnya setelah sepuluh tahun lamanya barulah tercapai
keinginanku.!”
Tetapi segera ku jawab “ “Demi
Allah, keinginanmu tidak akan tercapai.”
Yang meriwayatkan kisah ini
menyatakan bahwa begitu Dzun Nun mengucapkan kata-kata itu, masuklah seorang
yang membawakan semangkuk sekbaj ke hadapannya dan berkata :
“Guru, aku tidak datang kemari atas
kehendakku sendiri, tetapi sebagai utusan. Baiklah kujelaskan duduk
persoalannya kepadamu. Aku mencari nafkah sebagai seorang kuli padahal aku
mempunyai beberapa orang anak. Telah beberapa lamanya mereka meminta sekbaj dan
untuk itu aku telah menabung uang. Kemarin malam kubuatkan sekbaj ini untuk
menyambut hari raya. Tadi aku bermimpi melihat wajah Rasulullah yang cerah
menerangi bumi. Rasulullah berkata kepadaku : “Jika engkau ingin melihatku di
hari berbangkit nanti, bawalah sekbaj itu kepada Dzun Nun dan katakan kepadanya
bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib telah memohon ampun untuk
dirinya agar ia untuk sementara dapat berdamai dengan hatinya dan memakan
sekbaj ini dengan sekedarnya.”
“Aku taati,” sahut Dzun Nun sambil
menangis.
oooOOOooo
Ketika Dzun Nun terbaring menunggu
ajalnya, sahabat-sahabatnya bertanya :
“Apakah yang engkau inginkan saat
ini?”
Dzun Nun menjawab : “Keinginanku
adalah walau untuk sesaat saja, aku dapat mengenal-Nya,” Kemudian Dzun Nun
bersyair :
Takut telah meletihkan diriku;
Hasyrat telah memebakar diriku;
Cinta telah memperdayakanku.
Tetapi Allah telah menghidupkan aku
kembali.
Pada suatu hari ketika Dzun Nun
tidak sadarkan diri. Pada malam kematiannya, tujuh puluh orang telah bertemu
dengan Nabi Muhammad di dalam mimpi mereka. Semuanya mengisahkan bahwa di dalam
mimpi itu Nabi berkata : “Sahabat Allah sudah tiba. Aku datang untuk menyambut
kedatangannya.”
Ketika Dzun Nun meninggal dunia,
orang-orang menyaksikan tulisan berwarna hijau di dahinya : “Inilah sahabat
Allah. Ia mati di dalam kasih Allah. Inilah manusia yang telah dijagal Allah
dengan pedang-Nya.”
Ketika orang-orang mengusung
mayatnya ke pemakaman, matahari sedang bersinar dengan sangat teriknya.
Burung-burung turun dari angkasa dan dengan sayap sayap mereka meneduhi peti
mati Dzun Nun sejak dari rumah sampai ke pemakaman. Ketika mayatnya diusung itu
seorang muadzin menyerukan adzan. Sewaktu si Muadzin mengucapkan kata-kata
Syahadah, dari balik kafan terlihat jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas.
“Ia masih hidup!.”
Orang-orang berseru kaget.
Mereka menurukan usungan itu. Memang
jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas, tetapi ia telah mati. Betapa pun mereka
mencoba namun mereka tak dapat membenarkan (mengembalikan) jarinya yang
mengacung itu. Ketika orang-orang Mesir mendengar hal ini, mereka semua merasa
malu dan bertaubat dari kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap
Dzun Nun. Sebagai tanda penyesalan di atas kuburan Dzun Nun telah mereka
lakukan berbagai hal yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.
Sumber: Kitab Tadzkirotul Auliya Karangan Fariduddin Attar
0 comments:
Posting Komentar