Seorang laki-laki sedang berjalan bersama istrinya. Berkeliling ke pusat perbelanjaan. Lalu mengakhiri perjalanan mereka di sebuah toko perhiasan. Lama memilih, sang istri memutuskan untuk membeli sebuah kalung. Dia mengambil yang paling bagus. Paling mahal. Model terbaru.
Bersama keduanya ada seorang wanita yang sudah renta. Terlihat nikmat menggendong seorang anak, cucunya. Meski ada gurat lelah dan tertekan yang mustahil disembunyikan. Wanita itu tak lain adalah mertua dari sang laki-laki.
Kalung itu dijanjikan oleh sang suami sebagai hadiah hari raya. Agar suka cita semakin lengkap dengan perhiasan baru. Mewah. Bisa ditunjukkan kepada keluarga, tetangga, dan teman-temannya.
Saat hendak membayar, sang suami bertanya kepada kasir toko, “Semuanya berapa, Pak.”
Si penjaga toko tersenyum, lantas berkata lembut, “Dua puluh juta dua ratus ribu.”
Segera menoleh ke arah kasir, sang istri menukasi dengan gegas, “Kok dua puluh
juta dua ratus ribu? Bukannya tadi saya lihat harganya hanya dua puluh juta?”
Sang suami menyampaikan keterangan, “Ibumu yang sudah tua itu mengambil kalung seharga itu.”
Dengan nada kesal bertabur benci, sang istri mengatakan, “Wanita yang sudah tua tak perlu mengenakan kalung. Gak cocok pakai perhiasan.”
Tanpa satu kalimat pun, sang ibu segera bergegas. Pergi dengan perasaan terluka perih. Menuju mobil.
Mengetahui kejadian yang tak seharusnya, sang penjaga toko berusaha menyampaikan nasihat kepada sang laki-laki, sebagai imam bagi istri dan ibu mertuanya. “Na’udzubillah. Kalian tidak pantas menyampaikan kalimat tersebut. Datanglah kepada ibumu dan mohonlah maaf kepadanya.”
Sepasang suami-istri ini segera memberikan uang pembayaran. Lalu pergi menuju mobil.
Di mobil, sang istri berkata kepada ibunya, “Pakailah. Ini kalungmu.”
“Aku memang tidak pantas menggunakan perhiasan. Sudah tua. Aku hanya ingin berbahagia di hari raya. Tapi kalimat yang kalian sampaikan telah melukai hatiku. Perih. Pedih.” ungkap sang ibu, lirih.
Kawan, kisah ini nyata. Bahkan banyak terjadi di zaman ini. Ada begitu banyak anak yang kaya, memiliki jabatan dan pendidikan tinggi lalu menganggap orang tuanya sebagai pembantu. Mereka tak kuasa berlaku sopan. Mereka hanya membutuhkan orang tua untuk keperluan-keperluan yang tidak terhormat.
Semoga kita terhindar dari buruknya sikap ini. Aamiin.
Wallahu a’lam.
Sumber: kisahikmah.com